Skip to main content

Pulih

  Jalan beberapa hari jaga, saya mulai bosan. Rasanya berat sekali menunggui dagangan yang pembelinya terhitung sedikit. Lebih menderita lagi jika melihat barang dagangan sebelah lebih ramai dibeli. Hal yang menjadi hiburan adalah menulis terus menerus, supaya tidak terlihat bengong. Supaya tidak mati gaya.  Beberapa hari yang lalu, pas hari awal-awal saya mulai jaga, tiba-tiba saya punya keberanian untuk posting foto di Instagram. Setelah itu mulai merambah ke Facebook, lalu mulai semangat untuk posting sejumlah story di Instagram, mulai dari tentang jalannya kasus sejauh ini sampai kegiatan sehari-hari. Entah keberanian dari mana, tiba-tiba saya mem-posting story tentang tulisan-tulisan yang diturunkan dari berbagai website. Saya menuliskan, "Siapa yang mau tulisan saya? Gratis, akan saya kirimkan via e-mail". Ternyata banyak juga yang menginginkan tulisan-tulisan itu, ada lebih dari 90 orang.  Kemudian saya terpikir untuk membuat grup lagi, bersama orang-orang yang bisa di

Philofest ID, Pencapaian yang Hakiki


Pada tanggal 7 - 13 Desember lalu, kami mengadakan semacam acara. Kami yang dimaksud adalah sejumlah komunitas pengkaji filsafat di Indonesia, dan acara yang dimaksud adalah festival filsafat bernama Philofest ID. Inisiasi ini dilakukan sekitar tiga bulan sebelumnya, dan saya bisa katakan bahwa semuanya berlangsung hampir bersamaan, seolah-olah sudah menjadi kegelisahan bersama. Saat Kelas Isolasi menjelang edisi ke-100, Nino dan saya memutuskan untuk mengisi materi kelas dengan ajakan kolaborasi dengan berbagai komunitas seperti Schole ID, Akademi Aliarcham, Ze-No Centre for Logic and Metaphysics, LSF Discourse, dan Komunitas Mikir. Ide ini kemudian saya bicarakan dengan Martin Suryajaya dan dia menyambut dengan begitu antusias. Katanya, ia juga sudah memikirkan bahwa ekosistem filsafat harus dibenahi dengan saling berkolaborasi. Bahkan alangkah lebih baik jika medan sosial filsafat juga seperti sastra, punya berbagai sayembara, penghargaan, dan festival.

Hampir bersamaan dengan itu pula, Romo Albertus Joni mengontak Kelas Isolasi lewat DM Instagram dan mengajak kami untuk bergabung dalam sebuah WA group bernama Mikir-Mikir, yang isinya sudah ada beberapa orang perwakilan dari Schole ID, Logos ID, LSF Discourse, Betang Filsafat, A Being is Asking dan Idesnacks. Semua peristiwa tersebut akhirnya mengerucut pada kesimpulan bahwa kita semua mesti berkolaborasi dan momen pandemi ini adalah saat yang tepat karena acara filsafat dapat digelar secara daring - sehingga tidak perlu mengeluarkan biaya besar -. Awalnya, kami berencana membuat semacam website terpadu, yang isinya adalah semacam portal informasi terkait dunia filsafat di Indonesia. Namun akhirnya kami memutuskan untuk mengadakan sebuah festival daring selama seminggu (ide awalnya hanya tiga hari). Nama festivalnya, setelah hasil voting, maka mengerucut pada dua: Philofest ID dan Biennale Filsafat Indonesia. Namun karena Biennale Filsafat Indonesia, dari segi namanya, berimplikasi pada penyelenggaraan dua tahunan, maka forum memutuskan sebagai berikut: tahun 2020 akan diadakan Philofest ID sebagai "pemanasan" dan mulai tahun 2021, akan diselenggarakan Biennale Filsafat Indonesia, begitu seterusnya per dua tahun. Forum juga kemudian mempercayakan saya untuk menjadi ketua panitia Philofest ID 2020, hal yang saya bayangkan akan sangat melelahkan dan menguras tenaga. Saya memutuskan untuk mengemban tugas ini hanya karena saya pikir, tidak ada lagi orang yang akan mau melakukannya.

Komunitas yang terlibat dalam penyelenggaraan ini awalnya ada sebelas komunitas dari sejumlah daerah di Indonesia yaitu Schole ID (Jakarta), Logos ID (Jakarta), Ze-No Centre for Logic and Metaphysics (Yogyakarta), A Being is Asking (Jakarta), Betang Filsafat (Pontianak), Ideasnacks (Jakarta), LSF Discourse (Malang), LSF Cogito (Yogyakarta), Masyarakat Filsafat Indonesia (Jakarta), Antinomi (Yogyakarta) dan Kelas Isolasi (Bandung). Namun pada akhirnya, jumlah penyelenggara menjadi sepuluh karena satu dan lain hal, Ideascnacks tidak lagi terlibat. Pertanyaan yang paling sering muncul adalah terkait dana. Iya, Philofest ID diselenggarakan tanpa sponsor dan hanya mengandalkan donasi jemaat yang dikumpulkan oleh Romo Albertus Joni. Terkumpul uang sekitar 33 juta rupiah dan digunakan sepenuhnya untuk kepentingan operasional acara seperti misalnya sewa tempat untuk server, transportasi dan akomodasi panitia lapangan, serta honor bagi beberapa pembicara. Saya sendiri, selama penyelenggaraan Philofest ID, tinggal di Jakarta suntuk memudahkan koordinasi dengan kawan-kawan seperti Martin Suryajaya, Samuel Jonathan, Amadea Svastika, Immanuela Chyndi, Yogie Pranowo, Adha Gozali, Nathanael Pribady, Alexander Aur, Harristio Adam, dan lainnya. 

