Di suatu malam, saat sedang memilih-milih film apa yang akan ditonton di Netflix, tiba-tiba saya tertarik pada film dokumenter berjudul Rocco (2016). Tentu saja saya tidak pura-pura tidak tahu tentang tokoh yang diceritakan dalam film tersebut. Rocco Siffredi adalah bintang film porno asal Italia yang aktif sejak tahun 1987 dan tampil pada sekitar 1300 film. Apakah saya menonton film-filmnya? Jelas, apalagi salah satu yang paling fenomenal dan sudah saya ketahui sejak SMA: Tarzan X.
Film dokumenter yang disutradarai oleh Thierry Demaizière dan Alban Teurlai tersebut bercerita tentang perjalanan Rocco di industri film porno. Rocco sebenarnya sempat mengumumkan pengunduran dirinya tahun 2004, tetapi ia kembali lagi tahun 2009, hingga akhirnya memutuskan untuk berhenti permanen dari bermain film porno pada tahun 2015, di usia sekitar 51 tahun. Dalam film Rocco, meski terdapat beberapa adegan film porno yang dikaburkan, fokusnya lebih ditujukan pada pergulatan batin Rocco, yang bertegangan antara pekerjaan, dorongan seksualnya yang tinggi, perasaan istrinya dan anak-anaknya yang sudah mulai tumbuh besar. Bagi saya pribadi, film tersebut digarap dengan indah sehingga adegan-adegan seksual yang ada di dalamnya tidak terlalu menimbulkan kesan erotik. Bahkan yang lebih banyak muncul adalah perasaan iba dan empati terhadap "penderitaan" Rocco.
Saya berusaha untuk tidak menjadi moralis dalam memberikan pandangan terkait pergulatan Rocco. Namun pertanyaan yang lebih mengusik adalah ini: mengapa seksualitas yang bebas dan terbuka bisa berubah menjadi penderitaan dan pada titik tertentu, identik dengan perbuatan setan (yang Rocco sendiri mengakuinya)? Bukankah kenikmatan badani merupakan salah satu tujuan penting yang mungkin banyak dari kita bercita-cita menggapainya? Jika Rocco kemudian dihantui perasaan bersalah pada istri dan anak-anaknya setiap ia bermain film porno, tidakkah mungkin ada yang dinamakan "suara hati" itu, yang mengarah pada "kebaikan"? Memang kita bisa dengan cepat menarik kesimpulan bahwa ada hal-hal yang begitu kodrati dalam hidup ini, yang baik - buruk, benar - salah-nya sudah digariskan dalam, salah satunya, kitab suci. Berzina disebutkan sebagai dosa, sementara di sisi lain, merawat keluarga dianggap sebagai sesuatu yang baik dan utama. Keduanya bergulat dalam perasaan Rocco meski ia kelihatannya tidak seberapa teguh mempraktikkan nilai-nilai religius.
Mungkin yang membuat Rocco menderita bukan perkara apakah ia melanggar aturan agama atau tidak. Saya teringat kuliah Romo Sudarminta perkara hubungan antara hasrat dan kebebasan. Memang terlihat bebas, orang yang dapat mengumbar hasrat dan memenuhinya, orang yang bisa mengekspresikan fantasi seksual dan mewujudkannya, tetapi kemudian katakanlah: apakah ia menjadi tuan atau budak atas hasratnya sendiri? Apakah kebebasannya tersebut sungguh-sungguh kebebasan, atau justru berada dalam kerangkeng berupa lingkaran nafsu yang tidak berujung? Kelihatannya Rocco lelah, justru karena ia mampu memenuhi segala hasratnya. Rocco ingin berhenti, karena "suara hati" terus mengusik, tentang istri dan anaknya yang memberikan ketenangan batin, bukan lewat orgasme seksual, cinta yang sifatnya eros, tetapi cinta jenis lainnya, mungkin agape, yang dekat dengan istilah "kasih sayang", yang sifatnya tidak spesifik, tapi lebih universal dan "memberi". Hal yang mungkin lebih bisa didapatkan dari keluarga, sahabat atau pasangan yang dicintai.
Saya tidak bisa menyimpulkan soal mana yang lebih "ilahiah" terkait eros dan agape. Eros, yang membuat kita senantiasa tunduk pada gairah seksual, mungkin bisa diilustrasikan sebagai perbuatan setan dan maka itu sudah pasti berdosa. Namun hidup tidak sesederhana itu! Eros memang labil dan menyedihkan, tetapi hal yang lebih menarik: ia membuat kita lebih berani, menghadapi hidup dengan segala rasa perih yang pasti menanti. Eros adalah tentang menikmati masa kini, soal orgasme itu sendiri, yang bukan soal kemarin atau nanti, tapi sekarang. Eros memang dekat dengan hal-hal setani, tetapi tidakkah karena setan itulah, kita mengatakan "ya" pada hidup, tenggelam dalam gelegaknya. Memang pahit, tapi tidak sedikitpun melarikan diri darinya.
Comments
Post a Comment