Saya bukan penggemar sosok pahlawan super, setidaknya yang digambarkan dalam komik, film, ataupun budaya populer lainnya. Saya hanya terpapar tipis-tipis dari kakak, yang kebetulan sangat menggilai komik (menggambar dan mengoleksi) dan action figure. Namun atas dorongan untuk mengisi sebuah forum, saya "terpaksa" membaca-baca soal pahlawan super dan hubungannya dengan filsafat. Akhirnya saya menemukan buku berjudul Superheroes and Philosophy: Truth, Justice, and the Socratic Way (Open Court, 2005) yang disunting oleh Tom Morris dan Matt Morris. Dalam buku tersebut, terdapat hal-hal menarik yang membuat saya merenung - meski sebagian renungan yang dituangkan dalam tulisan ini, sebenarnya sudah saya pernah pikirkan sebelum membaca Superheroes and Philosophy.
Pertama, soal istilah pahlawan super itu sendiri, yang dalam salah satu bab dalam buku tersebut, tepatnya berjudul Heroes and Superheroes yang ditulis oleh Jeph Loeb dan Tom Morris, disebutkan sebagai berkontradiksi. Maksudnya, jika didefinisikan bahwa pahlawan super adalah pahlawan yang memiliki kekuatan super, maka mestinya ia bukan lagi pahlawan. Ambil contoh begini: jika aku tahan api, bisa terbang, kebal peluru, lalu apa poinnya jika aku bisa dengan mudah membasmi kejahatan? Tidakkah yang justru disebut pahlawan, adalah mereka yang memiliki serba keterbatasan, tetapi memilih untuk melakukan hal yang dianggap baik, meski keluar dari "regularitas"-nya?
Maksudnya, tidakkah lebih tepat dikatakan pahlawan, misalnya, tukang sapu yang tidak hanya mengerjakan tugasnya untuk menyapu, tetapi tiba-tiba, di suatu hari, menyelamatkan seorang anak dari tertabrak kereta? Tidakkah lebih tepat dikatakan pahlawan, misalnya, pebisnis, yang di luar aktivitas berbisnisnya, tiba-tiba menyelamatkan seseorang dari penodongan? Pertama, ia tidak hanya punya keterbatasan: tukang sapu dan pebisnis kita asumsikan tidak punya kekuatan istimewa untuk mengatasi persoalan mendesak yang mempertaruhkan nyawa seperti menyelamatkan orang dari tertabrak kereta dan penodongan, mereka hanya punya keberanian dan kemauan untuk menolong, tetapi kedua, ia juga mesti keluar dari regularitasnya: menyelamatkan orang lain bukanlah tugasnya. Tugas profesional mereka adalah yang satu menyapu dan yang satu lagi berbisnis, bukan menyelamatkan orang lain secara langsung. Mereka keluar dari rutinitas, untuk apalah yang kita sebut "tugas non-profesional", mungkin di sini bisa dikatakan "tugas kemanusiaan". Maka itu, jika istilah "pahlawan super" adalah contradictio in terminis, maka pahlawan super tidak layak disematkan sebutan pahlawan, jika berdasarkan pada kekuatan supernya, melainkan menjadi kategori moral, kemampuannya untuk memilih "yang baik". Bagaimanapun, kepemilikan kekuatan super berpotensi membuat siapapun mempergunakannya untuk sesuatu "yang buruk", seperti halnya seseorang yang memiliki senjata yang berbahaya, atau kekuasaan yang besar. Kemudian muncul persoalan baru: tapi, apa yang "baik" itu? Menurut sudut pandang siapa?
Dalam filsafat, persoalan baik dan buruk sama sekali tidak sederhana dan bukan sesuatu yang terlalu jelas. Misalnya, apakah yang baik itu mutlak atau tergantung situasi? Apakah yang baik itu tertanam dalam diri, atau tergantung konsekuensi? Apakah yang baik itu yang mengenakkan bagi tubuh, atau yang tidak enak itu juga baik? Dengan asumsi bahwa kebaikan memerlukan semacam "pengorbanan". Mari perhatikan beberapa contoh dari pahlawan super di Amerika dan Jepang (sebagai dua negara yang bisa dikatakan menjadi garda depan dalam produksi pahlawan super di budaya populer). Sepermukaan pandangan saya, superhero Amerika cenderung individualis, soliter, bergulat secara eksistensial dengan dirinya sendiri, dan kalaupun membentuk tim, tim itu berasal dari "individu-individu unggul" yang satu sama lain juga cenderung memikirkan diri sendiri dan tidak jarang berkonflik. Mereka terpaksa bersatu karena "kepentingan bersama" yang mungkin sifatnya temporer. Sementara itu pahlawan super dari Jepang (tidak semua tentu) seperti satu contoh yaitu Power Rangers, mereka tidak bisa bertarung sendiri-sendiri dan hanya mungkin solid jika kelima-limanya hadir. Terlihat bahwa pahlawan super diekstrak dari budaya tempatnya dilahirkan: Amerika cenderung lebih individualis, sementara Jepang, atau katakanlah Asia Timur, sedikit banyak masih memegang kolektivisme (meski tentu pada wilayah tertentu menjadi kian "Barat" dan sama individualisnya).
