Ditulis sebagai suplemen dalam rangka peringatan 100 tahun Joseph Beuys, 13 November 2021.
Konsep “trauma” merupakan kata kunci yang penting dalam memahami karya-karya Joseph Beuys (1921 – 1986). Trauma tersebut berangkat dari kejadian pada tahun 1944, saat Beuys masih menjadi pilot angkatan udara Nazi yaitu Luftwaffe. Pesawat tukik “Stuka” yang dikemudikannya mengalami kecelakaan di wilayah Krimea dan jatuh di tengah orang-orang Tatar. Meski secara administratif merupakan bagian dari Uni Soviet, orang-orang Tatar ini tidak tertarik untuk menghabisi Beuys yang notabene adalah musuh negara. Badan si pilot yang luka malah dibungkus dengan lemak hewan dan kain felt hingga akhirnya membaik.
Namun cerita tersebut dianggap sebagai karangan Beuys yang tidak bisa dibuktikan. Pasukan Jerman lainnya tidak menemukan orang-orang Tatar di lokasi tempat jatuhnya pesawat Beuys. Bagi Beuys, siapa yang benar-benar menyelamatkannya tidaklah penting, karena dalam reinterpretasi memorinya, orang-orang Tatar inilah yang berjasa. Beuys mengakui bahwa ia telah selamat dari kondisi yang nyaris mustahil bagi siapapun untuk selamat. Momen yang tidak menemukan penjelasan memuaskan secara rasional tersebut rupanya menjadi fondasi cara berpikir dan berkesenian Beuys yang punya kecenderungan ke arah spiritual.
Trauma
Beuys, seperti halnya Charles Baudelaire dan Gustave Courbet, setuju bahwa seni merupakan cara untuk memulihkan pengalaman kolektif, yang termasuk juga kemampuan untuk senantiasa terhubung dengan masa lalu.1 Lebih jauh lagi, pengalaman traumatiknya tersebut, didorong juga oleh pemikiran spiritual Rudolf Steiner, membawanya untuk meluaskan pandangannya mengenai seni, mendorong seniman untuk menempuh jalan interdisiplin yang berujung pada simpulan antropologis. Beuys mengatakan dalam sebuah forum, “Sudah sejak awal, saya tidak pernah melihat seni dalam arti yang konvensional.”
Beuys menekankan bahwa melalui karya-karyanya, ia tidak hendak menjadikan pengalaman traumatik sebagai cara untuk mengajarkan sesuatu yang normatif soal apa yang baik dan apa yang buruk serta bagaimana seseorang itu seharusnya bersikap.2 Kejadian di Krimea membuat ia tidak lagi memandang etika secara hitam putih dan apa yang ingin ia tampilkan adalah lebih fokus pada “sensasi” – meminjam istilah Gilles Deleuze dalam Logic of Sensation -. Bayangkan, sebagai perwira Nazi yang tengah memburu musuh, ia jatuh ke tengah-tengah wilayah musuh, tetapi alih-alih ditawan dan dibunuh, ia malah dirawat hingga sembuh. Tidakkah pada titik ini, batas baik – buruk menjadi kabur?
Persoalan sensasi ini juga tidak bisa diabaikan. Meski dalam beberapa karya Beuys, narasi menjadi penting, tetapi apresiator juga mesti merasakan sensasi – suatu perasaan yang digambarkan oleh Deleuze sebagai “langsung ke daging tanpa melalui otak”. Trauma yang dihadirkan ke depan audiens juga tidak bersifat naratif, deskriptif atau bahkan ilustratif, melainkan dalam bentuk hal-hal yang “bisa dirasakan bersama”. Sebagai contoh, dalam penampilannya yang berjudul I Like America and America Likes Me (1974), ia dibawa ke gedung pameran dengan menggunakan ambulans untuk kemudian berduaan dengan seekor coyote selama tiga hari. Penjelasan Beuys bahwa karya tersebut adalah tentang: “I wanted to isolate myself, insulate myself, see nothing of America other than the coyote,” bisa saja cukup, tetapi Beuys juga ingin membawa audiens untuk merasakan trauma yang dialaminya, termasuk saat ia dibawa dengan menggunakan ambulans, yang mungkin mengingatkan pada masa Perang Dunia II saat suara sirine adalah suara yang paling sering didengar, selain rentetan tembakan dan bom yang berjatuhan.
