Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...

Dan Bandung ...


Awal bulan Desember 2021, saya mendapat kabar bahwa istri mesti bekerja di Jakarta, daerah Kelapa Gading. Berita yang mengejutkan, karena wawancara kerjanya sendiri dilakukan di Bandung dan kami mengira akan ditempatkan di Bandung (jika lolos). Ternyata, istri mesti menjalani pelatihan di Jakarta selama tiga bulan dan jika berhasil melewatinya, minimal mesti setahun bekerja di Jakarta, sebelum (mungkin) dipindahkan ke Bandung. Memang, ini "cuma" Jakarta, yang jaraknya hanya sekitar 120 kilometer dari Bandung, yang jika tidak macet, bisa dicapai dalam waktu dua setengah jam saja. Namun bagi saya, yang seumur hidup tidak pernah tinggal lama di luar kota, kepindahan ini agak mengagetkan dan pada titik tertentu, menimbulkan kegalauan yang lumayan. 

Saya bahkan tidak berpikiran sama sekali untuk pergi dari Bandung. Atau, kalaupun pergi, tidak untuk tinggal, melainkan hanya sebentar-sebentar saja berkunjung ke tempat lain, dan Bandung tetaplah rumah, tempat pulang. Namun di sisi lain, saya juga baru saja memikirkan perkara nomadisme, yang memandang ketidakstabilan tempat tinggal sebagai bukan hanya cara untuk menemukan sumber daya yang baru, tapi juga melepaskan kemelekatan, meninggalkan sejumlah kepemilikan, dan menanamkan kebiasaan untuk berpasrah diri pada nasib, karena bagaimanapun, di tempat yang baru, kita menghadapi nasib yang juga baru. Apa yang dipikirkan memang tidak selalu sesuai dengan apa yang dihadapi. Pindah kota, keluar Bandung, ternyata begitu rumit bagi fisik dan mental saya, yang sudah menjadikan Bandung tidak hanya sebagai rumah bagi tubuh, tapi rumah bagi jiwa dan pikiran. 

Apapun itu, kami mesti berangkat. Kami segera berkemas karena istri harus sudah memulai pelatihan di awal Januari. Artinya, hanya ada waktu dua mingguan saja untuk membereskan barang-barang. Dalam hati, saya berjanji bahwa saya masih akan pulang pergi Jakarta - Bandung, setidaknya seminggu sekali, untuk mengerjakan apa saja, atau minimal memuaskan rasa rindu. Bandung, bagaimanapun, adalah tempat saya memperoleh segala cinta, yang di beberapa sudut kotanya ada kenangan indah (dan tidak indah) yang tertanam selamanya. 

Kemudian pertanyaan berkelebat: Adakah konsep rumah itu? Rumah tempat pulang, tempat yang membuat kata "pulang" menjadi punya arti? Selama ini jika saya menyebut kata "Bandung", maka itu artinya pulang, ke tempat saya berasal, ke tempat saya tinggal. Namun jika saya tinggal di Jakarta, Bandung bukanlah tujuan untuk pulang, melainkan "pergi". Saat saya menulis ini, masih berat untuk mengatakan Bandung sebagai destinasi "pergi" ketimbang "pulang". Pergi punya kesan datang ke tempat yang punya nuansa ketidakpastian, ada keharusan untuk berjuang, ada perasaan mesti berhadapan dengan sesuatu yang kurang diketahui, dan mesti punya persiapan - seperti halnya "pergi bekerja", "pergi bertamasya", "pergi berperang". Kita tahu ke mana tujuannya, dan kira-kira seperti apa situasinya, tapi kita tidak tahu persis apa yang menanti di sana. 

Sementara pulang, mungkin, tidak perlu persiapan, dan kita lebih tahu apa yang menanti: kedamaian, dalam bentuk apapun itu. Pulang adalah penerimaan sepenuhnya terhadap "kekalahan". Pidi Baiq menulis lirik: "Dan Bandung ... bagiku, bukan cuma, urusan wilayah belaka. Lebih jauh dari itu, melibatkan perasaan, yang bersamaku, ketika sunyi ..." Izinkan saya mengganti sedikit agar relevan: yang bersamaku, ketika kalah ... 

Maka itu kami ke Jakarta, hingga kalah, hingga menyerah, hingga "pulang" menjadi lebih punya arti.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...