Mungkin dugaan ini masih agak lemah. Namun masih ada "bukti" lain bagaimana pahlawan super seringkali bertalian dengan kebudayaan atau apa yang dianut oleh masyarakat produsennya. Sebagai contoh, keberpihakan pahlawan super tertentu pada sains dan teknologi modern, seperti Iron Man atau Batman, yang kekuatan supernya bukanlah sesuatu yang bisa dikatakan supranatural (seperti Superman), tapi lebih ke arah rasional. Bandingkan dengan pahlawan Indonesia seperti Si Buta dari Gua Hantu yang tinggal di dalam gua, mengenakan pakaian dari kulit ular, yang lebih bercirikan ekologis, jauh dari peradaban yang mengagungkan sains dan teknologi modern, seolah mencerminkan kecenderungan masyarakat tertentu yang ternyata tidak semuanya tergila-gila dengan doktrin kemajuan. Demikian halnya dengan aksi-aksi pahlawan super tertentu yang biasa melihat kejahatan sebagai "pengambilan properti pribadi". Perhatikan bagaimana para pahlawan super tersebut menghabisi perampok bank atau mencegah terjadinya penjambretan di jalan. Pihak yang dilindungi di sini adalah mereka yang kepemilikan pribadinya hendak dirampas, semacam pembelaan terhadap nilai-nilai liberalisme Lockean. Adakah alternatif lain? Kita bisa menengok bagaimana Robin Hood dianggap pahlawan ketika justru mengambil properti pribadi orang-orang kaya untuk dibagikan pada orang miskin.
Uni Soviet pernah melahirkan pahlawannya sendiri (meski bukan pahlawan super) yaitu Pavlik Morozov. Morozov dianggap pahlawan karena melaporkan ayahnya sendiri yang "mengkhianati negara", yang membuat ayahnya dihukum mati. Perbuatan Morozov tersebut tidak disukai oleh anggota keluarga lainnya yang akhirnya membunuh Morozov. Keluarganya tersebut akhirnya diadili dan dieksekusi. Siapa yang dianggap "baik" dalam cuplikan cerita tersebut? Ternyata Morozov, yang menganggap kesetiaan pada negara lebih tinggi ketimbang kesetiaan pada keluarga. Dari sini terlihat bahwa pahlawan (super) memang berpihak pada "kebaikan", tapi "kebaikan" yang mana? Kebaikan yang dikonstruksi oleh budaya dan ideologi mana?
Dalam pandangan lain, pahlawan super bisa diartikan sebagai usaha untuk menumbuhkan kembali perasaan "spiritual" di tengah masyarakat yang kian sekuler. Pahlawan super bukan Tuhan, tapi padanya kita bisa berharap dan meminta pertolongan. Tuhan mungkin sudah mati, tapi kita perlu sosok yang lain, yang lebih "nyata", yang berarti pula melakukan desakralisasi terhadap konsep Tuhan yang terlampau abstrak. Namun desakralisasi biasanya disertai pula dengan sakralisasi, semacam pengkultusan pada nilai-nilai lainnya seperti yang sudah disebutkan tadi: misalnya, nilai-nilai kemajuan yang mewujud lewat sains dan teknologi modern.
Terakhir, perlu juga disinggung soal Don Vito Corleone, "pahlawan" dalam cerita The Godfather yang ditulis oleh Mario Puzo. Di keluarganya, ia dianggap pahlawan: mampu mengusahakan keadilan, mampu melindungi yang lemah, mampu mempertahankan kepentingan kelompok. Namun di sisi lain, dari para penegak keadilan, Corleone tidak lebih dari seorang bandit, penjahat, perusak moral, dan segenap predikat buruk lainnya. Corleone, bagi kelompoknya, nyaris disakralisasi, dianggap sebagai "wujud Tuhan di dunia" karena "kekuatan super"-nya, tetapi polisi dan jaksa mendesakralisasinya, menolak "kekuatan super"-nya dan berusaha menangkal dengan hukum dan pasal-pasal yang mengembalikan "apa yang ada di langit" kembali terikat pada hukum-hukum dunia. Kita lihat bahwa pahlawan di sini tidak pernah universal. Pahlawan selalu kontekstual, diproyeksikan dari masyarakat yang menginginkan kebaikan dari sudut pandangnya. Di sisi lain, masyarakat itu harus menciptakan penjahatnya, agar jelas pahlawan semacam apa yang layak dikonstruksi.
Comments
Post a Comment