Saya bertemu Puspasari pada bulan Mei 2018 di kelas filsafat ilmu yang diadakan oleh Kaka Cafe. Momen itu bertepatan dengan meninggalnya ibu. Di pagi hari, kami memakamkan ibunda dan malam harinya, saya berangkat mengajar dengan suasana penuh kesedihan. Mengapa saya tetap berangkat? Entah, mungkin karena saya tidak tahu lagi harus berbuat apa di tengah kebingungan ditinggal ibu. Di kelas pertemuan pertama tersebut, saya sebenarnya tidak tahu ada Puspa karena ya itu, mungkin saya juga sedang tidak berkonsentrasi.
Pada pertemuan-pertemuan berikutnya, saya mulai sadar ada Puspa di antara murid-murid kelas tersebut dan kami akhirnya mengobrol beberapa kali. Singkat cerita, kami menjadi sering berjumpa di luar kelas dan pada bulan Juli akhirnya memutuskan untuk saling berkomitmen. Sejak awal menjalani hubungan khusus ini, memang sudah ada pembicaraan tentang pernikahan. Saya tidak tahu kenapa Puspa tampak tertarik dengan ide tersebut, padahal di usianya yang waktu itu masih 23 tahun dan menjalani magang sebagai dokter, rasanya masih banyak yang bisa ia lakukan ketimbang mengurung diri di dalam institusi bernama pernikahan.
Di sisi lain, saya baru saja menjalani masa-masa menjadi duda dalam waktu sekitar setahunan. Entah mengapa, saya juga tergolong berani untuk membicarakan pernikahan padahal sama sekali belum sembuh dari luka akibat kegagalan sebelumnya. Saya melihat Puspa benar-benar tidak keberatan dengan status saya, termasuk dalam memahami kesedihan beruntun yang saya alami akibat perceraian dan kematian ibunda. Ia juga tampak tidak mempunyai masalah dengan kenyataan bahwa saya sudah memiliki putri. Hal yang menurut saya agak mengherankan bagi usianya yang masih tergolong muda.
Perjalanan menuju pernikahan ini ternyata sangat tidak mudah. Bisa dimaklumi, bahwa orangtua Puspa sempat agak meragukan profil saya yang pernah gagal menjalani pernikahan. Selain itu, usia saya juga terpaut jauh dengan Puspa, yaitu sekitar sembilan tahun. Khawatirnya, Puspa diajak untuk mengarungi pola pikir saya yang "terlampau dewasa", yang tampak terlalu realistis, sementara Puspa sendiri masih dalam kondisi mengejar cita-cita yang masih luas kemungkinannya.
Dua tahun lebih kami menjalani hubungan sambil pelan-pelan meyakinkan orangtuanya bahwa kami memang berniat menikah. Akhirnya di pertengahan tahun 2020, restu tersebut datang. Berangkat dari izin kedua orangtuanya, akhirnya kami melangsungkan pernikahan tanggal 16 Agustus 2020 dengan undangan terbatas hanya untuk saudara-saudara saja karena pesta dilakukan masih di masa pandemi.
Hari ini adalah setahun tepat pernikahan kami. Pernikahan yang tidak bisa dikatakan ideal, kalau yang ideal itu diukur dari standar-standar umum masyarakat seperti punya rumah atau punya anak. Kami berjuang setiap hari mengerjakan ini itu untuk sekadar hidup, sambil menikmati momen-momen kecil yang membuat sedih ataupun tertawa. Kami mempraktikkan hidup yang tanpa arah dan tujuan, tetapi dengan demikian justru kami merasa tidak pernah tersesat.
Puspa bagi saya adalah sosok istri yang luar biasa. Ia mencoba terus-terusan memahami saya yang aneh dan kompleks ini. Ia tampak sabar (meski tidak jarang terlihat kesal) dan sering kali membuat saya malu karena saya merasa tidak pernah melakukan hal sebaliknya. Meski usianya jauh lebih muda, tetapi ia kelihatan siap menghadapi hari-hari penuh tantangan dan ketidakpastian, hal yang sudah dipikirkannya matang-matang sejak awal memutuskan untuk hidup bersama saya. Selamat hari ulang tahun pernikahan, Sayang, terima kasih sudah bertahan meski saya ini manusia yang penuh kelemahan.
Comments
Post a Comment