Setahun lebih pandemi Covid-19 berada di negeri kita dan belum juga ada tanda-tanda perbaikan keadaan. Bayangan kita bahwa pandemi akan berakhir di tahun 2021 ternyata tidak terbukti. Kita akhirnya menyadari bahwa virus memahami ruang dan waktu dengan cara yang berbeda sehingga bagi mereka, pergantian tahun tidak harus sama dengan pergantian keadaan. Bahkan sekarang ini, meski vaksin sudah tersedia, tetap sukar diperkirakan kapan pandemi ini benar-benar usai dan bahkan kita dihantui kemungkinan bahwa pandemi masih akan berlangsung hingga tahun-tahun ke depan.
Kehancuran yang terjadi akibat pandemi ini tidak hanya menyerang wilayah kesehatan, melainkan juga hampir di segala bidang termasuk pendidikan, ekonomi, dan kehidupan sosial. Berbagai harapan dan optimisme yang tadinya mampu memberi napas panjang di tengah kehidupan yang serba sulit ini, ternyata tidak membuahkan hasil sehingga orang mulai bertanya-tanya: apakah berpikir positif masih relevan? Apakah berharap terus menerus malah ujungnya melelahkan?
Hal yang “menarik” dari virus Covid-19 ini adalah persebarannya yang tidak pandang kelas sosial. Virus ini cenderung menjangkiti orang-orang yang diasumsikan lekat dengan kondisi sanitasi yang baik dan fasilitas kesehatan yang cukup seperti misalnya pejabat dan selebritas. Jika para pejabat dan selebritas tersebut kita anggap sebagai representasi dari kehidupan yang dicita-citakan oleh masyarakat urban-modern - sebut saja, posisi piramida tertinggi secara sosial, politik, maupun ekonomi -, lantas, dengan kenyataan bahwa mereka ternyata tidak kebal terhadap virus, bolehkah kita mempertanyakan ulang: apa artinya pencapaian-pencapaian itu? Apa artinya menjadi kaya dan berkuasa jika pada akhirnya tidak mampu lepas dari bahaya yang “elementer” seperti virus yang harusnya bisa dengan mudah dienyahkan oleh kondisi lingkungan yang diusahakan serba steril?
Mari tinggalkan perkara virus sejenak sebelum nanti kita kembali lagi pada topik tersebut: kekuasaan dan kekayaan, sebagaimana disimbolkan, misalnya, oleh keberadaan pejabat dan selebritas, merupakan impian dari kebanyakan orang yang kemudian menjadi bahan dagangan para motivator. Para motivator ini semacam “pengkhotbah sekuler” yang mengajak orang-orang untuk memfokuskan tujuan hidupnya pada satu hal: kebahagiaan berbasis kepemilikan material. Hampir di manapun kita melihat motivator tengah berkhotbah, mereka kerap memulainya dengan pertanyaan: Anda ingin kaya? Anda ingin sukses? Tidak ada masalah dari pertanyaan semacam itu sampai kita kemudian mendengar jawabannya yang nyaris klise, “Semuanya terletak pada pola pikir Anda! Jika Anda bersungguh-sungguh ingin sukses, pasti Anda akan sukses!”
Para motivator tampil dengan formula bahwa pola pikir adalah panacea atau obat bagi segala hal: kita tinggal berkonsentrasi penuh pada kesuksesan dan jika kita tidak berhasil mencapai apa yang disebut kesuksesan itu, artinya kita kurang sungguh-sungguh dalam memikirkannya! Implikasinya, orang-orang menjadi terbuai dengan pola pikir positif dan sikap optimistik tanpa menyelidiki masalah sesungguhnya dari mengapa orang tidak semudah itu bisa sukses. Misalnya, masalah struktural. Belum tentu orang yang gagal menjadi kaya disebabkan oleh kurangnya kerja keras dan kurangnya keinginan untuk menjadi kaya. Kenyataannya, banyak di antara kita yang pemalas dan kurang cerdas ternyata bisa mencapai kesuksesan lewat jalur-jalur yang memang telah disediakan (oleh sistem yang berpihak pada golongan tertentu).
Euforia yang serba motivasional tersebut ternyata memakan korban: orang-orang pesimis dianggap sebagai orang-orang yang tidak layak mempunyai tempat di dalam masyarakat yang bernafsu mengejar kesuksesan. Pesimisme merupakan penyakit menular yang jika kita dekat dengan orang-orang semacam itu, optimisme kita akan meluntur dan ikut dalam arus kemuraman yang kontraproduktif dengan semangat zaman. Benarkah seburuk itu orang-orang yang pesimistik – termasuk di antaranya juga orang-orang sinis dan skeptis – sehingga harus dikucilkan seperti pesakitan?
