Ilmu komunikasi bukan ilmu favorit saya. Bahkan agak menjadi perdebatan untuk mengatakannya sebagai sebuah ilmu. Maksudnya, pertama, kegiatan komunikasi secara inheren ada pada segala tindakan kita. Bahkan, berbicara dengan diri sendiri pun dapat dikatakan sebagai kegiatan berkomunikasi (sering disebut sebagai komunikasi intrapersonal). Artinya, komunikasi tidak perlu dipelajari secara khusus, atau, kalaupun iya, lebih dekat ke praktik ketimbang teori. Dalam hal tertentu, orang bisa berkomunikasi dengan baik bukan karena memahami teorinya, melainkan karena sering mempraktikannya. Kedua, kalaupun ada yang dinamakan ilmu komunikasi, lebih tepat jika digunakan untuk mengkaji media dan karakteristiknya, sehingga menjadi jelas objek kajiannya, tidak kawin sana-sini, seolah punya justifikasi bahwa "ilmu komunikasi bisa membahas segala hal" seperti komunikasi pemasaran, komunikasi visual, komunikasi kesehatan, dan sebagainya. Padahal, tanpa kata "komunikasi" di depannya, semua konsep-konsep itu bisa berdiri sendiri dan mungkin sudah mengkaji aspek komunikasinya (disadari atau tidak).
Pikiran semacam itu terus bergulat dalam kepala, sampai akhirnya memutuskan: saya tidak bisa hanya mengomel, harus menulis sesuatu sebagai "pertanggungjawaban". Bagaimanapun, saya punya gelar magister ilmu komunikasi yang bisa dibilang, diperoleh karena "kecelakaan", karena IPK S1 saya terlalu kecil sehingga akhirnya "mengambil jurusan apa saja yang mau menerima IPK yang di bawah standar". Akhirnya, kesempatan itu datang, setelah Taufan Harimurti dari penerbit Yrama Widya mengontak, katanya apakah saya bersedia menulis buku pengantar ilmu komunikasi? Sambil agak malas-malasan, saya menjawab iya, bersedia. Bukan karena menghayati ilmunya, tapi justru karena sebaliknya, dan perasaan tidak enak itu yang dilawan sepanjang tahun 2020 dan 2021 untuk menuntaskan teks yang akhirnya selesai tepat di awal tahun 2022. Perjuangan, karena harus membaca teks-teks yang saya selalu remehkan sepanjang kuliah magister dulu (antara tahun 2008 sampai 2012). Alasan mengapa saya meremehkan, mungkin, karena teksnya tidak seagung naskah-naskah filsafat.
Namun saat perlahan menggeluti teks demi teks, dan beberapa di antaranya masuk ke pembacaan buku-buku primer, saya mulai agak lain dalam memandang ilmu komunikasi. Misalnya, saya mencoba untuk membaca teks asli yang ditulis oleh Claude Shannon, Warren Weaver, Edward T. Hall, Paul Watzlawick, Marshall McLuhan atau Paul Felix Lazarsfeld, dan ternyata begitu memikat. Mungkin selama ini saya bias, karena dipaparkan oleh dosen dengan cara yang klise, atau melihat orang-orang yang belajar ilmu komunikasi tampak terlampau antusias, merasa telah menguasai segala pengetahuan, padahal batasan-batasannya tidak jelas. Atau, saya kesal dengan perkembangan ilmu komunikasi yang mengarah pada bisnis yang menggiurkan, seolah berbagai program studi baru bisa dibuka atas nama "komunikasi". Misalnya, di kampus tempat saya bekerja dulu, sempat ada wacana untuk mendirikan program studi Performing Arts, yang saya sempat mengritiknya karena akan bersinggungan dengan program studi seni yang sudah lebih dulu mapan di kampus lain. Dapat dikatakan, ilmu komunikasi dimanfaatkan secara suka-suka, untuk membuka berbagai kajian baru yang kurang bisa dipertanggungjawabkan.
Ternyata kenyataan di lapangan dan keluhuran teks primer bisa jadi sangat tidak bersinggungan. Saya begitu terpesona saat membaca bagaimana Hall menjabarkan soal jarak fisik dalam komunikasi dengan cara yang sangat rinci atau saat McLuhan menuliskan soal "medium is the message" dengan cara yang menurut saya, sangat lentur dan ilustratif. Hal demikian membuat saya berpikir, apakah bisa menjadi kontraproduktif, jika kita mendengarkan sebuah pemaparan dari dosen atau narasumber yang terlampau disederhanakan? Membuat pemikiran Hall dan McLuhan menjadi terdengar mudah tentu penting, tapi di sisi lain, pendengarnya mungkin akan beranggapan, "Oh, pemikiran mereka ternyata cuma begitu," atau dalam arti kata lain, "menggampangkan" pemikirannya. Mungkin sesekali perlu juga untuk mempertahankan kerumitan dari pemikiran si pemikir, agar pendengarnya berpikiran: pasti ada alasan mengapa si pemikir menjadi si pemikir, karena ia mencoba membangun argumentasi secara lengkap, hingga memerlukan satu buku untuk menjelaskannya.
Demikian saya merasa bahwa proses menulis buku pengantar ilmu komunikasi ini, yang diawali dengan rasa kesal, ternyata berakhir dengan rasa cinta. Bergelut dengan teks primer membuat saya sadar, betapa indahnya dunia pemikiran, sebagai produk akal budi, dan betapa terbatasnya manusia, dalam menyampaikan kembali pada manusia lainnya. Buku pengantar ilmu komunikasi akan terbit di tahun ini, mungkin sekitar bulan April atau Mei.
Comments
Post a Comment