Skip to main content

Tentang Gus Miftah dan Reaksi Publik

Ramai soal Gus Miftah. Tak perlu diceritakan detailnya di sini. Lagipula, saya tak merasa harus mengomentari kata-kata Gus Miftah terhadap pedagang es teh. Bagi saya, hal yang lebih menarik adalah reaksi publik yang begitu masif, diantaranya dengan menyebarkan konten bertuliskan "lebih baik jualan es teh, daripada jualan agama". Selain itu, ada juga petisi yang berisi tuntutan kepada Presiden untuk mencopot jabatan Gus Miftah dari posisinya sebagai utusan khusus. Apapun itu, saya menilainya sebagai bentuk isyarat kebajikan atau virtue signaling .  Tak ada yang benar-benar peduli pada Gus Miftah atau tukang es teh. Masing-masing hanya memperagakan suatu sikap yang sejalan dengan apa yang sedang ramai. Jika benar-benar ditanya apakah Anda bersedia jualan es teh? Saya yakin sebagian besar menjawab tidak, bahkan dalam hatinya mungkin merasa lebih baik jualan agama karena sudah pasti lebih menguntungkan.  Dalam pandangan publik, pergulatannya sederhana sekali: mereka membangun per...

Operation Finale (2018): Tentang Iblis yang Tampil Biasa

Operation Finale (2018)


Memang benar saya tergila-gila dengan film yang berhubungan dengan Perang Dunia II. Beragamnya pilihan acara yang ditawarkan Netflix sementara ini tidak menarik minat saya. Ujung-ujungnya tetap saja yang ditonton adalah film yang ada kaitannya dengan Nazi-Nazi-an. Kali ini saya memilih film Operation Finale, film tahun 2018 yang bercerita tentang momen-momen penangkapan Adolf Eichmann di Argentina. 

Kesan pertama saya tentang Operation Finale ini adalah tone-nya yang tidak kelam seperti film lainnya yang serupa, sebut saja Schindler's List, Downfall, ataupun The Boys in Striped Pajamas. Film ini hampir seperti film "pada umumnya" dengan tampilan yang tidak dibuat-buat agar dramatis dan muram. Bagi saya yang terbiasa dengan penggambaran gelap pada film-film berbau Perang Dunia II, Operation Finale ini awalnya saya duga akan mengecewakan. 

Ternyata, dari waktu ke waktu, suasana yang "diharapkan" mulai terbangun, terutama saat sosok Adolf Eichmann, yang diperankan oleh Ben Kingsley muncul. Seperti yang digambarkan oleh filsuf Hannah Arendt dalam bukunya, Banality of Evil, hal yang mengerikan dari Eichmann justru karena ia tampil seperti "orang biasa" dengan kegiatan-kegiatan biasa, sama sekali tidak mencerminkan eks petinggi Nazi yang telah menjadi salah satu arsitek holocaust. Eichmann, yang berhasil lolos dari penjara tahanan perang Amerika pasca perang, tinggal di Argentina dan menjalani kehidupan normal dengan nama Ricardo Klement. 

Kengerian yang digambarkan oleh Arendt tampak saat momen percakapan Eichmann dengan para agen Mossad yang menangkapnya. Dari obrolan ke obrolan, Klement pelan-pelan menjelma menjadi Eichmann dalam artian: "orang biasa" itu menampakkan jatidirinya. Sedikit demi sedikit iblis dari masa lalunya berbicara dan pandangan kita akan Klement tua kian memudar. Di sinilah film Operation Finale yang disutradarai Chris Weltz tersebut mengaduk-aduk perasaan kita untuk mengajukan pertanyaan: bagaimana mungkin orang tua seperti Klement dulunya adalah seorang jagal yang tanpa ampun menghabisi jutaan nyawa? 

Film ini tidak banyak menampilkan adegan kekejian Nazi, tetapi suspens dibangun secara psikologis, termasuk misalnya saat salah satu agen Mossad, Peter Malkin, mencukur janggut Eichmann. Sambil mencukur janggutnya dengan pisau, Eichmann menceritakan masa lalunya, yang membuat Malkin, sebagai seorang Yahudi, geram. Suasana ini ngeri-ngeri sedap. Bayangkan, musuh kita ada di hadapan, tidak berdaya, dan pisau yang kita pegang sudah ada di lehernya. Hanya dengan sedikit tekanan, ia bisa dibunuh. Namun apa boleh buat, Malkin harus bertindak berdasarkan akal sehatnya, mengingat misi ini memang mengharuskan Mossad membawa Eichmann ke Israel dalam keadaan hidup untuk diadili. 

Di dalam persidangan, Eichmann mengaku tidak merasa bersalah atas pembunuhan orang-orang Yahudi karena ia hanya melakukannya berdasarkan perintah (bagian ini tidak banyak ditampilkan di dalam film). Pada titik ini, kita masuk pada persoalan moral yang pelik, tentang keharusan menaati peraturan versus hati nurani dalam memperlakukan manusia lainnya. Dalam lanskap kehidupan di Jerman pada masa itu, melakukan diskriminasi hingga pembunuhan terhadap Yahudi bukan hanya bagian dari menjalankan perintah negara, tetapi juga dipuji sebagai sesuatu yang "bermoral."

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...