Akhir tahun lalu, saya dikontak oleh Penerbit Footnote. Katanya, adakah naskah yang kira-kira bisa diterbitkan, utamanya terkait demotivasi? Saya bilang belum ada, terlebih lagi, Kumpulan Kalimat Demotivasi edisi tiga rencananya akan saya terbitkan kembali di Buruan and Co., seperti dua edisi sebelumnya. Namun saya punya beberapa ide yang mungkin bisa dijalankan. Pertama, ide tentang buku berjudul Sop Kikil, yang menjadi pelesetan Chicken Soup for Soul. Isinya, tentu saja, kisah-kisah tentang kegagalan hidup. Kedua, ide tentang pengembangan tokoh Charles Handoyo, tokoh yang disebut-sebut dalam Kumpulan Kalimat Demotivasi 2.
Siapakah Charles Handoyo? Saya akan menceritakan sedikit asal usul tokoh ini. Sebenarnya tokoh ini adalah rekaan Jason Limanjaya, kawan saya, seorang pianis jazz sangat berbakat, dengan pola pikir yang memang agak unik. Waktu saya mulai membuat instagram @kumpulankalimatdemotivasi, Jason kemudian berkontribusi dalam salah satu konten dan meminta namanya ditulis dengan "Charles Handoyo". Saya pikir nama tersebut unik, "motivator banget". Akhirnya, saat menulis Kumpulan Kalimat Demotivasi 2, tokoh Charles Handoyo dimunculkan entah dalam satu atau dua bab, tapi tidak terlalu menonjol.
Kesempatan dari Penerbit Footnote ini kemudian dimanfaatkan untuk menonjolkan tokoh Charles Handoyo. Nah, pertanyaan berikutnya, formatnya mau bagaimana? Jika berupa teks, tentu berpotensi ada kesamaan tipis-tipis dengan Kumpulan Kalimat Demotivasi. Akhirnya diputuskan untuk mencoba format komik atau, dalam bahasa yang lebih menjual, novel grafis. Masalah berikutnya adalah mencari siapa yang menggambar, karena saya sendiri tidak bisa menggambar. Sempat terpikir nama Amenk, ilustrator Kumpulan Kalimat Demotivasi 2, tapi akhirnya pilihan jatuh pada Eko Priyantoro, kawan yang berbakat dalam menggambarkan sesuatu yang lebih tepat dikatakan absurd daripada lucu. Menariknya, Eko tidak hanya piawai menggambar, tapi juga menyumbang ide cerita.
Singkat cerita, saya menyusun kisah Charles Handoyo: Sang Demotivator, dari dia lahir, sekolah, pergi ke luar negeri, sampai pulang ke Indonesia, menjadi motivator, hidupnya berubah menderita, dan berbalik menjadi demotivator. Sebenarnya, yang saya tuliskan ini adalah gambaran yang sangat umum. Namun Eko, sesuai dugaan, dapat menerjemahkan ide yang umum tersebut menjadi detail-detail menarik yang mengejutkan. Ia bisa memasukkan potongan adegan Pertobatan Mulyono atau memasukkan beberapa filsuf seperti Nietzsche atau Sartre. Secara umum, komik ini, bagi saya, begitu aneh, banyak tidak nyambungnya, tapi meski demikian, saya sendiri banyak terpingkal-pingkal melihat akrobat Eko dalam menafsirkan cerita. Setidaknya Eko mengerti, bahwa demotivasi adalah "kritik atas apa yang klise". Jika kita berharap ending komik yang mengharukan dan penuh glorifikasi terhadap tokoh utama, Charles Handoyo: Sang Demotivator, kelihatannya akan sangat berkebalikan dengan harapan-harapan semacam itu.
Comments
Post a Comment