Isi acara Philofest ID, sebagaimana kita ketahui, terdiri dari kuliah umum, debat, bedah karya, diskusi, dan forum yang isinya terdapat berbagai komunitas, penerbit, dan para presenter gagasan. Mungkin, hal yang menarik dari festival ini pertama, kami mengajak sejumlah komunitas filsafat yang selama ini cukup aktif menggelar diskusi, dan hal tersebut menjadi bagian dari perhatian kami terhadap gerakan filsafat di "alam liar" - artinya, filsafat tidak hanya terbatas di kampus-kampus saja -. Kedua, dengan tema yang diusulkan oleh Martin, yaitu "Dunia Setelah Pandemi: Filsafat dari Masa Depan", kami juga mengajak orang-orang untuk merespons wacana tersebut melalui artikel dan presentasi. Ketiga, program Polemik Filsafat, yang berisi debat atau adu gagasan, ternyata begitu digemari. Orang-orang senang melihat bagaimana keilmuan diperdebatkan dan jangan-jangan tradisi semacam itu sudah makin kabur di dunia pendidikan tinggi kita. Oia, saya harus memberi kredit pada Martin yang mampu menyelesaikan puluhan TOR Polemik Filsafat hanya dalam semalam! 

Philofest ID, meski dilakukan dengan cukup berdarah-darah (terutama karena semuanya serba mepet dan diselenggarakan untuk pertama kali), tetapi hasilnya sepertinya lumayan baik untuk sebuah festival filsafat perdana yang melibatkan cukup banyak pengisi acara (jika tidak bisa dikatakan paling banyak dalam sejarah penyelenggaraan kegiatan filsafat di Indonesia). Barometer yang bisa digunakan untuk mengukur keberhasilan mungkin bisa dengan melihat jumlah penonton di Youtube dan juga kenyataan bahwa kami semua memutuskan Philofest ID diselenggarakan kembali tahun 2021 di Malang. Jadinya, karena sudah terlanjur Philofest ID ini cukup menimbulkan kesan, maka ide tentang Biennale Filsafat Indonesia kelihatannya tidak akan dilanjutkan dan ke depannya, nama Philofest ID saja yang akan dipakai. 

Terakhir, saya akan menuliskan kesan-kesan saya dalam "mengatur" para filsuf (sebut saja begitu, untuk memudahkan). Saya kira ini pengalaman luar biasa karena para filsuf ini tentulah orang-orang kritis yang tidak bisa begitu saja diinstruksikan macam-macam. Hal terpenting adalah senantiasa melakukan adaptasi dalam berkomunikasi: Bicara dengan Banin Diar Sukmono, tentu berbeda dengan Amadea Svastika; bicara dengan Martin Suryajaya, tentu berbeda dengan Nathanael Pribady, dan seterusnya. Mereka harus dibiarkan untuk aktif berkontribusi sesuai dengan porsinya saja - tidak perlu dipaksakan harus sesuai job description -. Jika yang bisa dilakukannya hanya mengontak pengisi acara, maka biarkan itu dilakukan dengan sebaik-baiknya dan beri mereka rasa nyaman untuk mengerjakannya. Karena ini hal yang positif dari para filsuf saat mereka menjadi panitia: Mereka setidaknya punya semacam tanggung jawab etis, bahwa semua ini mesti dilakukan demi suatu kebaikan yang lebih besar, yaitu agar filsafat diterima publik lebih luas. Artinya, para filsuf ini tidak akan berlaku curang atau tiba-tiba meninggalkan tanggung jawab, karena ada ikatan kuat terhadap filsafat yang "membesarkan" kita semua. 

Saya pribadi senang sekali. Sudah lama memang saya ketagihan membuat acara, yang sebagian besar di antaranya adalah acara musik klasik. Tidak jarang saya mengerjakan konser-konser itu dengan tenaga bantuan yang minim, dan ruang lingkupnya luas dari mulai mengerjakan poster, menjadi MC, mengantar jemput pengisi acara, mencari sponsor, hingga dalam beberapa konser malah saya mesti ikutan tampil! Hal-hal yang saya kira tidak akan pernah menjadi apa-apa, kecuali hanya kesenangan (dan kelelahan) pribadi itu, akhirnya menemukan jalannya. Philofest ID bagi saya sendiri, merupakan pencapaian yang hakiki: akumulasi dari berbagai kegiatan yang seringkali dikerjakan dengan susah payah, entah untuk apa, yang penting terus dilakukan saja. 
   

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k