Sejak situasi pandemi kian memburuk terutama dalam tiga bulan terakhir, kami tidak pernah keluar rumah sama sekali. Atas dasar itu, kami mencoba menyewa-nyewakan kendaraan karena memang tidak dipakai. Daripada menganggur. Setelah seminggu diiklankan melalui pesan Whatsapp dan juga via Olx, barulah ada yang mengontak, yang justru datang dari orang yang tinggal di apartemen yang sama dengan kami. Katanya, ia akan meminjam beberapa hari ke Jakarta, tetapi tidak bisa dipastikan tepatnya berapa hari. Saya diminta menemuinya langsung untuk berbincang lebih jelas dan saya diarahkan ke sebuah studio tattoo. Iya, si penyewa ternyata adalah salah satu seniman tattoo terbaik di negeri ini, nama panggilannya Kent Kent atau lebih dikenal juga dengan sebutan Kent Tattoo (sesuai nama studionya). Tentu saja saya sudah sering mendengar namanya sejak lama!
Awalnya, Kang Kent Kent, begitu saya memanggilnya, akan menyewa secara lepas kunci alias tanpa supir. Namun tiba-tiba, pukul empat dini hari, ia mengirim pesan bahwa ia mendadak perlu supir dan harus berangkat pukul tujuh pagi. Saya yang baru membaca pesan tersebut pukul enam tentu saja langsung panik dan mengontak sejumlah kenalan tapi ternyata tidak ada yang bersedia. Pertama, karena mendadak sekali dan yang kedua, tidak ada yang siap untuk menginap berhari-hari di Jakarta tanpa kepastian kapan pulang. Dengan agak jengkel pada keadaan, akhirnya saya memutuskan untuk mengemudikannya sendiri. Istri pun tidak keberatan, karena ia lebih khawatir saya menjadi bad mood gara-gara situasi serba mendadak ini.
Di perjalanan hanya kami bertiga, Kant Kent Kent, asistennya, Otoy, dan saya. Ternyata perjalanan berlangsung tidak seburuk yang dibayangkan. Kang Kent Kent sering sekali mengajak ngobrol, khususnya obrolan dengan tema-tema spiritual. Saya awalnya penasaran, dengan sekujur tubuhnya yang dipenuhi tattoo, tidakkah ia sering mendapat stigma, terutama dari kalangan orang-orang beragama? Dia jawab tentu saja, tetapi ia menganggap stigma semacam itu hanya muncul dari orang-orang yang masih ada dalam tahapan "syariat". Sementara dalam tataran "makrifat", harusnya soal tattoo tidak perlu dipermasalahkan karena itu urusannya hanya dengan tampilan, atau Kang Kent Kent menyebutnya sebagai urusan "jasad".
Perbincangan yang begitu seru membuat Kang Kent Kent penasaran dengan aktivitas harian saya. Jujur, tadinya saya mau bersikap profesional saja sebagai supir dan tidak mau bicara apa-apa soal kehidupan pribadi. Namun akhirnya gatal juga dan mengaku bahwa sehari-hari saya adalah pengajar filsafat. Kata "filsafat" itulah yang kemudian menggelitik Kang Kent Kent dan nyaris menjadi topik utama obrolan kami sepanjang tiga hari ke depannya di Jakarta. Kang Kent Kent bertanya terus menerus apa itu filsafat, apa saja yang dikajinya dan apakah yang sudah ia renungkan selama ini dapat disebut sebagai filsafat?
Sebenarnya ketimbang membicarakan filsafat yang nyaris saya lahap setiap hari, saya justru lebih berminat menyelami tentang apa itu tattoo dari Kang Kent Kent. Dari kedalaman pemikirannya, jelas ia bukan seniman tattoo biasa. Sambil men-tattoo klien-kliennya setibanya kami di Jakarta, saya memperhatikan bagaimana ia menerangkan tentang feng shui dengan cukup rinci. Ia juga menjelaskan bagaimana tattoo tidak hanya ditujukan untuk hiasan, tetapi juga bisa memberi dampak tertentu bagi si pemilik tubuh, mulai dari kepercayaan diri hingga hoki --jika gambar dan warnanya memang "pas". Hal yang bagi saya menarik adalah seniman tattoo ini tidak hanya harus punya kemampuan artistik, tetapi juga ketelitian. Tubuh manusia bukanlah kanvas yang bisa diganti jika sang seniman melakukan kesalahan. Apapun yang sudah ditusukkan, akan sukar sekali diubah dan bahkan tertanam secara permanen.
