Saya tengah merenungkan untuk menjalani hidup yang nomaden (meski saat ini bisa dikatakan sudah). Artinya, hidup menetap tidak lagi saya jadikan cita-cita. Meski belum membacanya secara tuntas, tetapi saya cukup terkaget saat topik nomaden ini ternyata dibahas oleh filsuf Masa Keemasan Islam, Ibn Khaldun dan filsuf posmodern, Zygmunt Bauman. Ibn Khaldun memberi contoh Suku Badui sebagai suku yang menerapkan prinsip hidup nomaden. Sebagai konsekuensi dari prinsip nomadennya tersebut, Suku Badui, dalam pandangan Ibn Khaldun, dianggap sebagai kelompok yang kemungkinan tidak terikat dengan kemewahan dan perilaku buruk. Sementara itu, Bauman menyebutkannya dalam konteks "modernitas cair" yang ditunjukkan dengan identitas orang yang kian nomaden: bergerak dari satu label ke label yang lain. Namun sekali lagi, saya belum tuntas membacanya sehingga lebih baik jika dalam tulisan ini, saya mengungkapkan apa yang saya pikirkan dan rasakan saja terkait nomaden dan nomad-isme.
Ada masa-masa ketika saya menikmati hidup menetap: punya rumah tinggal permanen dan pekerjaan tetap yang cukup terjamin hingga hari tua. Hidup kemudian mengalami perubahan drastis dan hal-hal tersebut tidak lagi berada di genggaman. Hidup nomaden menjadi jalan hidup yang mesti dilakukan: Dari tempat tinggal ke tempat tinggal, dari pekerjaan ke pekerjaan. Di masa-masa itu, saya masih belum menganggapnya sebagai sesuatu yang baik, apalagi filosofis. Kadang saya mengasihani diri sendiri, mengapa tidak juga kunjung punya tempat tinggal dan pekerjaan tetap. Hingga akhirnya sampai pada renungan: mengapa harus menjalani kehidupan yang menetap? Apakah berpindah-pindah adalah hal yang buruk?
Hidup menetap artinya menempatkan diri pada posisi yang nyaman. Agar semakin nyaman, orang-orang kemudian mengumpulkan kekayaannya pada tempatnya menetap. Di tempat yang katakanlah sebuah rumah, ia mengumpulkan perabotan, menyimpan barang berharga dan membangun garis pemisah antara "punyaku" dan "bukan punyaku" yang dibatasi salah satunya oleh pagar ataupun halaman. Tesis ini bisa diperdebatkan, tetapi mari membayangkan: hidup menetap membuat orang begitu nyaman hingga akhirnya makan dengan puas, memanfaatkan persediaan pangan dan di situlah mulai muncul beraneka penyakit yang muncul dari "perut". Hidup menetap juga bisa dibayangkan sebagai asal-usul munculnya patriarki. Laki-laki dianggap lebih kuat secara fisik untuk lebih sering berada di luar rumah dan perempuan menjadi pihak yang "sebaiknya" menjaga rumah dan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan domestik. Keseluruhannya tersebut seolah-olah diterima sebagai sesuatu yang kodrati, padahal mungkin dalam konteks hidup yang nomaden, apa yang "kodrati" itu tidak terlalu jelas. Orang-orang bergerak bersama-sama, laki-laki dan perempuan, tanpa memedulikan mana yang seharusnya tinggal di rumah dan mana yang lebih sering bepergian.
Dalam prinsip hidup nomaden, mungkin orang-orang tidak dibiarkan untuk memiliki segala sesuatu sampai terlalu melekat padanya. Kekayaan apapun pada akhirnya mesti dilepaskan dan dicari kembali (yang belum tentu akan ditemukan). Dari tempat ke tempat, orang-orang ini sadar bahwa bukan alam serta lingkungan yang mesti beradaptasi pada cara hidup mereka, tetapi sebaliknya, mereka lah yang mesti beradaptasi dengan alam dan lingkungan. Perasaan yang senantiasa tidak stabil ini bisa saja membuat orang-orang nomad, mau tidak mau, bersandar pada satu kepastian: Tuhan atau apapun itu yang lebih tetap dan abadi. Nasibnya bisa berubah kapan saja, tidak seperti mereka yang menetap: menganggap hari demi hari bisa diprediksi karena seolah-olah masa depan itu mampu dimiliki, seperti sebidang tanah yang di atasnya dibangun rumah-rumah mereka, yang dijamin oleh beberapa lembar kertas saja.
Dengan prinsip hidup yang nomaden, saya senantiasa berdoa dalam setiap langkah, dari satu tempat ke tempat lain. Doa yang sungguh-sungguh: "Ya Tuhan, cukupkanlah rejekiku hari ini. Hanya hari ini. Besok biarlah besok, agar aku dapat berdoa kembali."
Comments
Post a Comment