Kira-kira sejak minggu ketiga Juni, istri dan saya dinyatakan positif terkena virus SARS-CoV-2 atau lebih dikenal dengan COVID-19. Awal-awal badan mulai terasa kurang sehat, saya tidak langsung was-was bahwa ini adalah gejala yang berhubungan dengan COVID-19. Sekitar tiga hari sejak masa-masa kurang enak badan itu, saya sadar indera perasa hilang saat minum kopi. Besoknya, saya tidak bisa mencium bau kayu putih sama sekali dan akhirnya memutuskan untuk tes PCR. Hasilnya sudah bisa kami duga, bahwa kami terkena virus yang sedang marak tersebut. Bagi saya yang memiliki komorbid, dampak virus ini cukup serius. Setiap harinya, ada saja hal yang tidak mengenakkan mulai dari pegal-pegal, demam tinggi, batuk-batuk hampir sepanjang hari, kehilangan indra pengecap dan penciuman sehingga kurang berselera untuk makan, hingga saturasi yang naik turun (meski tidak sampai terlalu rendah).
Akhirnya masa-masa sulit itu dilewati selama kurang lebih dua minggu dan kami sekarang sudah berkegiatan normal kembali. Pandemi gelombang kedua ini memang terasa lebih serius, mengingat selain kami sendiri yang dinyatakan positif, teman-teman dan saudara dekat juga mengalami infeksi. Kepanikan orang-orang dalam mencari oksigen, toa masjid yang sehari hingga beberapa kali mengumumkan inna lillahi, hingga pengetatan kegiatan di mana-mana, kian menambah suasana mencekam. Sebelumnya, meski sadar akan bahaya pandemi, tetapi rasanya agak jauh dan ada sebersit pikiran bahwa virus ini tidak mungkin benar-benar menghinggapi kami.
Tentu ada hal yang patut direnungkan dari seluruh kejadian pandemi yang punya pengaruh sangat besar ini. Banyak orang mengeluh dan menyalahkan virus ini sebagai biang keladi lumpuhnya beraneka kegiatan dan wafatnya sejumlah orang dekat. Sikap semacam itu tentu wajar-wajar saja, tetapi tidak mengubah keadaan dan malah membuat runyam inti persoalannya. Menyalahkan virus justru menunjukkan bahwa manusia sama sekali tidak memandang seluruh persoalan dalam kerangka yang lebih luas. Virus ini bukanlah penyebab, tetapi bisa dilihat sebagai akibat. Akibat dari apa? Antroposentrisme yang kebablasan, yang merusak alam, sehingga virus ini bisa kita bayangkan hadir sebagai usaha alam dalam bertahan lebih lama dari eksploitasi manusia.
Hal tersebut ibarat orang-orang menyalahkan Adolf Hitler atas terjadinya Perang Dunia II. Padahal jika dilihat lebih luas, pokok persoalannya bukan pada sosok si Hitler itu. Hitler bukanlah sebab, melainkan akibat dari kebencian rasial yang panjang. Kalaupun bukan Hitler, mungkin ada sosok lain yang menggantikannya, yang mungkin saja, lebih brutal. Dalam arti kata lain, jika bukan melalui COVID-19, mungkin alam akan melakukan cara lain dalam merespons sikap manusia yang serakah.
Demikian, saya bukannya tidak berempati atas siapapun yang wafat di antara kita. Namun dalam kacamata keabadian, segalanya terjadi atas hukum alam yang tidak dapat ditolak. Saat segalanya berlangsung terlalu berat sebelah, akan ada usaha-usaha dari alam untuk menyeimbangkan dirinya, dengan cara apapun. Albert Camus mengatakan, "Apa itu wabah? Wabah adalah hidup, itu saja," ia seratus persen benar soal itu. Virus ini bukanlah suatu benda asing dari luar sana, melainkan bagian dari diri kita, yang berasal dari kita, dan kembali ke kita. Segala umpatan terhadap situasi pandemi, pada dasarnya adalah umpatan terhadap diri sendiri.
Sekarang mungkin istri dan saya sudah pulih, tetapi dosa-dosa industrial tetap melekat pada kami, yang dengan sembuhnya ini, mungkin akan kembali menjadikan alam sebagai objek untuk dieksploitasi.
Comments
Post a Comment