Ilmu agama saya, terus terang, tidak terlalu bagus. Lebih tepatnya, apa yang saya dapatkan selama ini tentang Islam, berasal dari dogma-dogma dan ajaran yang ditanamkan sejak kecil. Saya tidak pernah belajar agama secara formal atau mendalaminya dengan ilmu yang memadai. Modal saya ya hanya filsafat inilah, yang membuat saya berani mengorek-ngorek secara kritis perihal agama, terutama agama yang saya anut. Selama ini, saya menganggap sedekah adalah sesuatu yang mulia dan memang benar, mulia. Ibu mengajarkan untuk bersedekah sambil berpesan: jangan takut harta berkurang, karena sebaliknya, justru akan bertambah. Jika kita berhenti sampai di sana, tentu segalanya aman dan sentosa, tetapi, sialnya, nalar filsafati ini ingin saja mengejar dan mempertanyakan: apakah benar sesederhana itu?
Kunci sedekah adalah "seikhlasnya". Setahu saya, tidak ada keharusan untuk memberikan sedekah sebanyak sekian persen dari harta yang dimiliki atau penghasilan rutin. Seikhlasnya berarti ada prasyarat moral di sana: si pemberi harus memberi atas dasar "kebaikan". Dalam sedekah, pemberi diberi pilihan untuk tidak memberi dan itu sah-sah saja, tidak membuatnya menjadi berdosa. Memberi atas dasar "kebaikan", dan bukan "keharusan" ini, bisa menjadi masalah tersendiri bagi keadilan distributif. Misalnya, A mempunyai uang 100 juta, sementara B, C, dan D, memiliki uang 1 juta. Atas dasar "kebaikan" A, maka ia bersedekah sebesar 1 juta pada masing-masing B, C, dan D sehingga uang A tersisa 97 juta sementara B, C, dan D memiliki masing-masing 2 juta. Apakah A merasa "bersalah" dengan ketimpangan ini? Kemungkinan besar tidak, bahkan ia merasa sudah sangat mulia karena bersedekah.
Persoalan lebih pelik adalah ketika ajaran mengaji tertentu menganggap balasan atas sedekah ini sifatnya kontan dan langsung di dunia. Misalnya, jika kita sedekah 1 juta, maka akan mendapat uang kembali sebesar 10 juta. Jika kita percaya balasan yang semacam itu, maka motif sedekah menjadi semakin menjauh dari keadilan distributif, melainkan untuk kekayaan pribadi yang lebih berlipat. Ia tidak memberi untuk membuat keadaan ekonomi orang lain menjadi lebih "baik", tapi untuk membuat dirinya sendiri lebih kaya. Jadi, bagaimana sedekah itu "seharusnya"? Saya tidak bisa mengatakan yang seharusnya karena persoalan ini bisa jadi berada di area transenden. Namun bagi saya, sedekah itu mungkin mestinya bersifat deontologis. Artinya, kita memberi karena merasa perlu untuk memberi, bukan karena konsekuensi dari memberi: aku memberi karena beriman pada Allah, bukan agar mendapat keuntungan pribadi. Kalaupun setelah memberi ini, misalnya, aku tertimpa musibah, atau menjadi tidak punya uang, maka aku tidak usah protes karena aku memberikan sedekah itu dengan ikhlas (dalam arti tidak berharap kembali dalam bentuk apapun). Sedekah tentu dianjurkan dan tetap keren, baik, tapi hati-hati ilusi yang mengarahkan kita pada sikap rakus (ujung-ujungnya penumpukan harta) dan perlu juga mempertimbangkan dalam kacamata makro: akankah sedekah menyelesaikan persoalan ketimpangan?
Lantas, bagaimana dengan zakat? Menariknya, zakat tidak hanya punya kalkulasi tersendiri, tapi juga bersifat "memaksa". Ini sebabnya Abu Bakar dan Umar, sahabat Nabi, pernah memerangi orang-orang yang enggan mengeluarkan zakat. Saya pikir waktu itu: kenapa diperangi? Bukankah "suka-suka" pemilik harta saja mau berbagi atau tidak? Saya sepertinya mengerti: Abu Bakar dan Umar tengah mengusahakan keadilan distributif karena asumsinya, tidak mungkin ada kepemilikan pribadi yang murni atas dasar kerja keras sendiri. Di dalam setiap harta, ada hak orang lain. Dilematisnya, zakat memang mengusahakan keadilan distributif dengan cara memaksa, tapi jumlahnya juga mungkin "tidak terlalu besar". Misalnya, untuk zakat fitrah, angka yang wajib dikeluarkan adalah 2,5 kilogram dari bahan makanan pokok atau 3,5 liter per jiwa, atau jika dibayar menggunakan uang tunai, maka kira-kira setara dengan 1 sha' gandum, beras atau kurma.
Jika disederhanakan, mungkin sedekah terkesan "liberal" karena tergantung pada "kebaikan individu", sementara zakat lebih ke arah "sosialis" karena diwajibkan demi terjadinya keadilan distributif (meski angkanya agak "kurang ideal"). Sekurang-kurangnya, meski keadilan distributif, saya percayai, tidak mungkin benar-benar tercapai, tapi setidaknya Islam mengusahakan lewat berbagai jalur, baik berupa kebaikan moral maupun keharusan secara struktural. Pengakuan atas kepemilikan pribadi tetap ada, tetapi berulangkali ditekankan, bahwa pertama, harta tidak dibawa mati dan kedua, tidak ada harta yang murni milik pribadi, selalu ada hak orang lain di dalamnya.Jadi, Islam itu mungkin bukan liberal, bukan juga sosialis. Islam adalah bukan keduanya, tapi juga sekaligus keduanya.
Comments
Post a Comment