Konsep dosa memang sekilas mudah sekali ditujukan bagi individu yang melakukan suatu tindakan langsung. Misalnya, lalai beribadah, mabuk, judi, zina, itu semua mudah dibebankan pada perorangan. Kalau saya berzina, misalnya, itu dosa saya pribadi, saya yang menanggungnya, atau, termasuk juga, orang yang saya ajak berzina dan ia setuju. Jika saya seorang tentara, saya memang melaksanakan perintah atasan untuk membunuh lawan. Mungkin atasan saya berdosa karena memerintahkan demikian, tapi peluru yang saya tembakkan, yang membunuh orang di hadapan secara langsung, itulah yang membuat saya menjadi merasa lebih berdosa, mungkin, ketimbang atasan saya.
Namun dalam suatu tindakan yang tidak langsung, atau bersembunyi di balik kerumitan yang bersifat struktural, yang membuat seseorang bisa "menghilang" di balik birokrasi, bagaimana dosa bisa tetap menyasar orang secara individual? Ini menjadi pertanyaan saya belakangan, saat melihat misalnya, presiden yang membuat keputusan perang dengan negara lain, yang membuat ratusan ribu tentaranya mesti membunuh, baik militer maupun sipil, sementara dia sendiri mungkin duduk di kursi nyamannya, sembari menonton televisi dan makan cemilan, dengan kiri kanannya duduk penasihat serta ajudan yang menyarankan mesti begini atau begitu. Siapakah yang merasa lebih berdosa, tentara atau presidennya? Jika menyasar pada konsep dosa sebagai tindakan individu yang langsung, mungkin tentara yang lebih merasakan, karena ia langsung bertatapan dengan korban dari senapannya sendiri: jeritannya, kematiannya.
Mungkin agak aneh juga kemudian menjadi membahas dosa, yang sangat bernuansa religius dan tidak bisa diverifikasi. Namun ini tetap penting, jika kaitannya dengan mengapa orang yang katakanlah pejabat, pengambil keputusan, bisa begitu saja memutuskan hal yang berkaitan dengan nasib khalayak atau hajat hidup orang banyak, tanpa merasa terikat dengan obligasi moral apapun, karena sederhana saja: ia tidak bersentuhan langsung dengan hasil dari putusannya. Seorang rektor bisa saja men-DO-kan mahasiswa atau mahasiswi dengan menandatangani surat, tapi dia tidak akan sedemikian merasa tidak enaknya, ketimbang bawahannya yang menelpon langsung atau menghadapi wajah si mahasiswa atau mahasiswi yang kecewa dan menangis. Seorang hakim bisa memutuskan hukuman mati, tapi algojo lah yang nantinya berhadapan langsung dengan si terdakwa.
Artinya, mengapa seseorang bisa melakukan zina, minum hingga mabuk-mabukan, tidak semata-mata bisa dituduhkan pada keputusannya secara individual, seolah-olah mutlak bahwa "hidup itu kan pilihan". Namun bisa jadi keputusan dari struktur lebih besar, kiranya membuat individu tersebut dihadapkan pada pilihan yang terbatas, yang membuat ia, mau tidak mau, memilih untuk "berdosa". Misalnya, pada kasus anak menggambar bagian tubuh perempuan (yang ramai di Twitter) di papan tulis kelas, rata-rata warganet menghujatnya sebagai tidak bermoral, bejad, perlu diberi "pelajaran", dan sebagainya. Namun komentar teman saya, Derry, tajam menyentuh persoalan yang bisa jadi lebih fundamental: "Bagaimana jika orangtua si anak itu terlalu sibuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, bekerja banting tulang dari pagi hingga malam, hingga tidak punya waktu dan tenaga lagi untuk mengajarkan anaknya tentang moral?" Jika benar demikian, lalu salah siapa? Masih tepatkah mengatakan bahwa "hidup itu pilihan"?
Memang agama tertentu memberlakukan adanya dosa struktural atau mungkin dalam Islam disebut juga dengan "dosa jariyah". Misalnya, pejabat publik yang memutuskan sesuatu yang membuat banyak orang sengsara, ia juga menanggung dosanya. Namun permasalahan dosa struktural ini ada pada kenyataan bahwa dalam setiap putusan yang melibatkan hajat hidup orang banyak, tidak selalu semua dirugikan, tapi ada juga, meski segelintir, yang diuntungkan (sehingga tidak semuanya mewariskan dosa, melainkan bisa juga mewariskan "pahala"). Dalam sistem pemerintahan yang jatuh pada oligarki misalnya, rakyatnya bisa saja sengsara, tapi "rakyat elit" yang diuntungkan mungkin memanjatkan doa setinggi-tingginya bagi sang penguasa agar senantiasa sehat dan selamat. Maka pada titik tertentu, Islam punya tawaran etis yang menarik, untuk mengembalikan segala sesuatu "pada niatnya", karena ketidakmampuan kita semua untuk menembus kompleksitas struktur atau kolektivitas yang mengaburkan dosa individual. Sebuah tindakan bisa saja bersembunyi di balik jejaring yang rumit tapi niat, mungkin, adalah satu-satunya hal personal yang tersisa, yang Tuhan masih bisa dengan "mudah" memeriksanya.
Comments
Post a Comment