Waktu awal-awal mulai rajin berkarya, entah sejak berapa tahun silam, dalam bentuk apapun, bisa tulisan ataupun musik, saya berpikir bahwa dapur harus ngebul dulu, baru bisa memikirkan karya. Tiada logika (dan estetika) tanpa logistik, begitu ungkapan lucu-lucuannya. Artinya, saya bisa mengerjakan apapun, yang tidak ada hubungannya dengan gairah, impian, dan cita-cita, selama menghasilkan cukup uang, mengenyangkan perut, memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan setelah itu semua terjadi, baru bisa mengerjakan apa yang menjadi gairah, impian, dan cita-cita. Jalan semacam itu sama sekali tidak keliru, bahkan sangat masuk akal, realistis, dan membuat karya menjadi "murni", tidak dikotori pikiran macam-macam: bagaimana agar laku, terjual, disukai pasar, dan seterusnya. Kelihatannya, banyak orang lebih merasa aman dan nyaman jika menganut prinsip demikian.
Dalam obrolan bersama Mas Tanto (R.E. Hartanto), perupa, sekitar tahun 2016 atau 2017, kami membicarakan topik tersebut dan ia mengatakan ada dua jenis prinsip dalam berkesenian. Yang pertama, yang sudah saya paparkan di atas dan yang kedua, ini yang menarik, yaitu menjadikan apa yang menjadi gairah, impian, dan cita-cita kita dalam berkarya, sebagai mata pencahariaan. Artinya, metode ini lebih berdarah-darah, karena jika karya itu tidak "menghasilkan", maka seniman tidak bisa "makan", dan ini, bagi pikiran saya waktu itu, tidak masuk akal, tidak realistis, terlalu berani, dan bahkan berbahaya.
Hingga tahun 2017, saya masih memegang prinsip yang pertama, bahwa kesejahteraan diri itu mendahului produktivitas berkarya. Berkarya harus tenang, jangan banyak memikirkan tagihan atau cicilan. Namun pasca 2017, setelah dikeluarkan dari pekerjaan sebagai dosen tetap di sebuah kampus swasta, saya pelan-pelan beralih prinsip menjadi yang kedua. Memang, awalnya berat, dan sampai sekarang pun, masih rumit. Saya pernah mengambil beberapa pekerjaan "tetap", tapi tetapnya itu tidak berarti berlaku seumur hidup atau berjangka waktu panjang, melainkan digaji tetap mungkin untuk sekitar satu atau dua tahun. Menjadi dosen pun masih saya lakoni, meski berstatus honorer, yang bisa dikatakan menempatkan saya pada ketidakpastian. Sisanya serabutan: menulis, bermusik, mengajar, yang membuat saya bisa menyambung hidup untuk satu atau dua bulan, entah ke depannya.
Bagi saya, lama-lama, prinsip semacam itu tidak hanya ekuivalen dengan produktivitas, tapi yang dirasakan, meski mungkin ini cuma penilaian pribadi, juga berpengaruh terhadap "mutu". Saya merasa kreativitas lebih dipaksa untuk muncul dan karena mesti laku (kalau tidak laku, tidak "makan"), maka tentu saja mesti berkualitas! Kumpulan Kalimat Demotivasi adalah salah satu contohnya. Terpaksa karena keadaan, saya merasa perlu untuk menuliskan buku yang "sepertinya akan digandrungi". Jujur, yang terpikirkan pertama kali justru adalah "kalimat motivasi", sebelum akhirnya berpikir: kenapa tidak dibalikkan saja? Sejauh ini, trik ini lumayan, dan Demotivasi menjadi buku saya yang paling menjual. Kebiasaan ini berlaku hingga sekarang. Setiap kira-kira perlu uang agak lumayan, saya mulai menulis buku yang tidak hanya harus bagus, tapi juga cepat (karena berkejar-kejaran dengan kebutuhan).
Hal yang lebih penting, karya yang dikerjakan untuk memenuhi kebutuhan, bagi saya, lebih "berdarah", karena lebih bertalian dengan keharusan untuk bertahan hidup, maka di sana ada air mata, derita, dan juga doa-doa serta pengharapan yang besar. Berbeda dengan saat saya memegang prinsip sebelumnya, karya-karya tersebut cenderung steril, bersih, suci, dan nirkepentingan. Bagi saya, karya semacam itu sungguh "garing", tidak punya bobot, dan tidak menggigit. Namun sekali lagi, setiap orang bebas saja untuk memilih prinsipnya. Yang pasti, saya suka dan nyaman dengan yang kedua, meski sebenarnya tidak nyaman.
Comments
Post a Comment