Skip to main content

Pulih

  Jalan beberapa hari jaga, saya mulai bosan. Rasanya berat sekali menunggui dagangan yang pembelinya terhitung sedikit. Lebih menderita lagi jika melihat barang dagangan sebelah lebih ramai dibeli. Hal yang menjadi hiburan adalah menulis terus menerus, supaya tidak terlihat bengong. Supaya tidak mati gaya.  Beberapa hari yang lalu, pas hari awal-awal saya mulai jaga, tiba-tiba saya punya keberanian untuk posting foto di Instagram. Setelah itu mulai merambah ke Facebook, lalu mulai semangat untuk posting sejumlah story di Instagram, mulai dari tentang jalannya kasus sejauh ini sampai kegiatan sehari-hari. Entah keberanian dari mana, tiba-tiba saya mem-posting story tentang tulisan-tulisan yang diturunkan dari berbagai website. Saya menuliskan, "Siapa yang mau tulisan saya? Gratis, akan saya kirimkan via e-mail". Ternyata banyak juga yang menginginkan tulisan-tulisan itu, ada lebih dari 90 orang.  Kemudian saya terpikir untuk membuat grup lagi, bersama orang-orang yang bisa di

Puspasari


Saya bertemu Puspasari pada bulan Mei 2018 di kelas filsafat ilmu yang diadakan oleh Kaka Cafe. Momen itu bertepatan dengan meninggalnya ibu. Di pagi hari, kami memakamkan ibunda dan malam harinya, saya berangkat mengajar dengan suasana penuh kesedihan. Mengapa saya tetap berangkat? Entah, mungkin karena saya tidak tahu lagi harus berbuat apa di tengah kebingungan ditinggal ibu. Di kelas pertemuan pertama tersebut, saya sebenarnya tidak tahu ada Puspa karena ya itu, mungkin saya juga sedang tidak berkonsentrasi. 

Pada pertemuan-pertemuan berikutnya, saya mulai sadar ada Puspa di antara murid-murid kelas tersebut dan kami akhirnya mengobrol beberapa kali. Singkat cerita, kami menjadi sering berjumpa di luar kelas dan pada bulan Juli akhirnya memutuskan untuk saling berkomitmen. Sejak awal menjalani hubungan khusus ini, memang sudah ada pembicaraan tentang pernikahan. Saya tidak tahu kenapa Puspa tampak tertarik dengan ide tersebut, padahal di usianya yang waktu itu masih 23 tahun dan menjalani magang sebagai dokter, rasanya masih banyak yang bisa ia lakukan ketimbang mengurung diri di dalam institusi bernama pernikahan. 

Di sisi lain, saya baru saja menjalani masa-masa menjadi duda dalam waktu sekitar setahunan. Entah mengapa, saya juga tergolong berani untuk membicarakan pernikahan padahal sama sekali belum sembuh dari luka akibat kegagalan sebelumnya. Saya melihat Puspa benar-benar tidak keberatan dengan status saya, termasuk dalam memahami kesedihan beruntun yang saya alami akibat perceraian dan kematian ibunda. Ia juga tampak tidak mempunyai masalah dengan kenyataan bahwa saya sudah memiliki putri. Hal yang menurut saya agak mengherankan bagi usianya yang masih tergolong muda. 

Perjalanan menuju pernikahan ini ternyata sangat tidak mudah. Bisa dimaklumi, bahwa orangtua Puspa sempat agak meragukan profil saya yang pernah gagal menjalani pernikahan. Selain itu, usia saya juga terpaut jauh dengan Puspa, yaitu sekitar sembilan tahun. Khawatirnya, Puspa diajak untuk mengarungi pola pikir saya yang "terlampau dewasa", yang tampak terlalu realistis, sementara Puspa sendiri masih dalam kondisi mengejar cita-cita yang masih luas kemungkinannya. 

Dua tahun lebih kami menjalani hubungan sambil pelan-pelan meyakinkan orangtuanya bahwa kami memang berniat menikah. Akhirnya di pertengahan tahun 2020, restu tersebut datang. Berangkat dari izin kedua orangtuanya, akhirnya kami melangsungkan pernikahan tanggal 16 Agustus 2020 dengan undangan terbatas hanya untuk saudara-saudara saja karena pesta dilakukan masih di masa pandemi. 

Hari ini adalah setahun tepat pernikahan kami. Pernikahan yang tidak bisa dikatakan ideal, kalau yang ideal itu diukur dari standar-standar umum masyarakat seperti punya rumah atau punya anak. Kami berjuang setiap hari mengerjakan ini itu untuk sekadar hidup, sambil menikmati momen-momen kecil yang membuat sedih ataupun tertawa. Kami mempraktikkan hidup yang tanpa arah dan tujuan, tetapi dengan demikian justru kami merasa tidak pernah tersesat. 

Puspa bagi saya adalah sosok istri yang luar biasa. Ia mencoba terus-terusan memahami saya yang aneh dan kompleks ini. Ia tampak sabar (meski tidak jarang terlihat kesal) dan sering kali membuat saya malu karena saya merasa tidak pernah melakukan hal sebaliknya. Meski usianya jauh lebih muda, tetapi ia kelihatan siap menghadapi hari-hari penuh tantangan dan ketidakpastian, hal yang sudah dipikirkannya matang-matang sejak awal memutuskan untuk hidup bersama saya. Selamat hari ulang tahun pernikahan, Sayang, terima kasih sudah bertahan meski saya ini manusia yang penuh kelemahan.


Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k