Keputusan memilih Italia sebagai tim favorit sejak Euro 96 bukanlah keputusan menyenangkan. Italia adalah tim bertahan dan tidak menyukai penguasaan bola. Menonton mereka bermain berarti juga stres sepanjang pertandingan karena senantiasa dalam tekanan tim lawan. Bahkan sepakbola Italia pernah bangga dengan taktik catenaccio atau "pertahanan grendel". Mereka menumpuk lima bek dan satu di antaranya adalah libero yang bermain di belakang dua stopper agar pertahanannya berlapis. Saya kadang iri pada pendukung Jerman, Spanyol, Brasil atau Belanda. Meski tidak selalu menang, setidaknya mereka tampil menyerang dan itu jauh lebih menenangkan.
Italia di Euro 2020 adalah Italia yang sudah beradaptasi dengan tren sepakbola menyerang. Meski tetap mampu bertahan dengan indah, mereka juga tidak alergi dengan penguasaan bola. Italia sekarang mau dengan sabar membangun serangan dari belakang ke depan, tanpa terburu-buru melambungkan bola seperti biasanya. Menonton Italia di era Roberto Mancini jauh lebih menenangkan daripada di masa Cesare Maldini atau Marcelo Lippi.
Italia juara Euro 2020. Artinya, dua kali dalam hidup, saya menyaksikan Italia angkat trofi selain Piala Dunia 2006. Semuanya jadi kenangan yang indah. Termasuk bagaimana saya dulu sampai solat tahajud menjelang pertandingan Italia (solat wajibnya malah enggak), tentang bagaimana saya menangis tersedu-sedu saat gol Ahn Jung Hwan menyingkirkan Azzurri di Korsel, dan bagaimana hingga sekarang, saya masih menonton ulangan gol Fabio Grosso di perpanjangan waktu melawan Jerman di tahun 2006. Orang bisa pindah agama, tetapi tidak mungkin pindah tim sepakbola kesayangan.
Orang bisa pindah dari Islam ke Kristen dan sebaliknya, tetapi mustahil orang pindah dari tadinya suka Persib menjadi Persija, atau Italia menjadi Inggris. Hidup Italia! Hidup Persib!
Comments
Post a Comment