Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gramsci, salah sat

Gin

GIN

Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran.

Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan.

Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat ia tampak seperti orang yang berpikir sendirian. Saya ajaklah Gin ke Tobucil, tempat nongkrong saya dan teman-teman waktu itu, ngobrolin macam-macam dan salah satunya adalah filsafat. Gin nampak senang berada di sana dan ia bergaul cepat sekali.

Terus terang saya kurang ingat apa-apa saja yang terjadi di antara itu. Bahkan saya perlu diingatkan lewat tulisan seorang kawan, Ping Setiadi, yang mengatakan bahwa Gin pernah bantu-bantu di rumah, merapikan perpustakaan milik bapak di Jalan Rebana. Saya juga lupa-lupa ingat bahwa Gin ternyata pernah bekerja di Tobucil sebagai kasir. Namun hal yang pasti saya ingat adalah keberadaan Gin di tempat nongkrong kami di kedai Amor Fati dan rumah kontrakan Cikutra Baru. Gin seperti biasa, ada di sana dengan celetukan-celetukan jenakanya.

Suatu hari, saya membaca status Gin tentang keinginannya untuk membuat kelas sendiri dengan sistem berbayar. Tentu ini adalah inisiatif yang bagus dan saya tahu Gin punya kapasitas untuk mengajar. Saya segera kontak Gin dan membuka kemungkinan untuk diskusi bareng soal ini karena saya juga ada rencana membuat kelas dengan nama Kelas Insom atau kelas filsafat yang diadakan tengah malam. Kami sempat punya kata sepakat dan akhirnya membuat Whatsapp Group.

Sayang sekali, di sana terjadi perselisihan yang garis besarnya adalah soal siapa yang harus mengurus administrasi bagi pengadaan laptop untuk kepentingan kelas. Gin menolak, karena khawatir ia jadi terkena dampak jika terjadi keterlambatan pembayaran. Sementara saya bersikeras bahwa Gin mesti mengurus administrasi karena saya dan teman saya sudah sepakat untuk membayar laptopnya dengan cara mencicil. Kejadian itu terjadi sekitar bulan Mei 2020 atau hampir setahun dari sejak saya menulis ini. Sejak kejadian itu, kami tidak berbicara sama sekali, bahkan via Whatsapp sekalipun.

Beberapa hari lalu, saya mendengar kabar bahwa Gin meninggal dunia. Bagaimana ia meninggal, masih ditelaah, tapi dugaan sementara adalah bunuh diri. Apa yang memicunya, saya tidak tahu, ada banyak versi mulai dari masalah orangtua, masalah kejiwaan Gin sendiri, hingga soal judul skripsinya yang tidak kunjung disetujui. Saya sedih sekali karena tidak yakin di belakang sikap cuek dan pesimistiknya, ia ternyata punya niat untuk mengakhiri hidupnya. Iya, kami berbagi soal eksistensialisme, nihilisme, absurdisme, hingga demotivasi, tetapi tidak percaya pemikiran-pemikiran semacam itu membuatnya tenggelam pada keinginan untuk bunuh diri. Saya kira, beraneka pemikiran yang disebutkan di atas, mestinya membuat kita bergairah menghadapi hidup, karena makna hidup hanya berasal dari kemampuan kita dalam memaknainya!

Namun sudahlah, Gin, saya hargai keinginan Gin karena kadang, jika kita mau kritis, memangnya apa poin orang mencegah bunuh diri jika si pencegah itu sendiri tidak bisa membantu persoalan Gin. Orang tidak bisa hanya dengan mengatakan "jangan mati", tetapi dia sendiri tidak punya solusi atas persoalan Gin. Bahkan bisa jadi orang yang mencegah bunuh diri itu egois sekali, ia hanya memikirkan dirinya sendiri, takut ia jadi sedih, takut ia jadi menyesal.

Duh, sudahlah, pikiran kritis semacam itu kadang tidak diperlukan lagi, Gin. Di alam sana, segalanya mungkin lebih pasti dan tidak usah diperdebatkan lagi. Di sanalah ketenangan sesungguhnya, Gin.

Gin
Gambar diambil dari Facebook Gin Gumilang

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k