Kecerdasan Buatan dan Dunia Manusia
(Dimuat di majalah Gita Sang Surya vol. 16, No. 3, Mei - Juni 2021)
Semakin canggihnya kecerdasan buatan (artificial intelligence/ AI) tidak lagi terbatas berperan sebagai teknologi yang membantu manusia. Pada titik tertentu, AI yang dikategorikan sebagai strong AI malah berpotensi menggantikan peran-peran tertentu yang biasa dilakukan oleh manusia. Hal-hal semacam ini bukan lagi ada pada film seperti 2001: A Space Odyssey (1968) yang menghadirkan HAL 9000 sebagai super komputer yang mengacaukan misi penelitian ke planet Jupiter. Bukan juga hanya ada lewat sosok Terminator dalam film Terminator (1984), robot-pembunuh dari tahun 2029 yang kembali ke tahun 1984 untuk membunuh Sarah O’Connor, perempuan yang kelak akan melahirkan John. John O’ Connor nantinya akan memimpin pemberontakan melawan Skynet, sistem AI super canggih yang merancang pembantaian umat manusia dengan menggunakan nuklir.
Film-film tersebut tentu saja cenderung membesar-besarkan peran AI di masa mendatang. Namun ada gagasan yang bisa kita ambil: bahwa AI yang diciptakan untuk mempermudah kerja manusia, kelak tidak hanya akan membantu, melainkan mengambil alih, dan bahkan punya kapasitas memusnahkan – setidaknya secara esensi -. Ray Kurzweil, dalam bukunya yang berjudul The Age of Spiritual Machines (1999), seolah menegaskan hal tersebut dengan mengatakan bagaimana kelak manusia akan membuat mesin yang lebih pandai darinya. Mesin ini yang kemudian menjadi AI yang tidak hanya akan memiliki kehendak bebas, tetapi juga “pengalaman spiritual” (Kurzweil, 1999: 6).
Kurzweil melihat fenomena Deep Blue, komputer buatan IBM, yang mengalahkan juara catur dunia, Gary Kasparov pada tahun 1997, sebagai salah satu alasan kuat mengapa prediksinya tersebut kelak akan jadi kenyataan. John Searle, pengkaji filsafat akal budi, kurang setuju dengan optimisme Kurzweil ini, dengan mengacu pada eksperimennya tahun 1980 bernama “Chinese Room” Argument. Menurut Searle, AI bisa saja mempelajari terus menerus tentang bahasa Mandarin dengan membaca pola-pola tertentu, tetapi hanya terbatas pada “manipulasi simbol” dan tidak dapat dikatakan mengerti makna yang ada pada setiap kata dalam bahasa Mandarin (Searle, 1990a).
Dalam konteks Deep Blue yang diglorifikasi oleh Kurzweil, Searle menanggapi bahwa AI bisa seperti terlihat pandai bermain catur, tetapi tidak benar-benar memahaminya. Searle mengatakan bahwa menganggap Deep Blue lebih pintar dari manusia adalah sama saja membandingkan kecepatan berhitung manusia dengan kalkulator saku. Tentu saja kalkulator saku lebih besar kemungkinan menang dari segi kecepatan berhitung karena ia hanya diprogram untuk itu saja!
Colin McGinn, pengkaji filsafat akal budi lainnya, setuju sebagian pendapat Kurzweil bahwa teknologi di masa depan kelak dapat berkembang menjadi kesadaran utuh, tetapi ia juga mengakui eksperimen Searle telah menyadarkan bahwa memang terdapat kemungkinan AI dapat meniru perilaku eksternal manusia, hanya saja tidak akan sampai pada “pengalaman subjektif internal” (inner subjective experience) (McGinn, 1999). Namun kita bisa saja mengajukan keberatan terhadap pendapat Searle dan McGinn ini terkait pemaknaan serta pengalaman internal: pada akhirnya, jika yang menjadi ukuran bagi keberhasilan AI adalah pada kemampuannya yang konkret, apa pentingnya mengetahui makna dan pengalaman internal? Jika kita merasa terbantu oleh teknologi, apa pentingnya kita mengetahui “apa yang dirasakan” atau “apa yang sungguh-sungguh dipahami” oleh si teknologi tersebut?
AI dan Seni
Kekhawatiran atas perkembangan AI yang kian pesat membuat seni kemudian diangkat sebagai “pertahanan terakhir” dalam kaitannya dengan aspek manusia yang tidak bisa digantikan oleh AI. Selama ini, AI dapat dikatakan mampu mereplikasi kapasitas kognisi manusia dalam hal berpikir formal-logis, tetapi belum terbukti dapat meniru aspek emosional, afeksi, dan kreativitas yang kompleks (pada tingkat sederhana, mungkin sudah bisa dilakukan).