Dengan demikian, Beuys menjadikan aktivitas keseniannya, selain sebagai cara untuk “berdamai” dengan trauma pribadi, juga mengajak audiens atau partisipan untuk “turut merasakan”, bukan semata-mata agar berempati pada Beuys, tetapi juga menerimanya sebagai suatu sensasi yang dipenuhi ambiguitas, yang melampaui segala kategori moral dan pengalaman personal. Melalui seni, Beuys menjadikan kegelisahannya sebagai kegelisahan semua orang.
Antroposofi
Ada banyak sosok yang dikagumi Beuys, mulai dari Arisoteles, James Joyce, Richard Wagner, St. Ignatius dari Loyola hingga Genghis Khan. Namun ia tidak bisa menampik pengaruh besar dari Rudolf Steiner yang mengenalkannya pada konsep antroposofi. Steiner menyebut antroposofi sebagai “pendekatan saintifik tentang dunia spiritual”. Bagi Steiner, dunia spiritual bukanlah sesuatu yang mistik dan di luar pengetahuan, melainkan bisa diketahui secara objektif. Steiner dalam hal ini menolak mistisisme konvensional yang dianggapnya terlalu “gaib” dan di sisi lain juga tidak sepenuhnya setuju dengan ilmu alam yang terbatas pada wilayah empirikal. Steiner kemudian menerapkan sejumlah latihan untuk mencapai spiritualitas, misalnya, dengan berkonsentrasi pada satu objek secara intens, melakukan kegiatan rutin tanpa paksaan, mencoba melihat sisi positif dari segala sesuatu, bersikap terbuka terhadap segala bentuk pengalaman dan ide-ide, serta merasakan kebersatuan eksistensi dengan “yang lain” sebagai sebuah harmoni.
Beuys tidak mempelajari antroposofi Steiner melalui kajian yang komprehensif, melainkan lebih pada apa yang ia tangkap melalui impresinya. Dengan cara itu pula ia menerima beraneka gagasan para inspiratornya. Beuys enggan mempelajari pemikiran mereka terlampau tekstual, melainkan mengambil sesuka hati untuk membangun teori seninya sendiri. Meski demikian, jika diamati, gagasan-gagasan Steiner cukup dominan dipraktikkan Beuys dalam sikap berkeseniannya. Sebagai contoh, Beuys menjadikan seni sebagai cara untuk menyadarkan orang-orang tentang kepedulian terhadap lingkungan melalui 7000 Oaks – City Forestation Instead of City Administration (1982). Dalam karyanya tersebut, Beuys menyadari kebersatuan sebagai konsep penting dalam seni. Ia tidak memisahkan antara aspek estetis, politis hingga ekologis – hal yang umumnya “diharamkan” dalam konsep seni modern yang mengeksklusifkan wilayah seni hanya pada tataran estetik -.
Aspek saintifik yang disinggung Steiner juga dipraktikkan oleh Beuys dalam karya-karyanya.3 Namun, sekali lagi, seperti halnya Steiner, ia enggan terjebak pada posisi positivistik atau materialistik, melainkan justru berusaha melampauinya. Hal ini dijelaskan Beuys dalam sebuah wawancara:
“It was never my intention to repeal the positivistic or materialistic scientific conception; quite the opposite, it can be proven that I even honor it, but that I can only honor it as a transitional situation in its sector-like existence, in its one-sidedness and of course with the result that it has, after all, reached brilliant heights.”4
Sikap Politik
Dalam pandangannya yang terkenal mengenai organisme sosial, Steiner mengatakan, “Sosialisme dalam kehidupan ekonomi, demokrasi dalam kehidupan sipil dan bernegara, dan kebebasan atau individualisme dalam kehidupan spiritual.”5 Berdasarkan gagasan Steiner tersebut, Beuys tidak menjadikan pandangan spiritualnya sebagai sesuatu yang “ke dalam” saja, melainkan mesti punya dampak “ke luar” dan memberi perubahan bagi kondisi sosial. Beuys mempraktikkan hal tersebut melalui berbagai aktivitas politik seperti pendirian partai Die Grünen atau Partai Hijau Jerman pada tahun 1980.
Memilih untuk bersikap pasifis, Beuys menolak penggunaan senjata nuklir dan vokal dalam menyuarakan persoalan lingkungan. Gagasan Steiner mengenai organisme sosial tersebut juga diinterpretasikan oleh Beuys melalui konsep patung sosial (social sculpture) yang menganggap bahwa masyarakat adalah karya agung yang dipahat bersama-sama (itu sebabnya ia meyakini bahwa “semua orang adalah seniman”).
