Made You Look: A True Story About Fake Art
Beberapa hari yang lalu, dalam rangka persiapan mengisi forum tentang seni rupa kontemporer, saya menonton dan membaca beberapa hal terkait seni, baik yang berhubungan langsung dengan seni rupa kontemporer maupun yang tidak langsung. Saya membuka Netflix dan tertarik dengan film dokumenter berjudul Made You Look: A True Story About Fake Art (2020). Mungkin tidak berhubungan langsung dengan seni rupa kontemporer, tetapi saya menemukan sejumlah hal menarik (dan pada akhirnya bisa dihubung-hubungkan).
Film dokumenter yang disutradarai oleh Barry Avrich ini menceritakan tentang kasus lukisan palsu yang menyerang galeri Knoedler di New York, terkait berbagai transaksi yang dilakukan oleh presiden galeri, Ann Freedman, antara tahun 1994 sampai 2009. Lukisan yang dijualnya antara lain karya-karya Jackson Pollock, Mark Rothko, dan Robert Motherwell. Ann Freedman mendapatkan lukisan-lukisan tersebut dari orang bernama Glafira Rosales yang menjualnya dengan harga ratusan ribu dollar, sebelum dijual kembali pada para kolektor dengan harga belasan hingga puluhan juta dollar.
Meski sempat diklaim sebagai karya-karya asli oleh beberapa ahli, tetapi akhirnya terkuak bahwa lukisan tersebut ditiru oleh seniman asal Tiongkok bernama Pei Shen Qian. Pei Shen Qian memang melakukan peniruan, tetapi tidak dalam konteks kejahatan pemalsuan. Ia hanya melakukannya karena mungkin ada orang yang ingin punya lukisan (seperti) Jackson Pollock atau Mark Rothko di rumahnya, tetapi tidak harus membeli yang asli. Selain itu, menurut pengakuan salah satu informan dalam film, di Tiongkok, tiru meniru karya seni itu "biasa", dan bahkan ada kelas khusus untuk melatihnya.
Hal yang menarik untuk dibahas adalah bagaimana karya-karya tersebut, sebelum diragukan keasliannya, dianggap indah dan berharga. Namun saat terkuak siapa pembuat aslinya, tiba-tiba menjadi tidak berharga sama sekali. Apakah itu artinya otentisitas mendahului pengalaman estetik? Jika iya, maka seni rupa modern mengandung paradoks: di satu sisi, benar bahwa individualitas, ke-aku-an seniman menjadi penting dan bahkan segala-galanya (semacam antroposentrisme khas modernisme) dan di sisi lain, seni rupa modern juga mengagungkan kemurnian estetika atau keindahan pada dirinya sendiri, yang seharusnya lepas dari hal-hal di luar estetika, termasuk soal otentisitas.
Di film dokumenter tersebut, diceritakan bagaimana suasana di pengadilan yang menegangkan (karena melibatkan sengketa puluhan juta dollar) tapi sekaligus agak jenaka. Bayangkan, para ahli memeriksa lukisan tersebut, termasuk putra dari Mark Rothko, tetapi terlepas dari apakah lukisan tersebut bukan asli, ada satu hal yang mereka sama-sama setuju: itu lukisan yang indah. Kalau itu lukisan yang indah pada dirinya sendiri, masih pentingkah otentisitas? Atau jangan-jangan, tidak cukup bagi para kolektor itu untuk memiliki karyanya saja. Mereka ingin memiliki hidup sang seniman atau menjadi bagian dari kehidupannya yang penuh glorifikasi.
Pei Shen Qian, meski keterampilannya tidak bisa diremehkan (bahkan bisa jadi secara kemampuan lebih hebat dari seniman-seniman yang dia tiru), tidak punya nama sebesar Pollock atau Rothko. Itulah sebabnya, karya-karya itu menjadi tidak ada artinya dan bahkan kehilangan pesona estetiknya. Memang iya bahwa karya seni bisa jadi, karena itu merupakan produk manusia, maka sosok manusia sebagai kreator menjadi krusial. Namun ada hal yang bisa dicurigai: bukankah hidup manusia bisa diglorifikasi secara artifisial? misalnya, melalui media ataupun kajian akademis yang menjelma menjadi hegemoni. Mari kita berandai-andai: seandainya Pei Shen Qian lahir dan besar di "Barat" (lalu sukses di sana), mungkin ceritanya menjadi lain.
Comments
Post a Comment