Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...

Kata Georg Simmel tentang Sifat yang Hanya Muncul Akibat Uang


Georg Simmel adalah sosiolog asal Jerman yang terkenal salah satunya karena menulis buku berjudul The Philosophy of Money (1900). Di dalam buku yang tebalnya kira-kira enam ratusan halaman tersebut, Simmel menuliskan pandangannya mengenai uang dari sudut pandang filsafat, psikologi dan sosiologi. Menariknya, Simmel tidak terlalu membahasnya dari sisi ekonomi ataupun memandangnya secara kritis seperti Marx. Secara garis besar, Simmel malah terkesan pesimistik: menunjukkan bahwa kita tidak mungkin lepas dari uang dan bahkan semakin canggih perkembangan akal budi manusia, justru makin menerima macam-macam uang yang tidak rasional! 

Sebagai contoh, pada mulanya, uang merupakan sertifikat yang merepresentasikan cadangan logam mulia di suatu wilayah. Namun lama-kelamaan, hubungan uang dengan apa yang direpresentasikannya ini diputus dan nilai uang menjadi dijamin hanya oleh otoritas. Artinya, hanya kepercayaan pada otoritas saja yang membuat uang menjadi bernilai dan bagi Simmel, ini justru paradoks: rasionalitas manusia membawanya pada kepercayaan terhadap hal-hal yang justru irasional. Simmel menuliskan gagasannya tersebut jauh sebelum Richard Nixon memberlakukan nilai uang yang terpisah dari emas pada tahun 1971. 

Dalam tulisan ini, yang akan dibahas secara spesifik adalah sifat-sifat yang khas muncul akibat uang di dalam bab tiga yang berjudul Money in the Sequence of Purposes. Menurut Simmel, sifat-sifat tersebut adalah sebagai berikut:

Rakus 

Manusia menciptakan uang kemungkinan karena menginginkan hal-hal yang di luar apa yang bisa dibarterkan. Misalnya. A punya jeruk, B punya apel. A bisa melakukan barter dengan B jika A menginginkan apel kepunyaan B dan sebaliknya, B juga menginginkan jeruk kepunyaan A. Lalu bagaimana jika A menginginkan apel milik B tetapi B tidak menginginkan jeruk milik A? Di situlah A mesti menggunakan uang sebagai alat tukar yang membuat B bisa mempunyai opsi lain tanpa harus menukarkan apelnya dengan jeruk. B, meski kehilangan apelnya, ia bisa menukarnya dengan hal-hal lain yang ia lebih inginkan ketimbang jeruk.

Maka itu, menurut Simmel, semakin banyak kita menyimpan uang, semakin banyak juga opsi untuk mendapatkan sesuatu yang sekiranya dapat memenuhi kebutuhan dan juga keinginan kita. Uang ini tidak terbatas untuk ditukarkan pada barang saja, melainkan juga melingkupi hal-hal yang abstrak seperti cinta, kebebasan dan kekuasaan. Sehingga kemudian menjadi wajar jika orang-orang mulai mencari uang dan menumpuknya, karena selain luasnya opsi itu tadi, uang juga cenderung tahan lama (tentu berhubungan dengan sifat logam mulia).

Menariknya, sifat rakus ini seringkali tidak berhubungan dengan apakah uang tersebut sudah dirasa cukup atau belum untuk memenuhi kebutuhannya selama katakanlah satu tahun. Rakus dapat diartikan sebagai sifat yang menyukai uang "tanpa alasan". Ibarat orang yang senang melihat angka gemuk di rekeningnya padahal kebutuhannya hanya sepersekian saja dari uang yang dipunyainya. Sifat rakus ini, tambah Simmel, sebenarnya juga diturunkan dari kepemilikan lahan yang dipunyai secara pribadi dan turun temurun. Menjual lahan, dalam konteks tertentu, dapat dianggap tidak hanya kurang menghormati leluhur tetapi juga mengabaikan nasib keturunan-keturunannya.

Senang Menghambur-hamburkan 

Jika sifat rakus cenderung memandang uang sebagai sesuatu yang harus tetap dan "membeku", maka sifat senang menghambur-hamburkan memandang uang sebagai sesuatu yang harus terus mengalir dan tidak boleh diam. Apa yang dibeli oleh orang dengan sifat seperti ini bisa jadi bukanlah hal-hal yang diperlukannya, melainkan karena memang ia mendapat kepuasan dari menghambur-hamburkan uang tersebut. Simmel mencontohkan bagaimana Pangeran Conti mengirimkan berlian pada perempuan yang kemudian ditolak dan dikembalikan. Pangeran Conti meminta berlian tersebut dihancurkan hingga menjadi bubuk untuk dikirimkan kembali melalui surat. Dalam konteks kekinian, sifat ini mungkin dapat terlihat dari orang-orang yang senang berbelanja barang-barang mewah meskipun tidak diperlukan. Bagi orang-orang tertentu, membeli pakaian, misalnya, bisa jadi hanya untuk sekali pakai saja dan besoknya langsung dibuang.

Kemiskinan asketik 

Kemiskinan asketik merupakan sikap yang merespons uang tetapi dengan cara menolaknya. Dalam pandangan Simmel, sikap semacam itu tidak mungkin ada jika tidak dipicu oleh uang dan berbagai dampaknya. Simmel memberi contoh para bhiksu Buddhis yang melepaskan segala harta kepemilikan dan hanya hidup berdasarkan kebutuhan sehari-hari saja. Uang dalam hal ini malah dianggap sebagai perwujudan duniawi yang lekat dengan segala godaan yang buruk. Demikian halnya dengan para biarawan Fransiscan awal-awal yang justru mengglorifikasi kemiskinan sebagai sikap ideal yang harus dicapai sebagai usaha untuk memangkas akar-akar sekularisme. Pada intinya, kemiskinan asketik ini bukan kemiskinan yang timbul karena masalah ketimpangan sosial, melainkan "disengaja" sebagai sebuah ajaran yang memandang uang sebagai sesuatu yang jahat.

Sinisisme 

Sinisme dan kemiskinan asketik ada kemiripan dalam arti bahwa keduanya punya pandangan tidak baik terhadap uang. Bedanya, sinisme melihat uang sebagai faktor penting yang membuat manusia menjauhi kecenderungannya untuk hidup sesuai kehendak alam. Dalam pandangan sinisme, semakin seseorang itu menjadikan uang sebagai pusat, semakin ia menjadikan hal-hal seperti talenta, kehormatan dan keselamatan jiwa sebagai sesuatu yang bisa dikorbankan. Seorang sinis seperti Diogenes, misalnya, melihat peradaban sebagai sesuatu yang kotor, menyedihkan dan patut dijauhi. Itu sebabnya ia memutuskan untuk hidup menggelandang sampai dijuluki "si anjing" (meski sebutan ini sebenarnya punya banyak alasan dari sekadar menggelandang).

Sikap Blasé 

Sikap blasé secara sederhana dapat diartikan sebagai sikap masa bodoh yang muncul akibat fokus yang terlalu besar pada uang dan hal yang berhubungan dengannya. Orang-orang dengan sikap seperti ini cenderung tidak punya kepekaan ataupun empati terhadap orang lain atau kejadian yang tidak secara langsung terhubung dengan kepentingannya. Misalnya, seseorang merasa tidak perlu untuk menolong orang lain yang terjepit pintu kereta karena lebih memilih untuk fokus mengejar jam masuk kerja yang sudah mepet.

(Tulisan di atas disarikan secara longgar dari The Philosophy of Money versi terjemahan tahun 2004 oleh David Frisby, halaman 239 - 259)

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...