Masa Renaisans sering ditandai sebagai perubahan cara pandang dari teosentrisme menjadi antroposentrisme. Singkatnya, teosentrisme adalah aliran pemikiran yang menjadikan Tuhan sebagai pusat, sementara antroposentrisme menjadikan manusia sebagai pusat. Pertanyaannya, mungkinkah teosentrisme juga adalah sebentuk antroposentrisme? Karena bukannya Tuhan yang sebenarnya menjadi pusat, tetapi tafsir manusia itu sendiri yang mengatasnamakan Tuhan. "Teosentrisme" Abad Pertengahan, misalnya, dua di antaranya, menghasilkan perang besar atas nama agama dan praktik inkuisisi yang sukar dipercaya bahwa keduanya dilakukan murni "atas kehendak Tuhan". Periode Pasca Abad Pertengahan, dari mulai Renaisans hingga Pencerahan, pelan-pelan kian menganggap bahwa segala-galanya bisa dijelaskan lewat metode ilmu pengetahuan yang mengantarkan pada kepastian. Tuhan mungkin ada, tetapi tidak digunakan untuk menjelaskan segala fenomena. Bahkan bagi para saintis di zaman itu, Tuhan lebih seperti pembuat jam alias mencipta, setelah itu tidak mengerjakan apa-apa lagi: biarkan menjadi urusan saintis untuk menerangkan segala gejala di alam semesta beserta hukum-hukumnya (seperti pembuat jam yang tidak ikut campur lagi setelah jamnya berjalan).
Di pertengahan abad ke-20, antroposentrisme mulai digugat. Subjek yang tadinya adalah sumber segala: aku berpikir, aku berkehendak, atas nama kebebasanku, dan seterusnya, mulai dipertanyakan relevansinya di hadapan kemajuan teknologi dan juga persoalan lingkungan. Teknologi tidak lagi ditempatkan dalam kerangka usang sebagai "perpanjangan tangan sains", melainkan mulai dipandang sebagai kesadaran yang berdiri sendiri, yang justru mengurung kehendak bebas manusia. Istilah "orang di belakang senapan" tidak lagi berlaku, karena yang terjadi justru: "senapan mengendalikan orang". Selain itu, cara pandang antroposentris juga terbukti merusak lingkungan, menganggap alam hanya sebagai objek untuk dieksploitasi demi kepentingan manusia. Muncul narasi hipokrit seperti: "Ayo selamatkan alam, demi anak cucu kita," yang justru menunjukkan bahwa usaha-usaha penyelamatan alam tidak lebih daripada upaya agar alam tetap tersedia untuk dihabisi kembali oleh manusia.
Benarkah antroposentrisme mesti dibuang sebagaimana dirinya pernah menyingkirkan teosentrisme? Jika ya, bagaimana bisa? Pentti Linkola, pemikir asal Finlandia, membuat gagasan ekstrem sebagai penolakannya terhadap antroposentrisme: manusia boleh saja musnah, agar alam bisa bertahan lebih lama. Bagi dia, hal-hal yang membuat populasi manusia berkurang drastis adalah hal yang patut disyukuri bagi kelangsungan alam. Dia tidak bicara tentang alam mesti diselamatkan demi manusia. Bagi Linkola: alam lebih baik jika tanpa manusia. Benarkah Linkola menawarkan suatu cara pandang yang melepaskan diri dari antroposentrisme? Kita bisa tahan sejenak untuk tidak langsung menjawabnya. Mari berpindah ke urusan teknologi. Meski teknologi jelas "bukan manusia", tapi tidakkah kita masih memandangnya sebagai suatu hal yang "manusiawi"? Misalnya, membayangkan komputer yang "berpikir" (meski kemudian dianggap punya cara pikir sendiri, sehingga justru manusia tertentu yang disebut "berpikir komputasional") atau mengandaikan "laptopmu mungkin kelelahan karena digunakan terus". Atau, dalam konteks lain, jika saya sedang mendengarkan istri saya menjelaskan soal kesehatan dan fungsi-fungsi organ, saya menangkap bahwa organ-organ tersebut seperti "punya kesadarannya sendiri", seperti "pankreas lelah" atau "darah yang ingin masuk ke sel" dan seterusnya. Dengan demikian, bagaimana kita, setidaknya dari contoh-contoh keseharian tersebut, bisa keluar dari kepungan antroposentrisme?
Kembali ke Linkola, apakah benar Linkola mencoba keluar dari antroposentrisme dengan membiarkan manusia punah demi kelangsungan alam yang memerlukan injury time? Mungkin ya, tapi bisa juga: Linkola lebih antroposentrik dari pemuja manusia manapun. Linkola juga sama antroposentrisnya, saat mengatakan bahwa "alam perlu perpanjangan waktu", "tidak apa-apa manusia habis demi alam". Linkola tidak cukup keluar dari antroposentrisme jika hanya tentang "manusia yang perlu musnah", tapi justru ia melihat alam sebagai entitas yang sama bengisnya seperti manusia. Mengandaikan alam yang "penuh ketenangan dan kedamaian", apakah benar-benar sejalan dengan "kehendak alam", atau sekadar nama lain dari kesadaran antroposentrik yang juga senantiasa "menginginkan ketenangan dan kedamaian"? Bahkan Hegel yang mengandaikan adanya roh absolut sebagai penopang seluruh gerak sejarah, tidakkah kita bisa juga sebut sebagai "kesadaran subjek yang mengabstraksi menjadi roh"? Kita, jangan-jangan, tidak punya peluang untuk lepas dari diri.
Comments
Post a Comment