Tanggapan
Tantangan bagi berkesenian dengan gaya Beuys bisa jadi muncul dari dua kelompok yaitu pertama, dari kelompok seni yang menganggap bahwa aspek estetika memerlukan batasan-batasan formal agar tidak mudah untuk diklaim sebagai “apapun adalah seni” dan yang kedua, dari kelompok aktivis sosial yang melihat gerakan politik Beuys sebagai “terlalu bertele-tele” dan pada titik tertentu, bersifat elitis karena hanya dapat dimengerti segelintir orang. Bahkan secara gamblang, posisi Beuys menjadi tidak jelas karena bisa dipertanyakan: “Sebelah mana seninya?” dan di sisi lain, “Sebelah mana aktivismenya?”
Untuk menjawab hal tersebut, tentu tidak sederhana. Misalnya, apakah pertunjukkan berjudul I Like America and America Likes Me adalah sebuah peristiwa kesenian? Bagaimana membedakan karya tersebut dari orang lainnya yang dibawa dengan menggunakan ambulans dan orang lainnya yang hidup bersama coyote? Pada titik itu seni modern punya sikap, untuk membangun garis tegas antara seni dan bukan seni. Beuys tampak tidak peduli dengan garis pemisah tersebut dan ngotot untuk mengatakan, “Pokoknya yang saya lakukan ini adalah seni!” Seperti kalimat yang sederhana, tetapi sebenarnya dibangun atas dua hal yaitu sosok kesenimanan Beuys sendiri dan medan seni yang mengonstruksi peristiwa tersebut sebagai sebuah peristiwa kesenian. Artinya, Beuys sudah enggan untuk jatuh pada konsepsi “seni untuk seni” yang menurutnya sudah usang. Segala sesuatu bisa menjadi seni dan segala sesuatu bisa menjadi bukan seni bukan karena kategori formal khas seni modern, tetapi melalui geliatnya dalam kompleksitas dunia manusia yang melibatkan aspek historis dan kultural.
Tantangan aktivisme Beuys kemudian dihadapkan pada pertanyaan lain: “Mengapa aktivisme mesti melalui jalur estetik? Sementara masalah sosial memerlukan penyelesaian yang lebih konkret.” Di sinilah kelihatannya Beuys menunjukkan pemahamannya tentang antroposofi: bahwa manusia berhak mendapatkan keadilan di bidang ekonomi dan politik, tetapi jika secara individu tidak terbebaskan, untuk apa? Mungkin itulah yang dimaksud Beuys dengan pendekatan estetik terhadap perubahan sosial. Ia tidak ingin menjadi seperti dinas sosial atau sosok filantropis yang sekadar memberi tetapi tidak punya intensi melakukan emansipasi kesadaran. Pembebasan ini dilakukan Beuys dengan mengajak setiap dari kita untuk berdamai dengan diri dan masa lalu (hanya dengan itu kita bisa terbebaskan) serta menyadari posisi kita sebagai sekaligus bagian dari “yang lain”, yaitu masyarakat, alam dan semesta.
Sumber Bacaan
Mesch, Claudia. (2017). Joseph Beuys: Critical Lives. London: Reaktion Books Ltd
Steiner, Rudolf (2002). What is Anthroposophy?: Three Perspectives on Self-Knowledge. Great Barrington, MA: Anthroposophic Press.
1 “Like Charles Baudelaire and Gustave Courbet before him, Beuys approached art as a means of recovering collective experience, which included the ability to connect with the past by means of remembrance.” (Mesch, 2017: 15)↩
2 “It is the case that Beuys’s art might similarly be constructively identified as an art practice that suspends moral judgment.” (Mesch, 2017: 21)↩
3 “In his work Beuys thematized the natural sciences, biology and certain concepts and systems of the physical sciences, such as the transformation of matter into various states and the fundamental actions of electricity.” (Mesch, 2017: 75)↩
4 Axel Hinrich Murken, Joseph Beuys und die Medezin (Münster, 1979), hlm 118.↩
5 “Steiner pictured a society that functioned almost anthropomorphically: And humanity will have no say in the matter without regulating the social organism in the sense of three parts: socialism in economic life, democracy in civil and state life, and freedom or individualism in spiritual life.” (Mesch, 2017: 103)↩
Comments
Post a Comment