Sejarah filsafat mencatat seorang bernama Diogenes dari Sinop yang hidup antara tahun 400 – 300 SM yang dikenal sebagai penganut sinisme. Diogenes berpendapat bahwa kehidupan masyarakat adalah pertumbuhan artifisial yang bertentangan dengan prinsip kebahagiaan dan sudah seharusnya orang hidup meniru alam dengan segala kebersahajaannya. Atas prinsipnya tersebut, Diogenes kemudian memilih “hidup seperti anjing” dengan menggelandang dan tidur di tong. Diogenes hanya satu dari sekian banyak filsuf yang mempraktikkan sikap kurang antusias terhadap hingar bingar peradaban yang berorientasi kemajuan padahal tidak serta merta membawa pada kebahagiaan. Meski aliran pemikirannya tidak persis sama, namun orang-orang seperti Pyrrho dan Gorgias, Arthur Schopenhauer di masa Romantik, Albert Camus dan Emil Cioran dari abad ke-20, hingga aliran di Timur seperti ajaran Buddhisme, semuanya kurang lebih bermuara pada satu prinsip bahwa kita harus hati-hati terhadap berbagai narasi besar yang menawarkan kepastian lewat bujukan-bujukan material yang terbukti malah menciptakan kekosongan batin dan penderitaan.
Setidaknya, dengan berkaca pada pemikiran yang lalu tersebut, kita bisa mulai mempertimbangkan: apakah hidup yang motivasional dan optimistik adalah satu-satunya cara pandang terhadap hidup? Sebelum menjawabnya, penulis merasa perlu untuk menjernihkan dulu bahwa dalam konteks ini, ada dua jenis motivasi. Pertama, motivasi psikologis yang berkaitan dengan dorongan serta alasan untuk melakukan berbagai tindakan yang sifatnya alamiah. Misalnya, untuk kemudian orang memutuskan untuk tidur dan tidak melakukan apa-apa, sesedikit apapun, memerlukan motivasi psikologis. Kedua, motivasi artifisial yang bertalian dengan tujuan hidup yang diarahkan oleh kepentingan tertentu. Untuk jenis motivasi yang pertama, sukar untuk mengritisinya karena melatari nyaris seluruh tindakan kita. Jenis motivasi yang kedua ini yang kemudian bisa kita pertanyakan dalam kaitannya dengan kebahagiaan.
Kita bisa lihat bahwa motivasi artifisial ini bukanlah dibentuk oleh segelintir agen saja, melainkan berkembang secara sistemik. Misalnya, sejak kira-kira sepuluh tahun terakhir, profesi motivator bermunculan dengan berbagai dogma tentang pola pikir positif. Awalnya, profesi tersebut hanya memasuki korporasi tertentu untuk memompa semangat para pegawai. Motivator membuat para pegawai bekerja bukan semata-mata demi uang, tetapi untuk kesuksesan dalam arti luas, dan ini dimulai dari perubahan pola pikir. Para motivator kemudian meluaskan ajarannya tidak hanya pada ruang lingkup korporasi, melainkan dirumuskan sebagai falsafah hidup. Terbukti dari bagaimana motivator ini muncul di televisi, menyebarkan gagasan lewat meme digital, dan tampil melalui kanal-kanal Youtube.
Kemudian bermunculan juga buku-buku pengembangan diri dan self-help yang fenomenanya sebenarnya sudah dimulai sejak keberadaan buku Chicken Soup for the Soul tahun 1993. Selain itu, faktor yang tidak kalah krusial adalah kehadiran buku The Secret (2006) karya Rhonda Byrne yang terjual lebih dari 30 juta kopi dan diterjemahkan ke dalam 50 bahasa. The Secret, yang terinspirasi oleh buku tahun 1910 berjudul Science of Getting Rich yang ditulis oleh Wallace Wattles, mengajarkan hukum ketertarikan (law of attraction) yang prinsipnya adalah pemikiran positif akan juga menarik hal-hal positif bagi hidup. Jenis buku semacam ini tentu kompatibel dengan tidak hanya gagasan para motivator, tetapi juga prinsip kebahagiaan yang berbasiskan kepemilikan material. Pola pikir positif dianggap sejalan dengan produktivitas kerja dan keinginan untuk menumpuk kekayaan. Karl Marx kemungkinan akan menyebut ini sebagai alienasi karena membuat buruh yakin bahwa ia tidak sedang dieksploitasi padahal kesadarannya tengah disusupi. Lantas, ke mana gerangan gagasan tentang pesimisme, skeptisisme, ataupun sinisme, yang sebenarnya terus mengajarkan kita untuk tidak mudah percaya pada gagasan kosong tentang kemajuan? Lokasinya ada di “rak buku filsafat” dan mungkin hanya segelintir orang saja yang membacanya.
