Awal bulan Desember 2021, saya mendapat kabar bahwa istri mesti bekerja di Jakarta, daerah Kelapa Gading. Berita yang mengejutkan, karena wawancara kerjanya sendiri dilakukan di Bandung dan kami mengira akan ditempatkan di Bandung (jika lolos). Ternyata, istri mesti menjalani pelatihan di Jakarta selama tiga bulan dan jika berhasil melewatinya, minimal mesti setahun bekerja di Jakarta, sebelum (mungkin) dipindahkan ke Bandung. Memang, ini "cuma" Jakarta, yang jaraknya hanya sekitar 120 kilometer dari Bandung, yang jika tidak macet, bisa dicapai dalam waktu dua setengah jam saja. Namun bagi saya, yang seumur hidup tidak pernah tinggal lama di luar kota, kepindahan ini agak mengagetkan dan pada titik tertentu, menimbulkan kegalauan yang lumayan.
Saya bahkan tidak berpikiran sama sekali untuk pergi dari Bandung. Atau, kalaupun pergi, tidak untuk tinggal, melainkan hanya sebentar-sebentar saja berkunjung ke tempat lain, dan Bandung tetaplah rumah, tempat pulang. Namun di sisi lain, saya juga baru saja memikirkan perkara nomadisme, yang memandang ketidakstabilan tempat tinggal sebagai bukan hanya cara untuk menemukan sumber daya yang baru, tapi juga melepaskan kemelekatan, meninggalkan sejumlah kepemilikan, dan menanamkan kebiasaan untuk berpasrah diri pada nasib, karena bagaimanapun, di tempat yang baru, kita menghadapi nasib yang juga baru. Apa yang dipikirkan memang tidak selalu sesuai dengan apa yang dihadapi. Pindah kota, keluar Bandung, ternyata begitu rumit bagi fisik dan mental saya, yang sudah menjadikan Bandung tidak hanya sebagai rumah bagi tubuh, tapi rumah bagi jiwa dan pikiran.
Apapun itu, kami mesti berangkat. Kami segera berkemas karena istri harus sudah memulai pelatihan di awal Januari. Artinya, hanya ada waktu dua mingguan saja untuk membereskan barang-barang. Dalam hati, saya berjanji bahwa saya masih akan pulang pergi Jakarta - Bandung, setidaknya seminggu sekali, untuk mengerjakan apa saja, atau minimal memuaskan rasa rindu. Bandung, bagaimanapun, adalah tempat saya memperoleh segala cinta, yang di beberapa sudut kotanya ada kenangan indah (dan tidak indah) yang tertanam selamanya.
Kemudian pertanyaan berkelebat: Adakah konsep rumah itu? Rumah tempat pulang, tempat yang membuat kata "pulang" menjadi punya arti? Selama ini jika saya menyebut kata "Bandung", maka itu artinya pulang, ke tempat saya berasal, ke tempat saya tinggal. Namun jika saya tinggal di Jakarta, Bandung bukanlah tujuan untuk pulang, melainkan "pergi". Saat saya menulis ini, masih berat untuk mengatakan Bandung sebagai destinasi "pergi" ketimbang "pulang". Pergi punya kesan datang ke tempat yang punya nuansa ketidakpastian, ada keharusan untuk berjuang, ada perasaan mesti berhadapan dengan sesuatu yang kurang diketahui, dan mesti punya persiapan - seperti halnya "pergi bekerja", "pergi bertamasya", "pergi berperang". Kita tahu ke mana tujuannya, dan kira-kira seperti apa situasinya, tapi kita tidak tahu persis apa yang menanti di sana.
Sementara pulang, mungkin, tidak perlu persiapan, dan kita lebih tahu apa yang menanti: kedamaian, dalam bentuk apapun itu. Pulang adalah penerimaan sepenuhnya terhadap "kekalahan". Pidi Baiq menulis lirik: "Dan Bandung ... bagiku, bukan cuma, urusan wilayah belaka. Lebih jauh dari itu, melibatkan perasaan, yang bersamaku, ketika sunyi ..." Izinkan saya mengganti sedikit agar relevan: yang bersamaku, ketika kalah ...
Maka itu kami ke Jakarta, hingga kalah, hingga menyerah, hingga "pulang" menjadi lebih punya arti.
Comments
Post a Comment