Skip to main content

Pulih

  Jalan beberapa hari jaga, saya mulai bosan. Rasanya berat sekali menunggui dagangan yang pembelinya terhitung sedikit. Lebih menderita lagi jika melihat barang dagangan sebelah lebih ramai dibeli. Hal yang menjadi hiburan adalah menulis terus menerus, supaya tidak terlihat bengong. Supaya tidak mati gaya.  Beberapa hari yang lalu, pas hari awal-awal saya mulai jaga, tiba-tiba saya punya keberanian untuk posting foto di Instagram. Setelah itu mulai merambah ke Facebook, lalu mulai semangat untuk posting sejumlah story di Instagram, mulai dari tentang jalannya kasus sejauh ini sampai kegiatan sehari-hari. Entah keberanian dari mana, tiba-tiba saya mem-posting story tentang tulisan-tulisan yang diturunkan dari berbagai website. Saya menuliskan, "Siapa yang mau tulisan saya? Gratis, akan saya kirimkan via e-mail". Ternyata banyak juga yang menginginkan tulisan-tulisan itu, ada lebih dari 90 orang.  Kemudian saya terpikir untuk membuat grup lagi, bersama orang-orang yang bisa di

Memotret Wellington: Paradoks Kota Antara yang Asing dan Bahagia

Memotret Wellington: Paradoks Kota Antara yang Asing dan Bahagia (Tulisan kuratorial untuk pameran fotografi virtual Barmen Simatupang)

Hal menarik dari perkotaan mungkin adalah ini: apapun yang kita katakan sebagai esensi sebuah kota, hal sebaliknya juga adalah benar. Artinya, kota bisa jadi adalah sesuatu yang tanpa esensi atau esensi dari perkotaan adalah serba paradoksnya. Jika kita katakan Jakarta sebagai kota yang megah dengan segala gedung tingginya, maka di waktu yang bersamaan, Jakarta juga benar jika kita katakan sebagai kota yang kumuh dengan segala bangunan rentan semi-permanen. Jika kita katakan Bandung sebagai kota yang cantik dengan segala taman kota dan citra Paris van Java-nya, Bandung juga benar jika kita katakan sebagai kota yang kian sesak tanpa diimbangi oleh penambahan infrastruktur.

Demikian halnya dalam konteks fotografi jalanan (perkotaan) yang dilakukan oleh Barmen Simatupang di Wellington, Selandia Baru. Dari foto ke foto, perasaan kita akan bercampur aduk karena beraneka representasi yang nampak tidak memiliki benang merah: dari mulai suasana pedesaan, kucing artifisial di tangga, orang bermain skateboard, hingga laki-laki dengan gaun biru dan wig pirang. Demikianlah mungkin cara kita membaca perkotaan: tanpa esensi, tanpa satu gagasan yang dianggap kunci untuk memahami keseluruhan. Wellington adalah keseluruhannya dari apa yang disebutkan ini: windy welly, wellywood, Te Whanganui-a-Tara, tempatnya orang-orang Māori, dan ibukota di posisi paling selatan di dunia.

Namun bagaimanapun, fotografer adalah juga manusia dengan segala subjektivitasnya. Barmen, yang menyebut sendiri keberadaannya di Wellington sebagai sesuatu yang penuh berkah dan patut disyukuri, menjadikan kota ini sebagai arena bermain. Terbayang bagaimana ia berjalan-jalan sambil tetap berjaga-jaga, mengantisipasi akan ada kejutan apa yang dihadirkan oleh kota ini, untuk kemudian diabadikan. Semuanya dibayangkan dalam suatu kegembiraan, sebagai penghargaan terhadap momentum itu sendiri. Barmen mungkin berhasil menyimpan momen dalam memori kameranya, tapi kenangan terindah tetap mengendap dalam memori tubuhnya.

Sebuah kota tetaplah sebuah kota. Kota dengan segala keterasingan dan keterpaksaan untuk mengisi batin secara artifisial (lewat hiburan dan kegiatan-kegiatan kultural). Meski Barmen mengatakan bahwa ini adalah kota yang damai dan menyenangkan, ia tetap tidak yakin bahwa jauh di kedalaman batinnya, orang-orang di Wellington ini berbahagia. Terlalu rumit untuk menelaah kebahagiaan orang lain di negeri orang, tetapi hal yang lebih penting di sini adalah posisi Barmen yang agak berbeda dengan saat ia memotret Ijen - di Ijen, Barmen harus tenggelam dan berempati -.

Di Wellington, Barmen mengakrabi kota, menyusuri jalan-jalan kecil di atas bukit, berdialog bersama warga, melebur bersama keseharian, tetapi tidak harus sampai “menjadi”. Ia tetap orang asing di tengah kota yang asing dengan segala keterasingannya. Justru agar berbahagia, penting baginya untuk tetap menghidupi tegangan (antara warga dan bukan warga).

kuratorial

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k