Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...

Tobucil


Antara tahun 2006 sampai sekitar 2014, saya aktif di sebuah toko buku, komunitas, dan ruang alternatif bernama Tobucil atau toko buku kecil. Awalnya, Tobucil berdiam di Jalan Kyai Gede Utama nomor 8 sebelum akhirnya pindah sekitar tahun 2007 ke Jalan Aceh nomor 56. Di Jalan Aceh ini, saya rajin sekali nongkrong dan aktif setidaknya di dua komunitas yaitu KlabKlassik dan Madrasah Falsafah. Tobucil, meski basisnya adalah toko buku, tetapi juga memfasilitasi berbagai komunitas. Itu sebabnya, nama resminya adalah Tobucil n' Klabs. 

Mengapa saya menulis tentang Tobucil, karena dipicu oleh pertemuan dengan Mbak Elin pada tanggal 12 Juli kemarin. Mbak Elin, apa ya jabatannya, mungkin dapat dikatakan manajer di Tobucil, tiba-tiba mengontak dan mengatakan akan mengembalikan sejumlah buku yang pernah dititipkan di Tobucil. Saya kaget karena saya sendiri sudah lupa buku apa saja yang pernah dititipkan. Singkat cerita, kami bertemu dan bercerita sedikit banyak soal Tobucil yang sekarang sudah berganti manajemen sehingga semua urusan administrasi mesti diselesaikan. Sudah sekitar tujuh tahun saya tidak bertemu Mbak Elin, tetapi kami berbicang langsung akrab seperti sering jumpa. Mungkin karena saya pernah menghabiskan hari-hari saya di Tobucil selama bertahun-tahun, sehingga yah, orang-orang di dalamnya pernah menjadi bagian penting dalam hidup saya - dapat dikatakan, sudah seperti keluarga -. 

Pertemuan dengan Mbak Elin tersebut memanggil kenangan tentang Tobucil. Tobucil adalah tempat pertama yang memfasilitasi saya dalam berkegiatan di komunitas. Di sana saya sekaligus belajar tentang apa itu berkomunitas dan dari berkomunitas itu, saya menjadi belajar banyak hal lainnya. Misalnya, Mbak Tarlen, pendiri dan pemilik Tobucil, mengajarkan pada saya bahwa usia sepuluh tahun dalam berkomunitas itu adalah seperti bayi masih merangkak. Mbak Tarlen hendak mengatakan, bahwa berkomunitas itu harus sabar, seperti menyirami benih dan membesarkan anak. Kuncinya adalah konsistensi dan tidak cepat puas. 

Melalui berkomunitas di Tobucil juga saya belajar bagaimana bicara dan mendengar, terutama dalam konteks interpersonal. Di dalam komunitas, berbagai obrolan dan diskusi berlangsung secara intim sekaligus intens, sehingga dampaknya, juga mudah untuk timbul gesekan. Namun dari situlah saya mengambil pelajaran dari interaksi yang menimbulkan aneka benturan, bahwa dengan cara demikian kita menjadi matang dalam bersikap dan mengambil keputusan. Oh iya, di Tobucil juga pertama kali saya berjumpa Sundea, yang merekrut saya untuk mendampinginya mengisi blog Tobucil. Bisa dikatakan, Dea adalah orang pertama yang percaya pada kemampuan saya dalam menulis. Ia juga yang memberi nama pena yang masih saya gunakan hingga sekarang: syarafmaulini. 

Saya kira harus diakui bahwa Tobucil adalah patron mula-mula saya dalam menjalani kehidupan yang bersentuhan dengan "publik". Meski tidak dalam jumlah besar, tetapi dari situlah memang awalnya, dari bagaimana mengatasi hubungan personal dan kelompok kecil. Pada akhirnya, berawal dari sana, apa yang dimaksud "orang banyak" itu pertama, bisa dibayangkan sebagai perluasan dari hubungan personal dan yang kedua, "orang banyak" bisa ditaklukkan lewat dialog dengan individu atau kelompok kecil yang menjadi bagiannya. Intinya, jika ingin mengatasi "orang banyak", pilihlah representasinya untuk diajak bicara. Pada penerapan semacam itu, pengalaman saya di Tobucil menjadi penting, jika tidak dapat dikatakan terpenting dalam perkembangan cara berkomunikasi saya. 

Demikian, apa yang saya dengar dari Mbak Elin tentang situasi Tobucil yang sudah amat berbeda, membuat saya merenung panjang. Pernah saya tulis di masa-masa itu, bahwa kita tidak bisa mengubah dunia, tetapi kita bisa mendefinisikan kembali dunia untuk kita ubah. Dunia dalam versi saya, waktu itu, adalah Tobucil.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...