Ada pertanyaan yang kerap mengusik ketika saya mengunjungi suatu tempat, di manapun itu: manakah aspek yang paling representatif dari suatu tempat, sehingga saya sudah dapat dikatakan “pernah ke tempat itu”? Kalau kita ke Singapura misalnya, orang akan dengan mudah mengatakan: “Berkunjung ke Singapura tidak lengkap jika belum mengunjungi dan berfoto di Merlion.” Demikian halnya dengan ke Jakarta, mungkin kita dianggap sudah kesana jika sudah mengunjungi Monas. Namun bisa dikatakan, bahwa representasi dari suatu tempat biasanya berhubungan dengan ikon yang dikonstruksi sedemikian rupa agar memang “layak” untuk menjadi representasi. Representasi sebuah tempat seolah jangan dibiarkan untuk tampil apa adanya karena khawatir liar, banal, dan malah jadinya “kurang representatif”.
Kelihatannya apa yang menjadi kekhawatiran saya tersebut, adalah juga yang mengusik Barmen Simatupang saat melihat citra Kawah Ijen. Kawah Ijen, yang berlokasi di antara Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, kerap digambarkan sebagai tempat yang menghadirkan fenomena alam yaitu danau kawah dengan api biru abadi. Kawah Ijen memang indah dan dengan demikian agaknya menjadi wajar jika citra yang ditampilkannya juga indah-indah dengan berbagai pesona warna. Kalaupun ada manusia yang mengabadikan dirinya di hadapan Kawah Ijen, mereka sadar untuk tidak terlalu menonjol dibandingkan dengan kemegahan alam yang sudah dengan sendirinya berdiri di sana.
Barmen terusik karena seharusnya ada sisi lain yang tidak senaif ini dari Kawah Ijen. Segala yang indah-indah belum tentu ditopang oleh hal yang juga indah-indah, sebagaimana peradaban, dalam pandangan Sigmund Freud dalam Civilization and its Discontents, realitasnya ditopang oleh represi atas nafsu-nafsu dasariah yang dianggap “rendah dan hina”. Maka itu Barmen berangkat ke Ijen, bukan untuk memotret danau kawah dan api biru abadi, melainkan untuk menjawab pertanyaan yang sangat mengganggu: siapakah orang-orang di balik danau kawah dan api biru abadi itu?
Rupanya Barmen menemukan fenomena yang sama sekali lain. Di balik tampilan Kawah Ijen, ada buruh-buruh yang menyandarkan hidupnya dari mengangkut belerang. Buruh-buruh ini nasibnya bisa dikatakan mengkhawatirkan, tetapi kelihatannya tidak punya banyak pilihan untuk menyambung hidup dan hanya bisa menjadikan Kawah Ijen sebagai mata pencaharian. Buruh-buruh ini bekerja sepanjang hari dengan risiko sangat tinggi, yaitu berhadapan dengan uap belerang yang sangat kuat dan berpotensi merusak paru-paru. Upahnya, jangan ditanya, sangatlah kecil - seperti kata Barmen sendiri dalam wawancaranya dengan salah satu pekerja: “Yang penting cukup untuk mengatasi rasa lapar.” -.
Uniknya, Barmen tidak hanya mengabadikan momen-momen aktivitas buruh di Kawah Ijen secara “telanjang”, tetapi juga melibatkan diri dengan keseharian mereka, yang membuat foto-foto yang dipamerkan dalam pameran virtual ini nampak punya greget. Itu sebabnya, pameran ini jangan dipandang sebagai pameran “seni untuk seni” yang mencari keindahan fotografis di dalam dirinya sendiri. Wacana dan juga penarasian menjadi penting dan tidak terpisahkan agar apresiator bisa melebur bersama konteksnya.
Bagaimana buruh-buruh ini melakukan pekerjaan yang sama setiap hari, mengingatkan pada kisah Sisifus, raja dari Corinth yang dikutuk para dewa untuk mendorong batu besar hingga ke atas bukit. Setiap batu besar itu sampai ke atas bukit, ia bergulir lagi ke dasar, membuat Sisifus harus kembali ke kaki bukit untuk mendorongnya kembali dan itu berlangsung ad infinitum. Albert Camus menuangkan kisah Sisifus ini ke dalam esainya berjudul The Myth of Sisyphus (1942) untuk mengilustrasikan bagaimana absurditas hidup manusia yang melakukan sesuatu secara berulang-ulang tanpa pernah mampu untuk mengerti maksud dari hidup itu sendiri.
Sisifus memang melakukan sesuatu secara berulang-ulang tanpa ia mengerti, tetapi Camus memberi penghiburan dengan kalimat penutupnya yang terkenal: “Seseorang mesti membayangkan Sisifus bahagia.” Secara tindakan dan repetisi, ada kemiripan antara Sisifus dengan buruh-buruh di Kawah Ijen. Namun perbedaan krusialnya mungkin terletak di sini: adakah bahagia menjadi pilihan bagi buruh-buruh di Kawah Ijen? Atau jangan-jangan, mengutip hasil wawancara Barmen sendiri: “Kami tidak takut mati, kami takut lapar.”, kematian malah menjadi jalan menuju bahagia, oleh sebab hidup yang terlalu kejam?
Comments
Post a Comment