Kembali ke Persoalan Pandemi
Sekarang kita bisa tanyakan: apakah pola pikir positif, optimistik, dan motivasional (dalam konteks motivasi artifisial) masih relevan di tengah situasi pandemi yang kian tidak menentu ini? Kita lihat betapa banyak orang yang putus asa dan kehilangan harapan karena segala rencananya berantakan. Kita perhatikan betapa tidak bergunanya punya keyakinan bahwa pandemi akan berakhir di bulan sekian atau tahun sekian karena kenyataan yang tidak pernah sesuai. Singkatnya, masihkah hukum ketertarikan Rhonda Byrne dan beraneka gagasan dari Mario Teguh atau Merry Riana, berkhasiat mengusir pandemi yang meruntuhkan segala sendi kehidupan ini? Berpikir positif tentu harus, tetapi, mau sampai kapan? Tidakkah kita, pada titik tertentu, mesti jujur bahwa segala optimisme ini malah membuat kita capek?
Mungkin kita bisa melihat aspek sebaliknya dari pemikiran yang penuh motivasi, pada gagasan yang disebut dengan demotivasi. Demotivasi bukan pemikiran yang baru, melainkan rangkuman atau pengemasan ulang dari apa yang sudah digariskan oleh orang-orang seperti Diogenes, Pyrrho, Gorgias, Schopenhauer, Camus, Cioran dan juga Buddhisme. Istilah ini ada untuk mengeluarkan gagasan tentang pesimisme, sinisme, ataupun skeptisisme dari “rak buku filsafat” agar diterima secara lebih luas sebagai antitesis bagi ajaran tentang motivasi artifisial.
Demotivasi mencoba menempatkan kembali cara berpikir yang kurang antusias, tetapi juga sekaligus kritis dan realistis terhadap hidup. Demotivasi tidak tertarik pada narasi besar tentang kemajuan, tetapi lebih pada bagaimana menikmati kesementaraan dan kesekarangan - bahwa kita hidup untuk saat ini dan tidak perlu sibuk dengan pandangan jauh ke depan -. Demotivasi mengembalikan martabat orang-orang yang pikirannya dianggap negatif dan tidak sesuai dengan semangat kemajuan, padahal bisa jadi, mereka inilah yang “benar” - sebagaimana J.J. Rousseau juga mengungkapkan kemuakannya pada ide peradaban dengan segala rasionalitasnya yang menjauhkan manusia dari fitrahnya yang baik -. Demotivasi mengajarkan untuk hidup dari hari ke hari, dari pertemuan ke pertemuan, dari harapan kecil ke harapan kecil lainnya, dan menganggap bahwa apapun yang terjadi, toh ujung-ujungnya, kita semua akan sengsara dan mati.
Pertanyaannya, apakah demotivasi malah membawa kita pada fatalisme, kekosongan, dan bunuh diri ideologis? Tidak, selama kita pahami demotivasi sebagai cara untuk meninjau ulang motivasi artifisial dan menemukan motivasi sebenarnya dalam hidup. Kehidupan tidak mengarahkan kita untuk menumpuk kekayaan, melainkan mengejar kebahagiaan dengan segala kepenuhannya. Apa yang dimaksud dengan kepenuhan tersebut, tidak harus disetir oleh Rhonda Byrne atau Mario Teguh, melainkan mesti diserahkan pada masing-masing dari kita: hasil dari pergulatan batin yang melibatkan panggilan terdalam.
Pandemi mengajarkan kita bahwa ada jalan lain dalam berpikir dan bertindak, yang lebih sesuai dengan kondisi yang serba tidak pasti ini. Pada lanskap yang lebih luas, kita juga diajak untuk merenungkan: tidakkah di luar kondisi pandemi, memang hidup ini pada dasarnya tidak pasti? Jika motivasi (artifisial) tidak membuat kita menemukan jawaban, mungkin demotivasi akan lebih menggiring kita pada kebahagiaan.
Comments
Post a Comment