Skip to main content

Kronologi dan Duduk Perkara Kasus SM

Pada tulisan ini, saya Syarif Maulana, akan menjabarkan kronologi selengkap-lengkapnya tentang segala proses berkaitan dengan kasus dugaan kekerasan seksual yang dituduhkan pada saya tanggal 9 Mei 2024 di media sosial X. Tuduhan tersebut menjadi viral dan menyebabkan saya dipecat dari berbagai institusi, tulisan-tulisan diturunkan dari berbagai media, buku-buku dicabut dari penerbitan, dan dikucilkan dari berbagai komunitas filsafat, termasuk komunitas yang saya bangun sendiri, Kelas Isolasi.  Penulisan kronologi ini dilakukan dalam rangka menjelaskan duduk perkara dan perkembangan kasus ini pada publik berdasarkan catatan dan dokumentasi yang saya kumpulkan.  Tuduhan kekerasan seksual (selanjutnya akan disingkat KS) kepada saya dimulai pada tanggal 9 Mei 2024, dipicu oleh cuitan dari akun @flutuarsujet yang menuliskan “... katanya dia pelaku KS waktu di Tel**m, korbannya ada lima orang …”. Kata “Tel**m” tersebut kemungkinan besar mengacu pada Telkom University, tempat saya bekerja seb

Birokrasi



Di waktu yang lampau, saya lupa persisnya, tapi mungkin lebih dari sepuluh tahun yang lalu, saya pernah diminta tampil di acara makan malam di sebuah kafe di Hotel Papandayan. Saya lupa nama kafenya, tapi mungkin juga tidak terlalu penting untuk mengingat namanya. Hal yang lebih penting adalah saat itu yang menjadi salah satu tamu adalah Jusuf Kalla, yang entah tengah menjabat sebagai wakil presiden atau belum, yang pasti, dia dikategorikan orang penting di negeri ini. Hal yang saya ingat lainnya adalah saya tampil bersama pemain biola bernama Yulius Racaly atau biasa dipanggil Kwang Kwang. Kami bermain berdua saja. 

Makan malam itu kelihatannya mewah, setidaknya jika dilihat dari bagaimana makanan disajikan secara bertahap, beberapa kali, dan memang harga menunya mahal-mahal. Tapi ya, fakta tersebut tidak ekuivalen dengan honor kami selaku pemusik, bahkan kami tidak diberi makanan yang sama dengan menu-menu mahal tersebut. Namun sudahlah, itu bukan hal yang hendak dibahas dalam tulisan ini. Jadi, tulisan ini hendak membahas apa? 

Begini, dalam kondisi makan malam yang mewah seperti itu, terisolasi dari publik, matanya tertutupi dari "kenyataan" di luar sana, bagaimana seorang pejabat bisa berempati? Kita tidak membicarakan soal status, jabatan, gaji, tunjangan, tapi secara fisik pun, realitas yang dihadirkan seakan dibuat berbeda. Maksudnya, bagaimana seorang pejabat dapat "mengerti" rakyat, jika ia berada dalam kurungan kafe mewah dengan "rakyat" yang dimanipulasi seolah-olah bahagia dan sejahtera? Bagaimana seorang presiden benar-benar mengerti keadaan sesungguhnya, jika dalam suatu kunjungan berbentuk iring-iringan mobil, ia berhadapan dengan barisan siswa-siswi yang dikondisikan sedemikian rupa agar terlihat manis dan puas dengan kinerja pemerintahan?

Itu sebabnya juga, pada jabatan tertentu, siapapun, dianggap memerlukan ketenangan dengan cara dijauhkan fisiknya dari "kenyataan". Direktur harus menempati ruang khusus, yang sebisa mungkin memberikannya tidak hanya ketenangan, tapi juga kesunyian. Ia tidak boleh terlibat dalam keriuhan yang tidak mampu ia antisipasi, atau gejolak yang di luar kendalinya. Padahal, tidakkah "kenyataan" adalah sekaligus ketidakstabilan, gejolak tiada akhir, dan keriuhan yang belum tentu selalu bisa diantisipasi?

Namun dengan isolasi itu, apakah artinya pejabat menjadi tidak bisa diakses oleh rakyat? Oh, tidak, rakyat bisa mengaksesnya, tapi melalui suatu jalur, yang saya terinspirasi dari obrolan dengan Saras Dewi, bernama birokrasi. Birokrasi adalah cara rakyat mengakses pejabat publik, melalui metode yang memerlukan legalitas, kroscek sana-sini, dan diputar-putar. Rakyat boleh mengakses pejabat, tetapi setelah masuk ke dalam keteraturan yang "bisa diantisipasi", setelah masuk pada realitas yang "bisa dijinakkan", sehingga dalam hal ini, kita bisa katakan: posisi rakyat, melalui birokrasi, selalu inferior dibanding pejabat.

Jadi, apakah cerita-cerita tentang raja yang menyamar, menyelinap ke gubuk tua yang di sana rakyat miskin tinggal di dalamnya, cuma khayalan yang tidak pernah terjadi di dunia nyata, apalagi di masa sekarang? Kebanyakan pejabat kelihatannya selalu khawatir, mungkin takut ditembak sniper, ditikam, atau sekurang-kurangnya, didemo, yang pada dasarnya, melihat rakyat sebagai pihak yang kerap memusuhinya. Maka itu, isolasi bagi para pejabat terjadi di mana-mana, mulai dari mobil berkaca gelap, anti peluru, gedung yang dipenuhi penjaga keamanan, hotel mewah dengan pelayanan kelas satu, hingga penerbangan, tempat duduk di manapun, yang sifatnya VIP. Namun intinya, tidak boleh ada peleburan tembok antara aku dan rakyat, semua mesti terpisah dengan jauh, baik secara esensi maupun eksistensi, agar aku tidak melihat mereka, merasakannya, atau harus berempati kepada mereka. Jika mereka mau menemuiku, harus dalam keadaan jinak. Jinak oleh birokrasi.

Comments

  1. "Jadi, apakah cerita-cerita tentang raja yang menyamar, menyelinap ke gubuk tua yang di sana rakyat miskin tinggal di dalamnya, cuma khayalan yang tidak pernah terjadi di dunia nyata, apalagi di masa sekarang?" Ada, Kang. Namanya: Pak Wiranto.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat