Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...

Tentang Buruh Digital


Pembahasan ini sebenarnya adalah tema disertasi yang tengah saya garap, yang entah kenapa begitu sulit untuk dikerjakan secara intens, kemungkinan karena terlalu banyak distraksi pekerjaan lain (padahal memang alasannya cuma itu, plus malas). Awalnya saya mengajukan topik tentang demotivasi, tetapi terang-terangan ditolak oleh almarhum Romo Herry. Akhirnya saya memutuskan untuk mengkaji gagasan Christian Fuchs dari salah satu bukunya yang berjudul Digital Labour and Karl Marx (2014). Mengapa memilih pemikirannya Fuchs? Alasan pertama, pemikirnya masih hidup, topiknya sangat kekinian, sehingga kurang lebih dapat dikategorikan sebagai pemikir/ pemikiran kontemporer. Alasan kedua, adalah alasan yang lebih praktis, yaitu karena teks primernya berbahasa Inggris (di STF Driyarkara, jika kami membaca teks primer, harus dalam bahasa aslinya, sehingga jika teks aslinya berbahasa Jerman, maka harus menguasai bahasa Jerman juga). Alasan terakhir, yang mungkin lebih serius, adalah ketertarikan untuk mendalami Marxisme. 

Digital Labour and Karl Marx adalah karya Fuchs, sosiolog dan juga pakar ilmu komunikasi asal Austria, yang mengaitkan antara Marxisme dan perburuhan digital. Dilihat dari judulnya, sekilas mungkin kita akan menganggap bahwa buku ini membahas tentang para pekerja di bidang digital dan eksploitasi di dalamnya. Namun Fuchs bergerak lebih jauh dengan berpendapat bahwa kita semua, yang memiliki akun medsos, terlebih lagi yang terakses hampir 24 jam sehari, pada dasarnya adalah buruh tidak dibayar, yang "dipekerjakan" untuk mengakumulasikan nilai lebih bagi platform digital (misalnya, Facebook, Twitter, Instagram, dan lain-lain). Bagaimana Fuchs bisa sampai pada simpulan semacam itu? 

Fuchs menariknya dari pendapat teks-teks klasik Marx dan Engels tentang definisi buruh, termasuk tentang kerja-kerja yang teralienasi (bukan cuma kerja secara umum). Kerja yang teralienasi ini terjadi salah satunya karena buruh tidak terhubung dengan hasil kerjanya. Sebagai contoh, ia diberi pekerjaan untuk mengelas pintu mobil, tapi mobilnya sendiri, wujud akhirnya seperti apa, bukan menjadi urusan si buruh. Lebih jauh lagi, mobil sebagai hasil akhir, tidak diklaim sebagai kerja buruh secara individual, pun buruh tidak hanya tidak sanggup membelinya, untuk mengendarainya pun belum tentu dibolehkan. Hal tersebut berbeda dengan konsep lain, yaitu kerja konkret, yakni saat apa yang dikerjakan, hasilnya bisa dituai sepenuhnya oleh si pekerja (misalnya, menanam singkong, singkongnya dimakan oleh dirinya sendiri bersama keluarga). Lebih luasnya, kerja konkret dapat diartikan sebagai kerja yang didedikasikan untuk memproduksi barang yang berguna, barang yang diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan manusia individu, keluarga, maupun komunitasnya secara langsung. 

Mengakses media sosial sendiri, bagi sebagian orang, tidak bisa dikategorikan bekerja. Malah bisa jadi merupakan kegiatan yang dilakukan di sela-sela pekerjaan, bahkan masuk kategori hiburan, penyegaran. Jadi, sekali lagi, bagaimana pemilik akun medsos bisa dikatakan buruh, sebagaimana ditulis oleh Fuchs? Kita memproduksi, lewat unggahan macam-macam konten, dari mulai status, foto, video, dan lainnya. Bukankah semua itu tidak menimbulkan kerugian bagi kita? Bahkan, untuk membuat akun medsos itu gratis, tidak keluar banyak usaha kecuali melengkapi beberapa isian. Iya, tapi ada hal yang kemungkinan luput kita simak, yaitu kenyataan bahwa kita, tanpa sadar sudah menyetujui bahwa segala konten dan data yang diunggah, boleh digunakan untuk kepentingan komersil (ditulis di bagian syarat dan ketentuan, yang saya sendiri tidak pernah membacanya). Jadi, mengunggah konten itu adalah kerja, kerja yang tidak dibayar, yang membuat platform kaya raya, salah satunya dari penjualan data dan konten kita pada pihak produsen, yang kemudian menjadikan kita sebagai "target mikro" bagi iklan produk-produknya. 

Pertanyaan berikutnya, okelah pengguna medsos menciptakan nilai lebih bagi platform penyedia, tapi kan, kita melakukannya dengan sukarela? Tidak seperti buruh yang "harus bekerja" karena memerlukan uang. Hendak menggunakan medsos atau tidak, pilihan itu dikembalikan pada kita sendiri. Fuchs punya argumentasi, bahwa memang tidak ada paksaan bagi kita untuk membuat akun dan mengunggah konten, tetapi terdapat konstruksi yang diwacanakan bahwa tidak memiliki media sosial artinya tidak terhubung dengan dunia, kita kehilangan akses dengan kehidupan sosial, dan apa yang lebih ditakutkan oleh manusia, selain merasa kesepian? Fuchs ada benarnya, orang yang tidak punya medsos, seringkali dituding "kurang gaul" atau "ketinggalan berita". 

Untuk semakin menambah kegetiran, Fuchs menawarkan istilah playbour, yang menunjukkan bahwa buruh digital adalah buruh yang tidak lagi bisa membedakan antara waktu kerja dan waktu luang. Keduanya dilakukan secara bersamaan: maka itu ada istilah "main medsos", seolah-olah suatu kegiatan menyenangkan, padahal dieksploitasi.  

Semoga semester depan topik ini sudah bisa diujikan proposalnya. Saya terus menulis dan menjadi narasumber untuk topik ini, semata-mata demi mengingatkan saya agar tidak lepas dari topik ini, sekaligus semacam pelarian dari rasa bersalah yang terus menghantui.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...