Seperti biasa, dalam rangka mempersiapkan materi untuk Kelas Isolasi, saya mesti membaca-baca beberapa teks yang sebelumnya kurang familiar. Justru dengan adanya kelas ini, saya "terpaksa" mempelajarinya. Singkat cerita, kami memutuskan untuk membahas tema anarkisme. Tema ini bagi kami terasa cukup berani karena pertama, citra anarkisme yang lekat dengan kekerasan dan bahkan perusakan (seolah-olah "tidak layak" dibicarakan); kedua, berpotensi "diserang" karena sebagian anarkis yang lebih senang mempraktikkan ketimbang membicarakan (sehingga kami berpotensi dikatai "bacot"); ketiga, bahasan ini bukan bahasan "arus utama" dalam filsafat dan sependek pengamatan kami, pemikir dan pemikirannya jarang dibahas dalam konteks akademik. Waktu kami pertama kali mengeluarkan poster kelas, komentar-komentar bermunculan tentang mengapa kami tidak membahas pemikir ini atau pemikir itu. Jujur, memang tidak mungkin semuanya terangkum karena pemikir anarkisme ini sangat banyak. Namun untuk memfasilitasi masukan-masukan tersebut, kami akhirnya membuat kelas anarkisme sesi tambahan. Pemikir-pemikir yang dibahas dalam kelas anarkisme adalah Mikhail Bakunin, Pierre-Joseph Proudhon, Peter Kropotkin, Emma Goldman, Jacques Ellul, John Zerzan dan pada sesi tambahan, kami memasukkan Leo Tolstoy, Murray Bookchin, Max Stirner, dan Paul Feyerabend.
Berkutat nyaris dua bulan dengan pemikiran para anarkis, saya mendapat beberapa pandangan berikut ini: Pertama, tidak semua anarkis mengajarkan kekerasan. Bahkan mungkin hanya sebagian kecil saja seperti misalnya Bakunin dan (Enrico) Malatesta. Lainnya, seperti Tolstoy, Ellul, atau Bookchin, meski melihat konsep negara itu problematik, tetap menganggap kekerasan bukan solusi dalam melawan negara. Kedua, meski semua anarkis sepakat bahwa negara itu problematik, tidak semuanya menawarkan pembubaran negara secara institusional sebagai pemecahan masalah. Beberapa di antaranya, seperti Ellul atau Tolstoy, melihat bahwa penyelesaiannya ada pada tataran pemikiran dan cara kita berkehidupan sehari-hari: negara memang ada, tapi tidak perlu dipatuhi, bahkan tidak perlu dianggap ada. Fokus saja pada lingkungan kecil, masyarakat yang bisa kita jangkau, dan bertindaklah sebisa-bisa untuk saling memenuhi kebutuhan tanpa perlu mengandaikan adanya otoritas yang lebih tinggi dan hierarki yang mengungkung. Ketiga, barangkali ini subjektif dan berapa pada tataran "perasaan", tapi sebagian besar pemikiran anarkisme yang saya selami, teks-teksnya menciptakan perasaan "teduh", "adem", dan bahkan saya berkesimpulan bahwa mereka-mereka ini sungguh "berhati lembut". Pemikiran anarkisme tertentu memang berapi-api, revolusioner, dan menimbulkan kegelisahan, tetapi tulisan-tulisan lainnya, karena mungkin mengandaikan masyarakat yang "gemah ripah loh jinawi", maka kesan "surgawi" itulah yang ditimbulkan. Misalnya saja, pada karya-karya Bookchin, yang meski agak rumit, tapi kesan sejuk itu terasa.
Anarkisme memang memiliki banyak spektrum dan tidak hanya berkutat terhadap usaha meruntuhkan negara dalam arti institusi, tapi juga segala bentuk dogma dan otoritas yang mengatur dengan cara membatasi kebebasan manusia. Memang itu kelihatannya yang menjadi pokok: kebebasan. Tolstoy menerapkannya dalam sekolah yang ia dirikan: murid tidak banyak diatur, mereka boleh belajar apapun yang menjadi minatnya, tidak harus masuk pada jam yang ditentukan, bahkan mereka boleh bolos sesuka hati. Stirner menarik konsep kebebasan secara radikal hingga pada tingkat individu, bahkan bahasa pun bisa menjadi penjara yang mesti dilampaui. Feyerabend fokus pada sains yang otoritatif, yang dilawan dengan "anarkisme epistemologi" dengan prinsip anything goes, yang kira-kira menolak sikap sains yang sok punya kebenaran tunggal. Apapun oke (termasuk jika diandaikan Feyerabend melihat pawang hujan), selama hasilnya sesuai. Bahkan dalam buku Demanding the Impossible (1991) yang ditulis oleh Peter Marshall, disebutkan bahwa pada mulanya, istilah anarkisme dan liberalisme awalnya merupakan istilah yang dipertukarkan karena tidak ada bedanya dalam hal melihat pentingnya kebebasan. Semakin luaslah spektrumnya, jika kedua kata tersebut, yang sebelumnya mungkin kita anggap sebagai bertolak belakang, ternyata pernah digunakan untuk menunjuk gagasan yang sama. Marshall menawarkan untuk menyebut anarkisme sebagai "sungai gagasan", alih-alih mendefinisikannya lewat satu esensi.
Menggeluti anarkisme secara intens membuat pola pikir saya terjustifikasi. Mungkin bisa dikatakan, bahwa telah sejak lama saya anarkis, dalam tataran tertentu: tidak suka diatur, tidak suka didikte, kecuali oleh hal-hal yang sejalan dengan kehendak sendiri. Meski sering dianggap kurang praktis, saya tetap yakin bahwa setiap dari kita perlu belajar anarkisme dan memegang prinsip-prinsipnya: bahwa tiada siapapun, termasuk Tuhan, yang berhak membatasi kebebasan kita. Kita adalah tuan dari kebebasan itu sendiri, termasuk saat dengan sadar memilih untuk memenjarakannya.
Comments
Post a Comment