Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...

Otentisitas > Pengalaman Estetik (?)

Made You Look: A True Story About Fake Art

Beberapa hari yang lalu, dalam rangka persiapan mengisi forum tentang seni rupa kontemporer, saya menonton dan membaca beberapa hal terkait seni, baik yang berhubungan langsung dengan seni rupa kontemporer maupun yang tidak langsung. Saya membuka Netflix dan tertarik dengan film dokumenter berjudul Made You Look: A True Story About Fake Art (2020). Mungkin tidak berhubungan langsung dengan seni rupa kontemporer, tetapi saya menemukan sejumlah hal menarik (dan pada akhirnya bisa dihubung-hubungkan). 

Film dokumenter yang disutradarai oleh Barry Avrich ini menceritakan tentang kasus lukisan palsu yang menyerang galeri Knoedler di New York, terkait berbagai transaksi yang dilakukan oleh presiden galeri, Ann Freedman, antara tahun 1994 sampai 2009. Lukisan yang dijualnya antara lain karya-karya Jackson Pollock, Mark Rothko, dan Robert Motherwell. Ann Freedman mendapatkan lukisan-lukisan tersebut dari orang bernama Glafira Rosales yang menjualnya dengan harga ratusan ribu dollar, sebelum dijual kembali pada para kolektor dengan harga belasan hingga puluhan juta dollar. 

Meski sempat diklaim sebagai karya-karya asli oleh beberapa ahli, tetapi akhirnya terkuak bahwa lukisan tersebut ditiru oleh seniman asal Tiongkok bernama Pei Shen Qian. Pei Shen Qian memang melakukan peniruan, tetapi tidak dalam konteks kejahatan pemalsuan. Ia hanya melakukannya karena mungkin ada orang yang ingin punya lukisan (seperti) Jackson Pollock atau Mark Rothko di rumahnya, tetapi tidak harus membeli yang asli. Selain itu, menurut pengakuan salah satu informan dalam film, di Tiongkok, tiru meniru karya seni itu "biasa", dan bahkan ada kelas khusus untuk melatihnya. 

Hal yang menarik untuk dibahas adalah bagaimana karya-karya tersebut, sebelum diragukan keasliannya, dianggap indah dan berharga. Namun saat terkuak siapa pembuat aslinya, tiba-tiba menjadi tidak berharga sama sekali. Apakah itu artinya otentisitas mendahului pengalaman estetik? Jika iya, maka seni rupa modern mengandung paradoks: di satu sisi, benar bahwa individualitas, ke-aku-an seniman menjadi penting dan bahkan segala-galanya (semacam antroposentrisme khas modernisme) dan di sisi lain, seni rupa modern juga mengagungkan kemurnian estetika atau keindahan pada dirinya sendiri, yang seharusnya lepas dari hal-hal di luar estetika, termasuk soal otentisitas. 

Di film dokumenter tersebut, diceritakan bagaimana suasana di pengadilan yang menegangkan (karena melibatkan sengketa puluhan juta dollar) tapi sekaligus agak jenaka. Bayangkan, para ahli memeriksa lukisan tersebut, termasuk putra dari Mark Rothko, tetapi terlepas dari apakah lukisan tersebut bukan asli, ada satu hal yang mereka sama-sama setuju: itu lukisan yang indah. Kalau itu lukisan yang indah pada dirinya sendiri, masih pentingkah otentisitas? Atau jangan-jangan, tidak cukup bagi para kolektor itu untuk memiliki karyanya saja. Mereka ingin memiliki hidup sang seniman atau menjadi bagian dari kehidupannya yang penuh glorifikasi. 

Pei Shen Qian, meski keterampilannya tidak bisa diremehkan (bahkan bisa jadi secara kemampuan lebih hebat dari seniman-seniman yang dia tiru), tidak punya nama sebesar Pollock atau Rothko. Itulah sebabnya, karya-karya itu menjadi tidak ada artinya dan bahkan kehilangan pesona estetiknya. Memang iya bahwa karya seni bisa jadi, karena itu merupakan produk manusia, maka sosok manusia sebagai kreator menjadi krusial. Namun ada hal yang bisa dicurigai: bukankah hidup manusia bisa diglorifikasi secara artifisial? misalnya, melalui media ataupun kajian akademis yang menjelma menjadi hegemoni. Mari kita berandai-andai: seandainya Pei Shen Qian lahir dan besar di "Barat" (lalu sukses di sana), mungkin ceritanya menjadi lain.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...