Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...

Jika Kata Anjay Dilarang ...

Beberapa hari belakangan ini, netizen dihebohkan (iya, memang hanya netizen yang sering merasa heboh, orang di luar jaringan, kelihatannya, biasa-biasa saja tuh) oleh larangan kata "anjay" yang dikeluarkan oleh Komnas PA, berdasarkan "aduan masyarakat" - yang jika ditarik, bermula dari aduan Lutfi Agizal (semacam figur publik yang saya tidak tahu karena saya kurang gaul) -. Tentu saja, kritik muncul di mana-mana, karena, mengapa ucapan harus dilarang, meski katanya kasar? Jika ditilik-tilik, apakah memang iya, kata "anjay" itu kasar? Lalu, jika larangan tersebut benar-benar diberlakukan dan sifatnya mengikat secara hukum, kira-kira apa yang bakal terjadi pada masyarakat kita?

Gambar diambil dari sini.
Gambar diambil dari sini.


Saya tiba-tiba ingat film tahun 2010 berjudul The King's Speech yang bercerita tentang Raja George VI yang gagap. Kegagapannya ini tentu saja menjadi masalah bagi seorang raja yang harus sering bicara di hadapan publik. Apalagi, konteks Raja George VI adalah di masa Perang Dunia II, di mana ucapan-ucapan raja menjadi krusial untuk menenangkan rakyatnya. Raja George VI kemudian merekrut Lionel Logue, semacam pelatih bicara, untuk membantunya. Salah satu hal yang saya ingat dalam film itu adalah bagaimana Logue kemudian menggali masa kecil Raja George VI, untuk berusaha menemukan penyebab kegagapannya. Protokol kerajaan yang dianggap terlalu ketat adalah salah satu sumbernya. Raja George VI sebenarnya kidal, namun dipaksa untuk selalu menggunakan tangan kanan atas nama aturan kerajaan dan satu lagi, hampir sepanjang hidupnya, ia tidak pernah diperbolehkan berkata kasar (karena tentu saja, dianggap tidak pantas di lingkungan kerajaan). 

Logue, sebagai seorang pelatih berpengalaman, menganggap hal terakhir tersebut sebagai salah satu penyebab yang cukup krusial, sehingga dalam satu sesi, ia mempersilakan raja untuk berkata-kata kasar sepuasnya. Dalam perkembangannya, sejak raja punya sesi untuk bebas berkata kasar, gagapnya semakin lama semakin berkurang dan ia semakin percaya diri untuk berpidato (gagapnya hanya muncul sesekali saja dan tidak sering seperti sebelumnya).

Berkata kasar mungkin tidak sesederhana yang kita bayangkan, apalagi untuk langsung dilarang-larang. Psikoanalis terkemuka, Sigmund Freud, mengajukan kemungkinan adanya wilayah bawah sadar kita yang gelap, dalam, dan sangat instingtif. Wilayah bawah sadar ini, bagi Freud, mengontrol tindakan kita lebih banyak ketimbang aspek sadar kita sendiri. Setiap orang, tanpa terkecuali, punya sisi bawah sadar yang dipenuhi hasrat ini, yang bedanya adalah ini: Ada yang tersalurkan dan ada yang tidak. Tersalurkan itu kira-kira maksudnya: dapat bertindak sesuai kehendak - meski tidak dalam segala kondisi - sebagai cara untuk menyalurkan keinstingtifan yang keberadaannya tak terhindarkan. Contohnya: ada momen untuk bisa marah-marah, menangis, mengumpat, curhat, dan ekspresi jujur lainnya. Sebaliknya, tidak tersalurkan itu kira-kira adalah ketiadaan kemungkinan untuk mengekspresikan hasrat bawah sadar karena terepresi oleh keadaan. Contohnya: Berlaku terlampau dingin, kaku, dan formal, seolah-olah terlalu ekspresif itu menjadi agak memalukan. 

Terjawab kemudian mengapa ada kaitan antara gagapnya Raja George VI dengan dilarangnya ia berkata kasar dari sejak kecil hingga dewasa. Ada hasrat yang tidak tersalurkan, dan menyebabkan sejumlah "keganjilan" yang mengganggu di masa dewasanya - yang oleh Freud dapat juga berupa perilaku seksual yang tidak wajar seperti senang mengintip (voyeur) atau senang mempertontokan diri (eksibisionis) -. 

Maka itu, bersyukurlah mereka yang masih punya kesempatan berkata-kata seperti "anjing" di berbagai saluran. Seketika kita mengeluarkan kata tersebut, kita bukan saja sedang berkata kasar, tapi mengatakan sesuatu dari dasar batin yang terdalam, tentang kemuakan terhadap segala hal yang normatif. Mengatakan "anjing" adalah kelegaan yang membuat kita merasa hal-hal yang hasrati itu tersalurkan. Mengatakan "anjing" adalah simbol runtuhnya segala yang formal, dan menghadapkan kita pada situasi yang lebih cair, dinamis, dengan relasi personal yang lebih terbuka. 

Namun kata "anjing", dalam kebudayaan tertentu, terlalu berbahaya untuk diungkapkan secara terang-terangan - mungkin karena anjing dianggap hewan yang najis juga oleh ajaran tertentu -. Dengan demikian, kata seperti "anjrit", "anjir", atau "anjay", digunakan sebagai alternatif untuk menengahi antara hasrat individual dan kebudayaan (sungguh ini suatu kecerdasan yang hakiki). Jika kata, yang sudah sengaja dibuat secara kompromistis ini, kemudian tetap dilarang, maka apakah orang-orang di Komnas PA, atau Lutfi Agizal - yang entah siapa itu -, mau bertanggungjawab dengan kemungkinan terjadinya keganjilan dalam masyarakat akibat bawah sadar yang direpresi? Lantas, memangnya, orang-orang di Komnas PA, atau Lutfi Agizal sendiri, dalam kesehariannya, selalu bersikap sesuai norma-norma yang ada, baik di panggung depan (saat berelasi secara formal) maupun panggung belakang (saat berelasi secara lebih personal)? Jika iya, saya merasa kasihan sekali! Jangan-jangan, kalian ini psikopat.  

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...