Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...

Moderator


Jika dihitung-hitung, saya lebih sering menjadi moderator ketimbang pembicara di dunia perdiskusian. Peran moderator ini sebenarnya sudah saya lakoni sejak mengurus komunitas Madrasah Falsafah yang berdiri sekitar tahun 2007. Waktu itu, sebelum saya dipercaya sepenuhnya untuk menjadi koordinator Madrasah Falsafah, saya terlebih dahulu mengamati peran moderator yang dijalankan oleh Rosihan Fahmi yang menurut saya justru lebih sentral dari peran pembicara. Di Madrasah Falsafah yang memegang prinsip dialog Sokrates, tidak ada yang benar-benar dinamakan narasumber secara khusus karena semua peserta diskusi diplot sekaligus sebagai pembicara. Moderator justru bertugas memancing para peserta agar bisa memberikan pandangan terhadap suatu topik yang bisa jadi sangat sederhana seperti misalnya tentang "sahabat" atau tentang "pagar". Kalaupun ada yang dinamakan "narasumber", maka istilah yang disematkannya adalah "pemasalah" karena tugasnya bukan menerangkan suatu informasi, tetapi lebih pada mengajukan masalah filosofis. 

Moderator, dalam prinsip Madrasah Falsafah, adalah seperti Sokrates, ia berupaya menggali "pengetahuan dari dalam" yang ada pada diri masing-masing peserta. Pendapat para peserta, yang sebagian besar bukan berlatar belakang studi akademis filsafat, mungkin bisa sangat acak dan hanya berupa letupan-letupan pengalaman seperti misalnya, "Sahabat ya bagi saya merupakan orang-orang di sekitar yang justru bisa menerima kekurangan-kekurangan saya." Moderator, mendengar pendapat tersebut, mesti mampu menariknya menjadi pernyataan filosofis seperti misalnya, "Jadi, menurut kamu, sahabat artinya adalah orang-orang yang mampu menerima hubungan yang asimetris ya?" Asimetris, yang dipinjam dari istilah Emmanuel Levinas, artinya adalah hubungan yang tidak harus saling menguntungkan secara "adil", melainkan bisa juga "berat sebelah". Kemudian, moderator juga bisa melemparkan pernyataan barusan pada forum untuk kemudian ditanggapi kembali, "Apakah benar-benar ada hubungan yang asimetris itu? Atau setiap orang pasti berharap ganjaran yang 'simetris', meski misalnya, dari surga?" Dengan demikian, forum menjadi hidup justru karena aktifnya moderator dalam "melangitkan" sekaligus "membumikan" setiap pernyataan. Maka itu, dulu kami punya semboyan: "Semua orang adalah filsuf." 

Kebiasaan menjalani peran moderator semacam itu membuat saya meyakini bahwa tugas moderator bukanlah sekadar "mengatur lalu lintas diskusi" atau bahkan lebih buruknya, hanya mempersilakan pembicara presentasi atau membuka sesi tanya jawab. Moderator, lebih dari itu, punya peran penting dalam menggali materi dari narasumber dan juga menajamkan pertanyaan atau tanggapan dari peserta. Narasumber bisa saja memaparkan materi yang kurang relevan dengan tema atau memaparkan materi dengan cara yang membosankan, tetapi hal tersebut harus segera diatasi oleh moderator untuk misalnya, memancing narasumber dengan pertanyaan-pertanyaan yang sekiranya membuat diskusi menjadi lebih menarik dan hidup. Moderator juga, bagi saya, mesti mampu merasakan apakah forum ini tampak terlalu lesu atau malah terlalu bersemangat sehingga perannya juga adalah untuk mengimbangi. Misalnya, jika forum terlalu "sepi" dari respons, maka moderator bisa melontarkan satu dua humor agar suasana lebih segar atau membuat "pertanyaan awam" yang membuat peserta merasa terhubung dengan materi yang mungkin dirasa terlalu rumit. 

Itu sebabnya, di Kelas Isolasi, istilah moderator, yang kami anggap terlalu "netral", akhirnya diputuskan untuk diubah menjadi "pengegas". Ia bukan hanya memoderasi diskusi, tetapi juga membuat diskusi menjadi lebih hangat dan bahkan bisa jadi provokatif.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...