Ada istilah dalam bahasa Indonesia untuk branding yaitu penjenamaan. Namun, karena istilah penjenamaan belum terlalu sering digunakan (?), maka saya akan tetap menggunakan branding. Apa yang bisa dikatakan tentang branding? Sekarang, segala bentuk bisnis bicara branding. Branding awalnya bisa diartikan sebatas "merk". Namun, branding tentu lebih luas daripada merk. Branding bisa juga meluas pada "citra", serta nilai ekonomi, bahkan sosio-kultural yang melekat padanya. Saat kita menggunakan produk Nike, kita tidak sekadar menggunakan produk bermerk Nike, tapi segala gengsi yang "inheren" berada bersama Nike. Dengan adanya gengsi tersebut, tentu harga produk Nike bisa menjadi lebih mahal, meski kualitasnya mungkin tidak beda jauh dengan produk lainnya yang kurang terkenal. Hal demikian yang oleh Marx disebut sebagai "fetisisme komoditas", yang membuat suatu produk dikenai "mistifikasi nilai" yang terlepas dari relasi produksinya. Kita membeli Nike karena "fetish" terhadap katakanlah, kenyataan bahwa produk tersebut digunakan oleh Michael Jordan atau turut mensponsori klub-klub sepakbola ternama. Kita memuja dan menghargai begitu tinggi karena "ya itu Nike", tanpa perlu menjadi masuk akal proses produksi di belakangnya (perkara harga bahan baku, jam kerja dan upah buruh, misalnya).
Itu mungkin pandangan pertama, dari sudut pandang Marxisme. Pandangan berikutnya mungkin lebih bebas, yang berangkat dari pengalaman pribadi. Di Bandung, ada restoran namanya Toko You, yang terkenal dan bisa dikatakan legendaris. Menariknya, restoran tersebut tidak mempunyai plang, tidak ada tulisan "Toko You" yang dibentangkan di depan (kalau tidak salah tulisan Toko You itu hanya ada di bagian kasir, itupun agak kecil). Saya pernah ngobrol-ngobrol dengan pemiliknya, Pak Sonny, yang mengatakan bahwa Toko You tidak memerlukan plang bertuliskan Toko You. Pernah dicoba, tapi Pak Sonny merasa kurang sreg, sehingga plang itu dicopot. Jika branding bermula dari merk, Toko You berbeda, merk itu tidak perlu dibesar-besarkan: nama tidak penting, yang lebih penting adalah tempatnya nyaman, makanannya enak. Seolah-olah, istilah "Toko You" hanyalah nama yang "harus ada" untuk memudahkan orang menunjuk restoran "itu". Singkatnya, kalaupun mesti ada yang namanya branding, Toko You membangunnya "dari dalam", dari "kualitas primer" si restoran itu sendiri.
Tentang branding ini saya kemudian banyak belajar dari Eka Sofyan Rizal, desainer, yang dalam kuliah-kuliahnya mengatakan bahwa konsep branding seringkali disalahartikan, dengan membuatnya seolah-olah semacam "kemasan manipulatif". Ibaratnya, branding sebuah restoran dikatakan baik, jika misalnya dapat menyajikan konsep interior yang kuat (dan "instagramable") atau promosi digital dengan konten yang estetik. Misalnya, katakanlah Satpol PP ingin memperbaiki citranya yang galak dan suka menggusur warga, dengan cara menghias kantornya agar lebih terkesan ramah dan lucu (misalnya, lewat pemilihan font yang "tanpa kait"). Dengan demikian, bisa jadi Satpol PP tengah mem-branding diri agar tidak lagi ditakuti, terutama oleh rakyat yang berdagang di tempat yang "tidak seharusnya". Namun apakah terdapat perubahan dari cara Satpol PP bersikap? Hal tersebut mungkin luput untuk dibenahi, sehingga yang terjadi justru hanya "manipulasi kemasan". Padahal yang lebih penting adalah "kualitas primer"-nya, seperti Toko You dan makanannya, bukan Toko You dan plangnya.
Dalam dunia serba visual sekarang ini, branding menjadi hal yang penting, jika tidak dapat dikatakan yang terpenting. Pekerjaan sebagai konsultan branding bermunculan untuk menjawab apa yang disebut sebagai "kebutuhan zaman". Restoran/ kafe di-branding, kantor pemerintahan di-branding, sekolah di-branding, yang entah dibenahi bersama isinya, atau cuma luarannya saja, citranya saja di mata publik. Di sisi lain, sebagaimana halnya saya mengingat Toko You, saya juga teringat dengan berbagai restoran lainnya, seringnya milik orang Tionghoa (terutama restoran yang cenderung "jadul"), yang selalu berangkat dari "kualitas primer": rasa makanan dan keramahan yang tidak dibuat-buat. Jika tujuan semua bisnis adalah laku, mereka-mereka ini umumnya tak perlu branding berlebihan untuk laku. Kadang saya menemukan restoran enak yang masuk gang-gang kecil, yang tempatnya terkesan tidak dikonsep (yang penting bisa nyaman duduk dan makan), kadang berjejalan, beberapa di antaranya bahkan tidak terlalu bersih, tapi itulah: ramai. Mungkin jika diibaratkan, umumnya orang melihat branding sebagai "make up untuk memanipulasi tampilan luar", tetapi yang lebih penting justru: inner beauty, kecantikan dari dalam.
Comments
Post a Comment