Skip to main content

Pulih

  Jalan beberapa hari jaga, saya mulai bosan. Rasanya berat sekali menunggui dagangan yang pembelinya terhitung sedikit. Lebih menderita lagi jika melihat barang dagangan sebelah lebih ramai dibeli. Hal yang menjadi hiburan adalah menulis terus menerus, supaya tidak terlihat bengong. Supaya tidak mati gaya.  Beberapa hari yang lalu, pas hari awal-awal saya mulai jaga, tiba-tiba saya punya keberanian untuk posting foto di Instagram. Setelah itu mulai merambah ke Facebook, lalu mulai semangat untuk posting sejumlah story di Instagram, mulai dari tentang jalannya kasus sejauh ini sampai kegiatan sehari-hari. Entah keberanian dari mana, tiba-tiba saya mem-posting story tentang tulisan-tulisan yang diturunkan dari berbagai website. Saya menuliskan, "Siapa yang mau tulisan saya? Gratis, akan saya kirimkan via e-mail". Ternyata banyak juga yang menginginkan tulisan-tulisan itu, ada lebih dari 90 orang.  Kemudian saya terpikir untuk membuat grup lagi, bersama orang-orang yang bisa di

Karya dan Hidup Sehari-Hari



Waktu awal-awal mulai rajin berkarya, entah sejak berapa tahun silam, dalam bentuk apapun, bisa tulisan ataupun musik, saya berpikir bahwa dapur harus ngebul dulu, baru bisa memikirkan karya. Tiada logika (dan estetika) tanpa logistik, begitu ungkapan lucu-lucuannya. Artinya, saya bisa mengerjakan apapun, yang tidak ada hubungannya dengan gairah, impian, dan cita-cita, selama menghasilkan cukup uang, mengenyangkan perut, memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan setelah itu semua terjadi, baru bisa mengerjakan apa yang menjadi gairah, impian, dan cita-cita. Jalan semacam itu sama sekali tidak keliru, bahkan sangat masuk akal, realistis, dan membuat karya menjadi "murni", tidak dikotori pikiran macam-macam: bagaimana agar laku, terjual, disukai pasar, dan seterusnya. Kelihatannya, banyak orang lebih merasa aman dan nyaman jika menganut prinsip demikian. 

Dalam obrolan bersama Mas Tanto (R.E. Hartanto), perupa, sekitar tahun 2016 atau 2017, kami membicarakan topik tersebut dan ia mengatakan ada dua jenis prinsip dalam berkesenian. Yang pertama, yang sudah saya paparkan di atas dan yang kedua, ini yang menarik, yaitu menjadikan apa yang menjadi gairah, impian, dan cita-cita kita dalam berkarya, sebagai mata pencahariaan. Artinya, metode ini lebih berdarah-darah, karena jika karya itu tidak "menghasilkan", maka seniman tidak bisa "makan", dan ini, bagi pikiran saya waktu itu, tidak masuk akal, tidak realistis, terlalu berani, dan bahkan berbahaya. 

Hingga tahun 2017, saya masih memegang prinsip yang pertama, bahwa kesejahteraan diri itu mendahului produktivitas berkarya. Berkarya harus tenang, jangan banyak memikirkan tagihan atau cicilan. Namun pasca 2017, setelah dikeluarkan dari pekerjaan sebagai dosen tetap di sebuah kampus swasta, saya pelan-pelan beralih prinsip menjadi yang kedua. Memang, awalnya berat, dan sampai sekarang pun, masih rumit. Saya pernah mengambil beberapa pekerjaan "tetap", tapi tetapnya itu tidak berarti berlaku seumur hidup atau berjangka waktu panjang, melainkan digaji tetap mungkin untuk sekitar satu atau dua tahun. Menjadi dosen pun masih saya lakoni, meski berstatus honorer, yang bisa dikatakan menempatkan saya pada ketidakpastian. Sisanya serabutan: menulis, bermusik, mengajar, yang membuat saya bisa menyambung hidup untuk satu atau dua bulan, entah ke depannya. 

Bagi saya, lama-lama, prinsip semacam itu tidak hanya ekuivalen dengan produktivitas, tapi yang dirasakan, meski mungkin ini cuma penilaian pribadi, juga berpengaruh terhadap "mutu". Saya merasa kreativitas lebih dipaksa untuk muncul dan karena mesti laku (kalau tidak laku, tidak "makan"), maka tentu saja mesti berkualitas! Kumpulan Kalimat Demotivasi adalah salah satu contohnya. Terpaksa karena keadaan, saya merasa perlu untuk menuliskan buku yang "sepertinya akan digandrungi". Jujur, yang terpikirkan pertama kali justru adalah "kalimat motivasi", sebelum akhirnya berpikir: kenapa tidak dibalikkan saja? Sejauh ini, trik ini lumayan, dan Demotivasi menjadi buku saya yang paling menjual. Kebiasaan ini berlaku hingga sekarang. Setiap kira-kira perlu uang agak lumayan, saya mulai menulis buku yang tidak hanya harus bagus, tapi juga cepat (karena berkejar-kejaran dengan kebutuhan). 

Hal yang lebih penting, karya yang dikerjakan untuk memenuhi kebutuhan, bagi saya, lebih "berdarah", karena lebih bertalian dengan keharusan untuk bertahan hidup, maka di sana ada air mata, derita, dan juga doa-doa serta pengharapan yang besar. Berbeda dengan saat saya memegang prinsip sebelumnya, karya-karya tersebut cenderung steril, bersih, suci, dan nirkepentingan. Bagi saya, karya semacam itu sungguh "garing", tidak punya bobot, dan tidak menggigit. Namun sekali lagi, setiap orang bebas saja untuk memilih prinsipnya. Yang pasti, saya suka dan nyaman dengan yang kedua, meski sebenarnya tidak nyaman.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k