BERFILSAFAT DENGAN SEMANGAT BERMUSIK
Sebelum intens berfilsafat dalam beberapa tahun belakangan ini, dapat dikatakan saya lebih serius mendalami bidang musik. Saya senang sekali bermain dan mengajar musik. Meski tidak bisa dikatakan sampai level profesional, tetapi ada masa-masa saya intens tampil di beberapa acara, setidaknya seminggu sekali. Dalam beberapa acara tersebut, saya mendapat uang yang menjadi tambahan bagi pekerjaan utama saya yang waktu itu lebih banyak sebagai dosen.
Kondisi pandemi sejak setahun terakhir ini membuat panggung musik tidak lagi ramai jika tidak bisa dikatakan kolaps. Ditambah lagi dengan aktivitas di wilayah filsafat yang semakin sering lewat Kelas Isolasi dan kuliah di STF Driyarkara, maka boleh dikatakan saya semakin jauh dari dunia musik. Padahal boleh dikatakan, kecintaan saya pada dunia musik itu tinggi sekali. Jika mesti dibandingkan mana yang lebih membahagiakan apakah dunia musik atau filsafat, saya akan dengan terang-terangan menjawab yang pertama.
Namun dalam perjalanan saya berfilsafat belakangan, saya kian menyadari bahwa dunia musik itu tidak sepenuhnya ditinggalkan. Menekuni musik sejak usia empat belas, saya kira tidak mungkin apa yang telah dipelajari dan dipraktekkan itu tidak benar-benar membekas setidaknya dalam memori tubuh saya. Sehingga setelah direnungkan, saya dapat menyimpulkan seperti ini: bahwa sisi bermusik saya tidak hilang sama sekali dan bahkan diterapkan dalam bagaimana cara saya berfilsafat ataupun berkiprah di dunia filsafat.
Meskipun susah untuk menyebutkan secara persis pengaruh-pengaruh itu karena tidak semuanya bisa dipikirkan melainkan hanya bisa dirasakan oleh diri sendiri, tetapi mungkin yang bisa dijabarkan adalah berikut ini: di bulan Ramadhan kemarin, Kelas Isolasi mengadakan kegiatan Filsafat Tujuh Menit disingkat filtum. Memang ide ini hasil rembukan kami semua, meniru kegiatan kultum atau Kuliah Tujuh Menit yang biasa diselenggarakan dalam konteks ceramah keislaman. Namun ide ini tidak sukar untuk saya terima dan eksekusi karena ingat bahwa sekitar enam atau tujuh tahun silam, saya beberapa kali terlibat dalam program yang diinisiasi oleh pemain biola Ammy Kurniawan berjudul Musik Lima Belas Menit. Idenya kurang lebih sama. Ini adalah tentang momentum dalam menyampaikan sesuatu. Segala sesuatu menjadi berharga bukan karena berlangsung lama, melainkan justru karena hanya sebentar. Dalam waktu yang sebentar itu, apa yang dihadirkan jadinya harus langsung berkesan.
Kemudian contoh lain adalah ketika Philofest 2020 lalu saat saya kebetulan dipercaya menjadi ketua pelaksana. Saya tidak tahu apakah mereka yang menonton festival ini menganggap Philofest menarik atau tidak, tetapi saya berusaha untuk membuat alur dan tampilannya lebih seperti festival musik alih-alih festival filsafat. Artinya, hal-hal seperti desain visual, bumper, keberadaan hiburan, dan berbagai kejutan lainnya, seperti memasukkan acara tambahan di tengah festival ataupun membiarkan keberadaan orang-orang yang berkomentar menghibur untuk membuat “panggung sendiri” (mungkin penonton Philofest ada yang ingat nama Warsono Hadisubroto), adalah hal yang dianggap penting, sama pentingnya dengan konten filsafat itu sendiri.
Hal yang dirasakan lainnya adalah bagaimana Kelas Isolasi, menurut saya, dijalankan dengan penuh improvisasi. Kami berjalan dari minggu ke minggu tanpa rancangan serius dan mengalir begitu saja. Ide-ide kerap berdatangan secara spontan dan untungnya teman-teman di tim berminat untuk mengeksekusinya (meski kadang terdengar aneh dan absurd). Ini mengingatkan pada bagaimana panggung musik, yang seringkali tidak perlu dipersiapkan secara secara serius lewat latihan berkepanjangan, tetapi cukup mengerti beberapa kode umum sebelum langsung tampil saja secara spontan mengandalkan kemampuan berimprovisasi. Lewat hal-hal yang langsung semacam itu, ada “ketidakpastian yang menyenangkan”, semacam gairah dan sensasi yang tidak hanya dirasakan oleh kita saja yang bermusik, tetapi kelihatannya sampai juga pada audiens.
Kemudian peran moderator, dalam pandangan saya, adalah sentral dalam diskusi filsafat karena ia bukan hanya mempersilahkan pembicara untuk presentasi dan kemudian membacakan pertanyaan dari audiens, tetapi lebih daripada itu: moderator adalah ibarat pemain ritem, ia menjadi faktor penting agar pemain melodi (atau dalam diskusi bisa dikatakan, si pembicara) bisa menampilkan not-not atau nada-nada dengan nyaman. Di sisi lain, moderator adalah si pemain melodi itu sendiri, yang harus tahu porsi: kapan ia pamer kehebatan dan kapan ia secara sepoi-sepoi meniupkan kekuatan.
Pada titik itu, saya merasa gembira karena sadar bahwa saya tidak benar-benar meninggalkan dunia musik, tetapi “memindahkan” semangatnya ke dalam dunia filsafat (meskipun argumentasi di atas tentu ada upaya menghibur diri saya yang kian jarang bermusik). Pada akhirnya, apapun itu, mungkin tidak penting lagi mana dunia musik dan mana dunia filsafat, sepanjang apa yang diperbuat itu dilakukan dengan penuh gairah dan tanggung jawab.
Comments
Post a Comment