Ulasan Buku Kumpulan Kalimat Demotivasi oleh Gorivana Ageza (bahasinema.com)
"tapi buku yang tidak masuk akal dan menipu orang bukan buku bagus, kau tidak seharusnya membacanya … Apa kau harus bergantung pada buku ini untuk menipu dirimu sendiri agar berpikir kau akan sukses?"
―Ode to Joy, (Kong & Jian, 2016)
Qiu Ying-ying sontak naik pitam dan mengamuk ketika Andy menasehatinya agar berhenti membaca buku-buku motivasi sukses. Andy menyarankan sahabatnya itu untuk meredefinisi pemahamannya mengenai sukses, bahwa itu bukan hanya persoalan kekayaan dan status. Sementara itu bagi Ying-ying, mempertanyakan kesuksesan hanya mungkin bagi orang yang sudah mengecap kemapanan seperti Andy, bukan sosok yang ada di dalam titik terendah seperti dirinya. Akibat kebenaran menyakitkan yang dikatakan Andy, hubungan keduanya lantas bersitegang. Ying-ying menganggap Andy telah meremehkan pandangan dan preferensinya.
Penjual Harapan Palsu
"Kekosongan batin orang lain adalah sumber nafkah yang sangat besar. Ingat! Berapa banyak dari kita yang hidup dari menjual harapan?"
Kalimat sarkas itu dilontarkan Syarif Maulana dalam salah satu bagian bukunya yang berjudul Kumpulan Kalimat Demotivasi, terbit pertengahan 2020 lalu. Maulana dan buku setebal 84 halaman yang diterbitkan oleh Buruan & Co. ini mengingatkan saya pada sosok Andy. Keresahan Maulana dalam melihat “motivasi” sebagai produk dari industri harapan—termasuk muslihatnya mengenai kesuksesan—, saya kira, dirasakan tidak hanya oleh segelintir orang. Walaupun saya tidak yakin apa jumlahnya cukup berimbang dengan para pecandu motivasi dan pemburu “kesuksesan”.
Baik Maulana, maupun (tokoh fiktif bernama) Andy, sama-sama meyakini bahwa sebaik-baiknya harapan, itu tidak pernah lebih baik ketimbang menghadapi kenyataan; sehangat-hangatnya penghiburan, itu tetaplah mengandung dinginnya kekosongan. Dalam bab pembuka yang berjudul “Buddhisme sebagai Ajaran Demotivasi” misalnya, Maulana menunjukkan betapa semu dan ilusifnya “istana Sudhodana”. Hanya karena kita tidak mengetahui adanya penderitaan, tidak berarti bahwa penderitaan itu tidak ada. Siddharta Gautama baru dapat mengetahui kenyataan dan kebenaran―sekalipun itu menakutkan―ketika ia memutuskan keluar dari istana, berkelana, dan “membuka mata” terhadap dunia.
Ibarat memancing di air keruh, buku-buku motivasi dan sosok motivator memanfaatkan kondisi ketika seseorang berada pada situasi seperti yang dialami Ying-ying, tidak berdaya dan terpuruk. Penyembuhan yang ditawarkannya bukanlah diagnosa menyeluruh dan resep yang tepat, melainkan obat pereda nyeri yang membuat tubuh kita sesaat tidak mampu merasakan sakit. Padahal sumber penyakitnya sendiri jelas tidak hilang dan penderita tidak benar-benar sembuh.
Dalam salah satu bab bukunya, Maulana tanpa sungkan mengkritik seorang motivator kenamaan yang menjajakan acara “jalan emas” di televisi. Maulana membahas sebuah episode yang menayangkan adegan ketika sang motivator menghardik penonton yang bersikap realistis, serta berkelit dari pertanyaan pembawa acara mengenai ekspektasi rendah. “Jalan emas” ternyata tidak lebih dari keyakinan naif yang menyamakan percaya-akan-sukses dan percaya-sudah-sukses dengan kesuksesan. Seakan-akan tidak ada yang lebih penting ketimbang harapan yang membumbung tinggi.
Overdosis optimisme semacam itu—Maulana menyebutnya dengan ‘ilusi optimistik’—cenderung kontraproduktif dan justru beracun (toxic positivity). Seseorang diarahkan untuk menegasi emosinya sendiri, memaksakan diri untuk selalu bersikap optimis, dan kehilangan pijakan atas kenyataan. Hal itu masih ditambah lagi dengan penyeragaman dan standarisasi definisi kesuksesan. Di titik ini, alih-alih kenyataan, malah (overdosis) harapan yang menyeret kita ke jurang keputusasaan.
Extraordinary
Dengan mencantumkan tulisan panduan menghadapi hidup dengan biasa-biasa saja pada sampul bukunya, Maulana memberikan apresiasi pada hidup keseharian. Bahwasanya, menjadi “begitu-begitu saja” adalah kemewahan, dan bukannya kutukan. Saya rasa, menjadi ordinary people tidaklah buruk, bahkan tidaklah masuk akal jika semua orang berambisi menjadi extraordinary. Bila extraordinary bisa diraih semua orang, bukankah di saat bersamaan semuanya akan menjadi “ordinary”. Dan menjadi semakin mengada-ada jika menjadi sosok langka seperti itu dapat dicapai hanya dengan melahap (baca: membeli) buku-buku motivasi, yang jelas diproduksi massal sebagai “kunci jawaban untuk semua orang”.
Demotivasi dan ajakan Maulana untuk hidup biasa-biasa saja, secara paradoksal justru melahirkan kelegaan dan semangat. Ketika saya tahu bahwa manusia hanya “menjalani hari yang itu-itu juga” dan “masalah yang dihadapinya masih masalah yang lama dan itu-itu juga”, saya merasa tenang karena orang lain tidak jauh berbeda dari saya. Langkah saya menjadi lebih ringan karena membayangkan setiap orang pasti memiliki penderitaannya masing-masing, dan persis karena itu kita adalah “manusia”. Saya terhibur dengan kelakar (baca: pengantar) yang demikian jenaka dari Romo Setyo Wibowo, yang sekaligus pula memperkenalkan saya dengan sosok Shadoks. Beliau seperti mengingatkan saya bahwa kebijaksanaan dekat dengan kondisi kebersahajaan (“biasa-biasa saja”).
Buku ini memberikan perasaan semringah yang serupa dengan saat saya menyaksikan sebuah adegan pada serial Be Melodramatic (Lee Byeong Hun, 2019). Im Jin Joo, tokoh utama perempuan berumur 30 tahun—kebetulan tahun ini saya pun akan memasuki usia kepala 3—mengomentari celotehan adiknya yang masih duduk di perguruan tinggi. Si adik bertanya apakah seiring dengan pertambahan usia dia akhirnya akan memiliki uang. Im Jin Joo justru dengan nyinyir berkata bahwa orang biasa seperti mereka hingga usia tua pun tidak akan pernah memiliki uang lantaran ludes untuk membiayai keluarga, dan seumur hidup mesti menanggung beban cicilan.
Ketimbang mengiming-imingi khalayak dengan jalur emas―sebagaimana kejujuran Im Jin Joo―Maulana memilih untuk memberitahu kita bahwa tidak pernah ada rute yang selalu mulus, bahkan acap kali yang ada hanya jalan terjal berbatu. Menariknya, pada beberapa bab akhir buku Demotivasi suasana optimisme malah kian terasa. Melalui bahasan tentang humor, meme, masa lampau, pertemuan, dan panggilan, Maulana memperlihatkan bahwa keberlangsungan kehidupan sendiri adalah sebuah “kesuksesan yang perlu dirayakan dengan gelak tawa”. Setiap momen—sekalipun itu muram dan tidak menyenangkan—dalam pengalaman hidup seseorang tetaplah sesuatu yang berharga dan perlu diterima.
Sebagai penggemar serial kolosal Tiongkok, saya mengamini ungkapan yang kerap meluncur dari para pendekar dunia persilatan: obat mujarab terasa pahit. Walaupun pahit, demotivasi justru menyembuhkan dan “memperpanjang umur”. Dengan kata lain, demotivasi juga memiliki daya motivasi agar kita dapat melanjutkan hidup. Bila sama-sama perlu mengeluarkan uang untuk membeli buku―motivasi atau demotivasi―, bukankah rasanya akan lebih menguntungkan jika memilih buku bacaan seperti yang Andy katakan “masuk akal dan tidak menipu”?
Saya membayangkan, kira-kira seperti apa reaksi para pecandu buku motivasi jika membaca buku Demotivasi? Akankah mereka langsung tercerahkan, ataukah akan bersikap seperti Ying-ying yang membutuhkan waktu untuk menyadari kebenaran di balik perkataan Andy? Bagaimana bila: jangankan membaca dilirik pun tidak? Di sisi lain, saya bertanya-tanya, bagaimana jika buku Demotivasi cenderung hanya berkutat di kalangan para “pelahap” filsafat, yang pada dasarnya tidak hanya terbiasa menghadapi kenyataan dan bersikap skeptis, melainkan juga piawai mempertanyakan kebenaran. Semoga saja tidak begitu.
Comments
Post a Comment