Misalnya, AI tidak mungkin untuk mengubah pendirian secara tiba-tiba karena suatu mood yang berasal dari dirinya sendiri. Kecuali jika perubahan tersebut disisipkan sebagai bagian dari pemrograman yang telah direncanakan. AI juga belum tentu punya kapasitas untuk “merasakan” dan “memaknai” karena keduanya dianggap sebagai kegiatan yang tidak hanya melibatkan aspek kognisi, melainkan afeksi. Dimensi afeksi merupakan aspek sentral dalam seni. Seni tidak hanya melibatkan fakutas pikiran saja, tetapi juga emosi dan perasaan. Sehingga dengan demikian, seni dianggap tidak bisa direplikasi secara sempurna oleh AI, kecuali jika itu hanya produk-produknya saja dengan menggunakan teknik algoritma.
Pada perkembangannya, AI dikembangkan juga untuk membantu seni. Misalnya, melalui algoritma untuk kreativitas artifisial yang bisa berkaitan dengan pengembangan sistem komputasional agar terbentuk karya yang dapat dikatakan kreatif atau artistik. Sebagai contoh, algoritma AI bisa saja membaca sejumlah karya lukis di masa Barok, untuk kemudian mengkreasi lukisan “bergaya Barok”-nya sendiri dengan mengkompilasikan seluruh “pengalaman”-nya tentang karya lukis Barok. Hal ini kurang lebih sudah bisa dilihat di dalam sejumlah aplikasi gawai yang memungkinkan kita untuk memberikan sentuhan terkait gaya lukisan tertentu pada foto.
Hal tersebut juga dapat dilakukan pada musik. Misalnya, AI dapat merekam sejumlah gaya musik dari beberapa genre, untuk kemudian dikompilasi dan melahirkan musik “baru” yang merupakan kerja algoritmis dari sejumlah unsur musik (Wilson, 2002: 789). Meski ditujukan untuk membantu seni, tetapi perkembangan AI ini juga menghasilkan pertanyaan filosofis baru terkait apa itu kreativitas dan artistik: bukankah kerja pikiran manusia juga seperti algoritma dalam artian, merekam sejumlah karya seni lain untuk kemudian dikompilasi menjadi sesuatu yang “baru”? Pertanyaan tersebut, secara lebih jauh menjadi masuk pada pertanyaan: jika kreativitas dan artistik, yang katanya khas manusia, kemudian secara luaran dapat ditiru, lantas, apa arti menjadi manusia?
Untuk lebih jauh memahami hubungan antara algoritma AI dengan seni, maka bisa diambil contoh program AARON yang diinisiasi oleh Harold Cohen, seniman dan akademisi seni dari University of California, San Diego. Sejak tahun 1968, Cohen mengembangkan algoritma komputer untuk mendapatkan model tentang bagaimana cara menghasilkan karya gambar dan lukis yang kreatif serta artistik. Cohen menantang dirinya sendiri dengan pertanyaan-pertanyaan seperti ini: bisakah ia membuat program komputer yang secara otonom menciptakan gambar dan lukisan yang bernilai secara estetik? Bisakah ia mengerti proses mental dari seniman yang kemudian dieksternalisasikan menjadikan program?
Cohen kemudian berhasil menciptakan program bernama AARON yang mampu menggambar dengan cara yang tidak hanya berbeda dan tidak bisa diprediksi, tetapi juga secara gaya, sangat menarik. Komputer menjadi tidak hanya menghasilkan bentuk-bentuk geometris, tetapi juga berbagai jenis genre. Cohen, sebelum meninggal tahun 2016, terus menerus melakukan pengembangan terhadap AARON sehingga mampu untuk melukis Figur dan juga menambahkan warna. Dalam hal ini, Cohen menginginkan agar AARON tidak hanya punya kapasitas teknis saja, tetapi juga sanggup menghasilkan makna berdasarkan pengetahuan dan juga aspek historis - kultural. Karya-karya AARON memang pada akhirnya tidak terlihat seperti suatu karya yang acak, tetapi terkesan punya niat dan otonomi. Meski nampak memiliki gaya dan ciri khas, tetapi pandangan skeptis pada AI masih muncul bahwa apakah mereka benar-benar memiliki kesadaran historis dan kultural atau itu hanya ekspresi dari penciptanya saja atau dalam hal ini adalah Cohen (Wilson, 2002: 791).
Replikasi atas Dunia Manusia (?)
Berdasarkan pengamatan keseharian, kita bisa dengan mudah menyadari bahwa teknologi digital sudah semakin canggih dan bahkan pada titik tertentu, melampaui apa yang kita bayangkan. Misalnya, algoritma Youtube dapat menyodorkan apa yang kira-kira menjadi tontonan kesukaan kita berdasarkan kata kunci yang sering dipakai selama menggunakan media sosial atau aplikasi lainnya. Kian kompleksnya kemampuan algoritma ini membuat ide demokrasi bahkan bergerak menuju apa yang dinamakan datakrasi. Di dalam datakrasi, “kehendak umum” ditunjukkan melalui data dan jejak digital sehingga dibayangkan akan lebih akurat ketimbang menampung aspirasi publik dengan cara-cara konvensional.
Ditambah dengan kemungkinan dunia seni sebagai “pertahanan terakhir” juga kian terancam dengan kemampuan replikasi AI, pertanyaan bertubi-tubi mengemuka: apa yang tersisa dari manusia? Ke mana gerangan otonomi dan kehendak bebas? Bagaimana dengan dimensi afeksi dan spiritual yang membuat manusia dikatakan manusiawi? Apakah masih relevan membicarakan “pengalaman subjektif internal” jika pada akhirnya yang penting hanyalah luaran dari tindakan-tindakannya (seperti argumen behaviorisme)? Bahkan jika datakrasi benar-benar terwujud, apakah masih relevan membicarakan manusia sebagai zoon politikon? Untuk sekadar meredam optimisme berlebihan tentang kemungkinan AI menggantikan manusia, perlu dipertimbangkan dua argumentasi berikut ini:
AI tentu saja mampu mereplikasi kecerdasan manusia secara individual. Dalam konteks musik, misalnya, mudah bagi AI untuk menjadi lebih hebat dari musisi seperti Chick Corea atau John Coltrane. Penciptanya tinggal memasukkan saja frasa musik yang biasa digunakan oleh Corea ataupun Coltrane, sehingga menghasilkan kemungkinan “baru” yang lebih kaya dan dahsyat (ini persis seperti bagaimana Deep Blue bisa memenangkan pertarungan catur melawan Kasparov). Namun AI kemungkinan sukar untuk mereplikasi “dunia manusia” dalam arti kompleksitas relasi dan medan sosialnya. Chick Corea menjadi musisi besar bukan semata-mata karena kemampuan teknis bermusiknya, tetapi juga kemampuannya dalam menempatkan diri di dunia manusia. AI juga tidak bisa menjelaskan kompleksitas fenomena seperti misalnya bagaimana seorang Bob Dylan, dengan kualitas vokal yang tidak istimewa, kemudian menjadi mendunia atau bagaimana musik punk, dengan hanya tiga akor, dapat menjadi musik yang berkembang menjadi sub-kultur. Hal ini tentu dapat ditarik ke wilayah non-seni seperti misalnya sains. Dalam paradigma tertentu, sains mengalami perkembangan bukan sebatas dari temuan-temuannya saja, tetapi juga bagaimana temuan tersebut diterima dalam “komunitas saintis”. Dunia manusia dengan segala penafsiran dan pemaknaan kolektifnya - terhubung dengan aspek sosio-historis-kultural -, kelihatannya masih jauh untuk direplikasi oleh AI.
Dalam kaitannya dengan datakrasi, pertama, konsep ini tetap mensyaratkan adanya kekuasaan yang berwenang karena kepemilikannya atas sistem data dan algoritma itu sendiri. Artinya, datakrasi sukar untuk dibayangkan “bebas nilai” dan bahkan sangat dipengaruhi oleh kepentingan yang sangat besar. Kedua, apa yang tercatat sebagai data dan jejak digital, tidak bisa dikatakan sepenuhnya sebagai fakta karena kenyataan bahwa manusia masih punya kemampuan untuk melakukan daya pertimbangan. Misalnya, jika kita menulis kata “skincare” di aplikasi tertentu, tidak sama dengan bahwa kita benar-benar menggemari produk-produk “skincare”. Kita punya kapasitas untuk menuliskan itu secara acak, tanpa memiliki tendensi tertentu, dan bahkan cenderung bermain-main saja. Artinya, setidaknya dalam waktu dekat, datakrasi masih berbahaya jika diadopsi menggantikan demokrasi untuk kemudian dibaca sebagai “kehendak umum”.
Daftar Referensi
Kurzweil, Ray. (1999). The Age of Spiritual Machines: When Computers Exceed Human Intelligence. New York: Viking Penguin.
McGinn, Colin (3 January 1999). "Hello, HAL". The New York Times. Searle, John. (1990a), "Is the Brain's Mind a Computer Program?", Scientific American, vol. 262 no. 1, pp. 26–31.
Wilson, Stephen. (2002). Information Arts: Intersection of Arts, Science, and Technology. Massachusetts: MIT Press.
Comments
Post a Comment