Kami di Jakarta hanya tiga malam, tetapi di setiap malam itu, Kang Kent Kent selalu mengajak saya ngobrol sampai hampir dini hari. Topiknya ya itu tadi, tentang spiritualitas. Misalnya, Kang Kent Kent menanyakan pendapat saya tentang kematian. Saya bingung menjawabnya, tapi saya jawab saja pertemuan dengan cahaya. Bukan surga bukan neraka. Karena surga dan neraka itu, menurut saya, hanya cara Tuhan memudahkan pemahaman kita soal ganjaran bagi berbuat baik dan buruk. Kang Kent Kent menanggapi dengan mengatakan bahwa kematian itu seperti tidur saja. Namun ada hal yang menakutkan baginya, yaitu momen-momen menjelang kematian itu sendiri. Tidak ada di antara kami yang tahu momen-momen itu akan seperti apa, tetapi saya mencoba menenangkan lewat kutipan Epikuros, "Saat kita hidup, kematian belum datang. Saat kematian datang, kita sudah tidak ada."
Dalam pembacaan saya, Kang Kent Kent pernah mengalami beberapa fase dalam hidupnya. Pertama adalah fase yang ia sebut sendiri sebagai fase "iblis" atau mungkin dalam bahasa Kierkegaard adalah fase estetik yang mengarah pada kehidupan serba hedonistik. Kedua adalah fase "malaikat" atau fase kehidupan yang mengagungkan religiusitas dengan segala atributnya. Ternyata fase "malaikat" tersebut tidak memuaskan dirinya. Akhirnya ia masuk pada fase yang sedang ia jalani, yaitu bukan iblis, bukan malaikat, melainkan semacam peleburan, langsung menyatu dengan Tuhan tanpa kategori-kategori yang disebutkan tadi. Maka itu, menjadi tidak penting bagi Kang Kent Kent soal apakah dia bertattoo atau tidak, terlihat saleh atau tidak, bahkan apa yang dimaksud "kesalehan" sendiri menjadi tidak relevan, karena letak segala hubungan dengan Tuhan, menurutnya, ada di "rasa". Kelihatannya soal "rasa" ini terhubung dengan Yang Ilahi, melampaui pikiran, melampaui bahasa.
Di hari ketiga, Kang Kent Kent memutuskan untuk pulang. Padahal tadinya dengan pasien tattoo yang cukup banyak, rencananya kami akan di Jakarta selama seminggu. Alhasil, ada dua orang yang tidak sempat ditattoo, dan Kang Kent Kent tidak ambil pusing. Saya tidak tahu alasannya mengapa kami pulang lebih cepat, tapi yang saya dengar salah satunya karena listrik di unit apartemennya mau habis, dan kartu untuk pengisian listrik terbawa oleh beliau. Jika beliau terlambat pulang, anak istrinya akan mengalami gelap gulita akibat putus listrik. Tidakkah itu alasan yang terlalu "sederhana" untuk membatalkan dua orang klien yang jika diteruskan, bisa menghasilkan belasan bahkan puluhan juta? Namun saya mengerti, dalam tahapan kesadarannya yang telah "makrifat", kelihatannya ia memilih untuk melebur bersama Yang Ilahi, yang mewujud lewat anak istrinya sendiri. Ia begitu rindu, hingga mengabaikan hal-hal "syariat" yang cuma memuaskan jasad.
Saya pulang dengan perasaan bahagia. Saya berhasil mempraktikkan filosofi "Hiduplah tanpa arah dan tujuan, agar tidak tersesat". Tidak ada dalam rencana saya untuk menjadi supir rental mobil, setidaknya dalam dua tiga bulan ke depan. Dalam perspektif keabadian atau "sub specie aeternitatis", tidak ada hal yang rencana ataupun bukan rencana, semua sudah ada di jalan-Nya.
Comments
Post a Comment