Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gramsci, salah sat

Hidup untuk Menulis

Menulis memang sudah menjadi hobi sejak lama. Namun rasanya tidak pernah terpikirkan bahwa saya akan benar-benar hidup dari sini. Saya pernah hidup dari musik, mengajar sebagai dosen, dan saya pikir dua hal itulah yang akan menjadi sumber penghidupan hingga ke depannya. Sejak tidak lagi bekerja sebagai dosen tetap mulai tahun 2017, pekerjaan saya tidak pernah ada yang stabil. Memang saya bekerja di beberapa universitas, tapi hanya sebagai pengajar honorer saja. Di masa-masa itu, saya melamar ke berbagai perusahaan yang membutuhkan jasa penulisan dan rasanya saya sudah mencicipi beragam jenis pekerjaan menulis.

hidup untuk menulis, menulis

Misalnya, saya pernah bekerja sebagai penulis berita olahraga dengan honor Rp4.000 per berita dengan jumlah 300 kata. Bahkan saya juga pernah menulis untuk rumah judi online, dengan honor lebih rendah lagi yaitu Rp3.500 per artikel yang isinya adalah prediksi pertandingan. Honor yang lumayan adalah ketika tulisan saya dimuat oleh sebuah kanal media populer, di situ saya mendapat Rp 250.000 hingga Rp 500.000 per artikel. Meski demikian, untuk dimuat di kanal tersebut tidak bisa terlalu sering. Paling hanya bisa dua atau tiga kali per bulan.

Sampai akhirnya saya berusaha mengurangi ketergantungan menulis untuk pihak lain dan mengupayakan agar blog sendiri bisa dimonetisasi. Ternyata untuk bisa memonetisasi blog itu sulit sekali apalagi jika kontennya kebanyakan adalah tulisan-tulisan yang agak serius.

Kemudian saat benar-benar kebingungan karena berbagai pekerjaan menulis tersebut tidak cukup untuk kehidupan sehari-hari – sementara ya saya bisanya cuma menulis -, akhirnya saya memutuskan untuk menulis buku ringan yang bisa dijual cepat. Lahirlah buku Kumpulan Kalimat Demotivasi (2020) yang ditulis hanya dalam 1,5 bulan tetapi lumayan bisa terjual cukup banyak (untuk ukuran saya, tentunya). Kelihatannya sejak momentum Demotivasi tersebut, mulai berdatangan satu per satu tawaran menulis, mulai dari membuat caption media sosial, visi misi dan profil perusahaan, sampai beraneka artikel dari mulai populer sampai ilmiah. Ada juga tawaran untuk menerjemahkan buku seni rupa, menuliskan biografi, hingga sebuah penerbit mayor meminta untuk menuliskan buku yang akan diterbitkan dengan biaya dari mereka (waktu itu agak heran, karena selama ini saya mencetak buku dengan biaya sendiri).

Sekarang, hidup saya ya cuma menulis. Setiap harinya punya target untuk menggarap dan menyelesaikan tulisan. Dipikir-pikir, ini sudah bukan lagi jadi pekerjaan paruh waktu, tetapi sudah tidak ada bedanya dengan kerja kantoran yang perlu kedisiplinan dan berorientasi target. Apalagi, di antara tenggat-tenggat itu, terkadang ada saja yang mengundang diskusi yang membuat saya perlu menyiapkan materi presentasi. Belum lagi kesibukan Kelas Isolasi yang memerlukan beraneka caption, slide, dan paper.

Pesan moralnya mungkin adalah ini: Pertama, hidup dari menulis adalah buah dari kegiatan menulis terus menerus, yang seringkali melewati beraneka penderitaan dan perasaan ragu akan kemampuan diri sendiri. Saat tulisan saya terus menerus dihargai ribuan perak, sempat saya hampir menyerah: benarkah menulis hanya pantas menjadi batu loncatan untuk sekadar menyambung hidup tanpa harus bermimpi kelak punya uang banyak dari sini? Ternyata, setelah melewati kegalauan seamcam itu, perlahan-lahan kondisi kian membaik dan menulis tidak lagi hanya untuk "kopi dan rokok".

Kedua, menulis adalah kemampuan yang bisa dipunyai banyak orang, berbeda dengan misalnya, bermain musik atau menari. Maka itu, persaingan dalam dunia tulis menulis adalah begitu ketat. Namun di sisi lain, dengan banyaknya orang yang menulis, justru lebih mudah untuk membandingkan kualitas satu dengan yang lainnya. Saya ingat pesan guru musik saya dulu, bahwa gitar adalah instrumen yang mudah dimainkan secara jelek. Artinya, bermain gitar itu mudah, tetapi memainkannya secara jelek juga mudah. Dengan demikian, jika tulisan kita bermutu dan punya kekhasan, maka kita akan tampak lebih menonjol karena berhasil dalam persaingan yang ramai. Bagaimana agar tulisan menjadi bermutu dan punya kekhasan, jawabannya adalah kembali ke poin pertama: teruslah menulis, meski keadaan terus memburuk.

Tentu tips-tips di atas bukan berarti tulisan saya ini sudah bagus. Apa yang ingin saya katakan adalah pertama, hidup dari menulis itu adalah mungkin dan kedua, hidup dari menulis itu, bagi saya, keren sekali.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat