Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gramsci, salah sat

Tentang Hewan



Saya tidak pernah merasa diri seorang penyayang binatang, karena apa yang saya suka hanya satu jenis binatang yaitu kucing. Dari kecil, saya selalu suka kucing dan hanya karena dalam dua tahun belakangan ini saya memutuskan tinggal di apartemen, kucing-kucing tersebut akhirnya ditinggal di rumah orangtua. Saya merasa sebutan "penyayang binatang" itu terlalu berat karena artinya saya tidak hanya harus suka kucing, tapi juga anjing, burung, kecoa, cicak, semut, dan lainnya. Harus diakui, saya memang "penyayang binatang tertentu yang saya anggap lucu dan membuat saya terhibur".

Sejak tahun 2019, saya dan istri (dulu masih pacar) memelihara kucing bernama Eman yang diberikan oleh seorang teman namanya Gloria. Tidak perlu saya ceritakan bagaimana lengkapnya kami memelihara Eman tapi pada saat saya menulis tulisan ini, atau saat usia Eman hampir empat tahun, dia tengah dalam kondisi sakit serius. Sudah kami bawa ke dokter, Eman dinyatakan mengidap virus yang sukar sembuh, bahkan hampir bisa dibilang seperti Corona-nya kucing. Bisa dikatakan, harapan hidupnya tipis, yang bisa dilakukan adalah mengatasi rasa sakitnya sebisa-bisa, sambil menyiapkan mental perlahan-lahan untuk kepergiannya. Hiks. 

Saya kemudian bertanya-tanya, mengapa kehilangan hewan peliharaan selalu merupakan peristiwa yang menyedihkan? Padahal ini bukan kejadian pertama kali dan mungkin entah keberapa puluh kali. Harusnya saya sudah lebih siap dan terbiasa. Membicarakan hewan memang menarik. Diogenes mengatakan: hiduplah sesuai natur, lihatlah hewan dan anak-anak. Bagi Diogenes, rasionalitas, akal budi, yang senantiasa diagungkan sebagai fakultas yang hanya dipunyai manusia, justru menjauhkan mereka dari "fitrah"-nya (hal yang kurang lebih mirip dibunyikan juga oleh Rousseau). Itulah mengapa Diogenes memilih untuk hidup "seperti anjing": menggelandang, mengais sisa-sisa makanan, dan tidur di tong. Dengan "menjadi anjing", Diogenes merasa dirinya bebas, tidak terikat aturan apapun yang dibuat-buat oleh masyarakat - bahkan dalam cerita yang sangat terkenal, Diogenes berani menolak tawaran baik dari Aleksander Agung. 

Melompat ke narasi lain, saya selalu ingat bagaimana dalam khotbah-khotbah Idul Adha, sudah lumrah jika khotib mengatakan bahwa menyembelih hewan adalah cara untuk "menyembelih sifat-sifat hewani dalam diri kita". Pertanyaannya, mengapa sifat hewani mesti disembelih? Sifat hewani mana yang membuat manusia ingin senantiasa menumpuk kekayaan? Sifat hewani mana yang membuat manusia ingin membantai manusia lainnya atas dasar ideologi? Justru apa yang saya lihat adalah sebaliknya: jika yang dikatakan sifat hewani adalah nafsu-nafsu untuk memenuhi kebutuhan dasar, justru tidak ada yang salah dengan "sifat hewani", yang problematik adalah nalar manusia untuk menjustifikasi sifat hewani itu. Manusia ingin mengatasi lapar sehingga harus makan, itu masih oke, tapi manusia tidak hanya ingin mengatasi lapar untuk hari itu, ia juga ingin mengatasinya untuk besok, untuk minggu depan, bulan depan, tahun depan, sepuluh tahun ke depan, bahkan hingga tujuh turunan! 

Hewan tidak punya nalar dalam arti intelek sebagaimana yang kita punya (anggap saja demikian). Hewan mungkin berpikir pada kadar tertentu, tapi hanya manusia (setidaknya ini yang saya pelajari dalam kuliah-kuliah filsafat tertentu) yang mampu "berpikir tentang berpikir". Secara epistemologi, saya tidak bisa merasakan sakitnya hewan jika ia disiksa oleh manusia, tapi hal yang lebih menjadi perhatian: penyiksaan terhadap hewan adalah penyiksaan terhadap makhluk tidak berdaya atas nama suatu arogansi nalar. Mereka yang menyiksa binatang, mempunyai perasaan lebih superior karena memiliki akal budi. Linkola tersengat oleh kenyataan ini, hingga menyatakan ketidaksetujuannya pada konsep HAM yang menjadikan seluruh manusia setara: "Oh tidak, manusia tidak setara, ada kok, yang lebih rendah dari hewan, yaitu mereka, yang rajin merusak alam." 

Mari kembali ke perkara hewan peliharaan: mengapa begitu sedih kehilangan hewan peliharaan? Begitulah, kadang, atau seringnya, kita bosan bertemu manusia, karena urusan-urusan transaksional yang melelahkan. Meski menjadi bagian dari umat manusia, kita juga sering muak dengan umat kita sendiri yang serba hipokrit dan serba melakukan justifikasi terhadap nafsu-nafsu dasariahnya. Pada momen-momen itu, saya lebih senang bergumul dengan kucing yang begitu jujur dengan nafsu dasariahnya: hanya ingin makan dan tidur. Kucing adalah teman saya di masa-masa keterasingan terhadap dunia. Kehilangan seekor kucing terlalu menimbulkan kesepian yang panjang, karena saya tidak mampu menghadapi manusia.


Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat