Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...

Ada Sesuatu yang Tumbuh dalam Diri ...



Memang harus diakui, meski mengerti beberapa konsep dalam filsafat sejak agak lama (mungkin sekitar sepuluh tahunan), saya tidak seberapa mendalaminya, atau bahkan menubuhinya. Misalnya, saya mengerti konsep-konsep dasar Marxisme sedari dulu, tapi ya hanya di tataran pikiran. Praktiknya, saya merasa sangat pragmatis, ikut saja ke mana kesempatan muncul. Agak berat untuk mengakui ini, tetapi akhirnya harus diakui, bahwa tahun 2017 dan 2018, saya merasa keren sekali karena menjadi bagian dari acara festival kota yang didanai oleh pemerintah. Acara tersebut sebenarnya berantakan, tapi pada masa itu saya enggan mengakuinya, sibuk membela diri, sibuk menunjukkan pentingnya acara tersebut, pentingnya diri saya ada di sana. Memalukan. Kemudian pada Pemilu 2019, saya ikut-ikutan membela politisi tertentu. Ada sekelompok orang yang menarik saya untuk bergabung, menjadi semacam bagian dari "tim penting" untuk melanggengkan beberapa orang untuk naik ke tampuk kekuasaan. Setiap hari, saya merasa orang-orang ini saling sikut, kerap bergerak pada ke mana uang berhembus. Tidak ada teman, tidak ada lawan, yang ada cuma kepentingan. Saya tahu semboyan itu sejak kuliah, tapi baru kali ini hal demikian tampak nyata di hadapan. Begitu vulgar, begitu binatang. 

Lewat Kelas Isolasi, yang dimulai sejak Maret 2020, saya tertantang untuk terus belajar, mendalami filsafat dengan lebih baik, karena merasa bertanggungjawab pada lebih banyak orang. Pada momen-momen itu (didukung juga oleh jarangnya saya bertemu orang asing yang kurang jelas), saya dipaksa untuk menggeluti teks secara lebih serius. Tidak hanya pikiran yang berubah, tapi ada sesuatu juga yang tumbuh dalam diri saya, semacam kemantapan hati (meski agak prematur untuk menyebutnya demikian). Misalnya, saat lebih dalam membaca Thomas Hobbes dan John Locke, saya menerawang kembali apa arti kodrat manusia. Keduanya ada benarnya: yang satu melihat manusia adalah makhluk yang saling memangsa satu sama lain, satu lagi merasa manusia itu kondisi naturalnya bebas dan setara, tapi problematik jika berhubungan dengan pelanggaran hak milik. Melalui pikiran-pikiran mereka, saya semakin mengenali perasaan kebinatangan dalam diri, perasaan ingin memangsa, perasaan ingin mempertahankan hak milik dengan berlebihan, dan maka itu, malah berbalik merasa jijik, meski pada titik tertentu, amatlah kodrati. 

Perubahan lebih besar terjadi saat saya membaca teks-teks anarkisme, karena juga didorong oleh pembahasan di Kelas Isolasi yang kami sepakati sendiri. Utamanya saat membaca gagasan Jacques Ellul, yang melihat negara sebagai iblis dalam dirinya sendiri. Hal tersebut memutarbalikkan pemikiran saya, yang dulu menganggap bahwa perubahan apa-apa perlu melalui negara, percuma jika hanya usaha kecil-kecil, tidak signifikan. Begitu juga saat membaca pemikiran ekologi seperti yang digagas Pentti Linkola, feminisme dalam estetika seperti yang ditulis oleh Carolyn Korsmeyer, seluruhnya mengubah pelan-pelan, membuat saya tidak melihat dunia dengan cara yang sama. Bahkan kadang terlampau pesimistik, bahwa tidak ada yang bisa diubah, semua menarik hanya dalam tataran gagasan para filsuf saja. 

Beraneka kontradiksi tentu masih banyak dalam keselarasan antara pikiran dan tindakan saya: masih rajin memproduksi limbah dan polusi, masih suka tergiur oleh tawaran pekerjaan dengan uang lumayan meski sumbernya tidak jelas (pun tujuannya), masih kadang menikmati "komodifikasi yang natural" (menikmati ngopi di tengah "hutan", mengonsumsi minuman herbal dengan iming-iming "kesehatan"), dan banyak lagi. Namun, meski kontradiksi itu tetap ramai, perut saya mulai merasa mual jika antara pikiran dan tindakan terlalu bertabrakan. Tentu, mual itu bukan artinya saya berhenti melakukannya. Kadang tetap saja (dikerjakan), meski hati nurani ini meronta. Kadang saya merasa, dunia ini tidak bisa diubah lagi, hal yang bisa dilakukan adalah menjalaninya dengan perut mual, dan bertahan sebisa-bisa, sambil mempertahankan prinsip yang dianggap benar. Meski bisa saja salah. 

Saya hanya bisa berdoa, semoga istiqomah, semoga tidak harus sampai malu, di hadapan gagasan para pemikir yang saya cintai, di hadapan musik indah yang saya dengarkan. Merekalah sebaik-baiknya contoh kejujuran, kebeningan hati. Bukan melulu orangnya, tapi gagasan-gagasannya yang mengudara, yang kita hirup agar dunia senantiasa menjadi asing, sekaligus memuakkan.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...