Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...

Hubungan Cinta dan Benci dengan Ilmu Komunikasi


Ilmu komunikasi bukan ilmu favorit saya. Bahkan agak menjadi perdebatan untuk mengatakannya sebagai sebuah ilmu. Maksudnya, pertama, kegiatan komunikasi secara inheren ada pada segala tindakan kita. Bahkan, berbicara dengan diri sendiri pun dapat dikatakan sebagai kegiatan berkomunikasi (sering disebut sebagai komunikasi intrapersonal). Artinya, komunikasi tidak perlu dipelajari secara khusus, atau, kalaupun iya, lebih dekat ke praktik ketimbang teori. Dalam hal tertentu, orang bisa berkomunikasi dengan baik bukan karena memahami teorinya, melainkan karena sering mempraktikannya. Kedua, kalaupun ada yang dinamakan ilmu komunikasi, lebih tepat jika digunakan untuk mengkaji media dan karakteristiknya, sehingga menjadi jelas objek kajiannya, tidak kawin sana-sini, seolah punya justifikasi bahwa "ilmu komunikasi bisa membahas segala hal" seperti komunikasi pemasaran, komunikasi visual, komunikasi kesehatan, dan sebagainya. Padahal, tanpa kata "komunikasi" di depannya, semua konsep-konsep itu bisa berdiri sendiri dan mungkin sudah mengkaji aspek komunikasinya (disadari atau tidak). 

Pikiran semacam itu terus bergulat dalam kepala, sampai akhirnya memutuskan: saya tidak bisa hanya mengomel, harus menulis sesuatu sebagai "pertanggungjawaban". Bagaimanapun, saya punya gelar magister ilmu komunikasi yang bisa dibilang, diperoleh karena "kecelakaan", karena IPK S1 saya terlalu kecil sehingga akhirnya "mengambil jurusan apa saja yang mau menerima IPK yang di bawah standar". Akhirnya, kesempatan itu datang, setelah Taufan Harimurti dari penerbit Yrama Widya mengontak, katanya apakah saya bersedia menulis buku pengantar ilmu komunikasi? Sambil agak malas-malasan, saya menjawab iya, bersedia. Bukan karena menghayati ilmunya, tapi justru karena sebaliknya, dan perasaan tidak enak itu yang dilawan sepanjang tahun 2020 dan 2021 untuk menuntaskan teks yang akhirnya selesai tepat di awal tahun 2022. Perjuangan, karena harus membaca teks-teks yang saya selalu remehkan sepanjang kuliah magister dulu (antara tahun 2008 sampai 2012). Alasan mengapa saya meremehkan, mungkin, karena teksnya tidak seagung naskah-naskah filsafat. 

Namun saat perlahan menggeluti teks demi teks, dan beberapa di antaranya masuk ke pembacaan buku-buku primer, saya mulai agak lain dalam memandang ilmu komunikasi. Misalnya, saya mencoba untuk membaca teks asli yang ditulis oleh Claude Shannon, Warren Weaver, Edward T. Hall, Paul Watzlawick, Marshall McLuhan atau Paul Felix Lazarsfeld, dan ternyata begitu memikat. Mungkin selama ini saya bias, karena dipaparkan oleh dosen dengan cara yang klise, atau melihat orang-orang yang belajar ilmu komunikasi tampak terlampau antusias, merasa telah menguasai segala pengetahuan, padahal batasan-batasannya tidak jelas. Atau, saya kesal dengan perkembangan ilmu komunikasi yang mengarah pada bisnis yang menggiurkan, seolah berbagai program studi baru bisa dibuka atas nama "komunikasi". Misalnya, di kampus tempat saya bekerja dulu, sempat ada wacana untuk mendirikan program studi Performing Arts, yang saya sempat mengritiknya karena akan bersinggungan dengan program studi seni yang sudah lebih dulu mapan di kampus lain. Dapat dikatakan, ilmu komunikasi dimanfaatkan secara suka-suka, untuk membuka berbagai kajian baru yang kurang bisa dipertanggungjawabkan. 

Ternyata kenyataan di lapangan dan keluhuran teks primer bisa jadi sangat tidak bersinggungan. Saya begitu terpesona saat membaca bagaimana Hall menjabarkan soal jarak fisik dalam komunikasi dengan cara yang sangat rinci atau saat McLuhan menuliskan soal "medium is the message" dengan cara yang menurut saya, sangat lentur dan ilustratif. Hal demikian membuat saya berpikir, apakah bisa menjadi kontraproduktif, jika kita mendengarkan sebuah pemaparan dari dosen atau narasumber yang terlampau disederhanakan? Membuat pemikiran Hall dan McLuhan menjadi terdengar mudah tentu penting, tapi di sisi lain, pendengarnya mungkin akan beranggapan, "Oh, pemikiran mereka ternyata cuma begitu," atau dalam arti kata lain, "menggampangkan" pemikirannya. Mungkin sesekali perlu juga untuk mempertahankan kerumitan dari pemikiran si pemikir, agar pendengarnya berpikiran: pasti ada alasan mengapa si pemikir menjadi si pemikir, karena ia mencoba membangun argumentasi secara lengkap, hingga memerlukan satu buku untuk menjelaskannya. 

Demikian saya merasa bahwa proses menulis buku pengantar ilmu komunikasi ini, yang diawali dengan rasa kesal, ternyata berakhir dengan rasa cinta. Bergelut dengan teks primer membuat saya sadar, betapa indahnya dunia pemikiran, sebagai produk akal budi, dan betapa terbatasnya manusia, dalam menyampaikan kembali pada manusia lainnya. Buku pengantar ilmu komunikasi akan terbit di tahun ini, mungkin sekitar bulan April atau Mei.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...