Skip to main content

Tentang Gus Miftah dan Reaksi Publik

Ramai soal Gus Miftah. Tak perlu diceritakan detailnya di sini. Lagipula, saya tak merasa harus mengomentari kata-kata Gus Miftah terhadap pedagang es teh. Bagi saya, hal yang lebih menarik adalah reaksi publik yang begitu masif, diantaranya dengan menyebarkan konten bertuliskan "lebih baik jualan es teh, daripada jualan agama". Selain itu, ada juga petisi yang berisi tuntutan kepada Presiden untuk mencopot jabatan Gus Miftah dari posisinya sebagai utusan khusus. Apapun itu, saya menilainya sebagai bentuk isyarat kebajikan atau virtue signaling .  Tak ada yang benar-benar peduli pada Gus Miftah atau tukang es teh. Masing-masing hanya memperagakan suatu sikap yang sejalan dengan apa yang sedang ramai. Jika benar-benar ditanya apakah Anda bersedia jualan es teh? Saya yakin sebagian besar menjawab tidak, bahkan dalam hatinya mungkin merasa lebih baik jualan agama karena sudah pasti lebih menguntungkan.  Dalam pandangan publik, pergulatannya sederhana sekali: mereka membangun per...

Downfall (2004): Menengok Sisi Lain Sang Diktator

Downfall (2004)

 

Sudah lama saya ingin menonton film Downfall (2004) setelah entah berapa kali menonton parodinya di YouTube. Bahkan sempat dalam beberapa minggu, ritual saya sebelum tidur adalah menonton parodi Downfall hingga mengantuk. Parodi-parodi tersebut begitu lucu dan kreatif, hingga kadang terlalu kejam karena nilai-nilai dalam filmnya menjadi terdistorsi. Dalam adegan-adegan yang mestinya tegang, secara otomatis saya langsung ingat versi parodinya sehingga alih-alih ikut tegang, malah jadi tertawa geli. 

Downfall adalah film yang menceritakan tentang babak akhir Perang Dunia II saat baik pasukan Sekutu maupun pasukan Uni Soviet sudah makin mendekat ke Berlin. Adolf Hitler, pemimpin partai Nazi yang terkenal dengan kediktatorannya, menyusun strategi pamungkas bersama para jenderalnya untuk mengatasi serbuan tersebut. Sebagaimana film yang mengangkat tema perang, Downfall juga menyajikan adegan tembak menembak dan pengeboman. Namun bukan itu yang menjadi fokus utamanya, melainkan bagaimana suasana mencekam di Führerbunker, tempat berlindung terakhir bagi Hitler, para jenderal, maupun petinggi partai. 

Dalam kondisi terdesak, kita dapat melihat bagaimana sifat naluriah manusia untuk bertahan hidup bermunculan dan pada akhirnya bagi sebagian orang, ideologi dikesampingkan. Hal inilah yang kelihatannya ingin diperlihatkan oleh sutradara Oliver Hirschbiegel, bahwa Hitler dan orang-orang dekatnya adalah manusia biasa dengan segala ketakutannya akan mati. Bahkan orang sedingin Joseph Goebbels, Menteri Propaganda Nazi, tampak terguncang saat memutuskan harus membunuh anak-anaknya sendiri dengan sianida. 

Harus diakui bahwa film ini menjadi dramatis karena peran aktor Bruno Ganz yang bermain sebagai Hitler. Ekspresi yang ditampilkan oleh aktor asal Swiss itu begitu kuat sehingga menimbulkan perasaan campur aduk atas pandangan saya atas sosok sang diktator. Perasaan benci tentu mendominasi, tetapi ada sisi kasihan, dalam artian, orang ini "sakit", ia terpenjara impiannya sendiri tentang Third Reich sehingga meski sudah sangat terdesak, Hitler tidak mau percaya bahwa kekalahannya akan terjadi dalam hitungan jam. Satu per satu pengikutnya pergi, ada yang pamit baik-baik, ada juga yang berkhianat diam-diam, dan Hitler tetap berpegang teguh pada prinsipnya, ibarat Sokrates yang memilih untuk mati ketimbang menerima pendapat orang lain bahwa selama ini ia telah keliru. 

Kebetulan saya punya semacam fetish terhadap segala sesuatu yang berbau Perang Dunia II. Asal-usul fetishisme ini entah darimana, yang pasti, saya rajin sekali nonton film-film dengan tema tersebut, termasuk yang ditampilkan dengan gaya dokumenter. Bagi saya, Downfall adalah salah satu film terbaik yang mengambil latar Perang Dunia II. Alasannya, kita diajak menengok situasi perang sebagai hal yang bangkrut dari peradaban, lewat penggambaran dari orang per orang, bukan dari sebuah lanskap pertempuran.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...