Di komunitas tempat saya berkumpul dulu, Madrasah Falsafah, kami memiliki semboyan “semua orang adalah filsuf”. Semboyan tersebut menunjukkan bahwa di Madrasah Falsafah, mereka yang hadir tidak perlu spesifik orang yang terlebih dahulu menggeluti filsafat sehingga dapat disebut sebagai “filsuf”. Justru, di Madrasah Falsafah, mereka yang hadir sudah “dengan sendirinya” menjadi “filsuf” – meskipun katakanlah, orang yang awam di bidang filsafat. Bagaimana hal tersebut bisa diklaim? Madrasah Falsafah menekankan pentingnya peran moderator untuk menggali pendapat setiap peserta dan menariknya ke arah refleksi filosofis. Artinya, pendapat apapun dari peserta akan menjadi filosofis, jika moderator mampu membuatnya menjadi filosofis. Memang tidak serta merta semboyan “semua orang adalah filsuf” menjadi jitu, karena yang lebih benar adalah “semua orang adalah filsuf, saat moderator mampu membuat pendapat setiap orang menjadi filosofis.”
Namun tulisan ini bukan hendak membahas aktivitas Madrasah Falsafah, yang mungkin pernah saya bahas di tulisan-tulisan yang lampau, melainkan lebih pada mengurai apa itu “filsafat” dan apa bedanya dengan “berpikir filosofis” (yang lebih dekat pada kegiatan Madrasah Falsafah). “Berpikir filosofis” tidak sama dengan “belajar/ mempraktikkan filsafat”, jika filsafat kita anggap sebagai sebuah disiplin ilmu sekaligus sistem pengetahuan. Mereka yang mengkaji filsafat sebagai disiplin ilmu/ sistem pengetahuan, kita bisa sebut sebagai “ahli filsafat”, sementara mereka yang intens “berpikir filosofis”, mungkin itulah yang bisa kita sebut sebagai “filsuf”.
Seorang “filsuf” belum tentu “ahli filsafat”, pun sebaliknya. Kita bisa menemukan “filsuf” tidak hanya dari tradisi akademik, melainkan juga di manapun, termasuk tukang pijat, tukang gorengan, orang kantoran, atau orang di manapun yang tidak sengaja kita temui. “Filsuf” ini belum tentu hapal teori-teori filsafat, tapi kita tahu bahwa ia senantiasa berpikir reflektif, kritis, dan mendalam, kerap berusaha mencari hakikat. Sebaliknya, orang yang belajar filsafat di perguruan tinggi, menjadi seorang sarjana, dosen, hafal pemikiran para filsuf dari Plato hingga Derrida, belum tentu menjadi “filsuf” jika ia tidak mempraktikkan “berpikir filosofis” yang intens (kerjanya hanya meminjam pikiran orang lain dan mengutip-ngutip saja). Namun sudah pasti, ia adalah seorang “ahli filsafat” karena beraneka hafalannya. Namun tentu saja, lebih mudah menyebut “ahli filsafat” sebagai sekaligus “filsuf”, karena geliatnya yang intens dalam satu sistem pengetahuan bernama “ilmu filsafat”.
“Ahli filsafat” ini, dalam paradigma berpikir filsafat yang kita sebut saja “Barat”, artinya menguasai sejarah dan teori dari para pemikir yang “sudah babon”: Sokrates, Plato, Aristoteles, Descartes, Kant, Hume, Hegel, dan seterusnya. Ini adalah sebuah sistem: orang yang mengaku ahli filsafat, akan sangat aneh jika tidak memahami secuil pun gagasan Kant atau Hegel. Bisa saja dia mengaku seorang “ahli filsafat Timur” atau “ahli filsafat Nusantara” sehingga tidak merasa perlu untuk menghafal nama-nama pemikir “Barat”, tapi pendapat demikian bisa problematik, karena pertama, mencampuradukkan sistem pengetahuan yang sudah baku dan kebetulan berkembang di “Barat” dan kedua, sebenarnya ia yang berpendapat demikian memang menggeluti pemikiran “Timur” sebagai objek kajian, tapi tetap dipandang dengan “gaya Barat” (sebut saja, salah satunya, dengan cara membedahnya menjadi ontologi, epistemologi, dan aksiologi).
Singkatnya, dalam pandangan saya, apa yang disebut “filsafat”, mudahnya, adalah “selalu Barat”, selalu tentang Sokrates dan seterusnya. Jadi, adakah “filsafat Timur”? Tentu ada, dan sangat gegabah untuk menyebut bahwa di Timur “tidak ada filsafat”. Namun harus diakui, pengartikulasian pemikiran “Timur” ini agak berbeda dengan “Barat”. Misalnya, pemikiran “Timur” tidak bisa terlalu dipisahkan dari tradisi lainnya seperti agama dan budaya, dan pengimplementasiannya biasanya sejalan dengan harmoni dan laku hidup; sementara pemikiran “Barat” bertendensi “terpisah” dari tradisi lainnya, sehingga bisa dikaji secara independen dalam konteks akademik. Misalnya, mempelajari pemikiran Kant tidak perlu menjadi seorang Jerman atau memahami seutuhnya konteks Masa Pencerahan (meski tentu saja, sangat membantu); tetapi memahami filsafat India, perlu kiranya untuk memahami kaitannya dengan tradisi Veda dan non-Veda, bagaimana orang India melihat keterhubungan filsafat dengan laku keseharian, dan sebagainya.
Jadi, apa pokok perbedaan keduanya? Mungkin lebih tepat dikatakan sebagai bahasa, atau sistem pembahasaan atau bisa juga: permainan bahasa. Sistem filsafat Barat sudah dibuat sedemikian rupa agar pembahasaannya bertendensi “universal”, sehingga orang-orang dari segala kebudayaan dan peradaban bisa mempelajarinya sebagai sesuatu yang “berdiri sendiri”. Apakah sistem filsafat Timur tidak juga demikian? Ya, jika sudah ditempatkan dalam kerangka “sistem filsafat Barat”. Tadinya, saya kira, sebelum ditempatkan dalam kerangka “sistem filsafat Barat”, gagasan pemikiran Timur bisa jadi melebur bersama keyakinan dan kepercayaan tertentu yang tidak bisa dipahami secara terpisah.
Jadi, kembali ke soal Madrasah Falsafah, tepatkah kita menyebut “semua orang adalah filsuf”? Ya, jika mereka yang datang memang bukan para “ahli filsafat Barat” atau orang-orang yang mempelajari filsafat sebagai sebuah sistem pengetahuan. Betul, bahwa di Madrasah Falsafah, kita semua, setidaknya dalam momen dua atau tiga jam, menjadi filsuf dalam arti mempraktikkan berpikir filosofis yang intens. Namun Madrasah Falsafah, jika ingin disebut sebagai “komunitas filsafat” (bukan komunitas nongkrong ngobrol-ngobrol biasa), tetap mengandaikan adanya penempatan segala pikiran filosofis tersebut ke dalam kerangka “sistem filsafat Barat”. Siapa yang mampu melakukannya? Ya moderator. Moderator, bagi saya, mesti menguasai sistem tersebut. Ia mestilah seorang ahli filsafat (Barat).
Comments
Post a Comment