Skip to main content

Pulih

  Jalan beberapa hari jaga, saya mulai bosan. Rasanya berat sekali menunggui dagangan yang pembelinya terhitung sedikit. Lebih menderita lagi jika melihat barang dagangan sebelah lebih ramai dibeli. Hal yang menjadi hiburan adalah menulis terus menerus, supaya tidak terlihat bengong. Supaya tidak mati gaya.  Beberapa hari yang lalu, pas hari awal-awal saya mulai jaga, tiba-tiba saya punya keberanian untuk posting foto di Instagram. Setelah itu mulai merambah ke Facebook, lalu mulai semangat untuk posting sejumlah story di Instagram, mulai dari tentang jalannya kasus sejauh ini sampai kegiatan sehari-hari. Entah keberanian dari mana, tiba-tiba saya mem-posting story tentang tulisan-tulisan yang diturunkan dari berbagai website. Saya menuliskan, "Siapa yang mau tulisan saya? Gratis, akan saya kirimkan via e-mail". Ternyata banyak juga yang menginginkan tulisan-tulisan itu, ada lebih dari 90 orang.  Kemudian saya terpikir untuk membuat grup lagi, bersama orang-orang yang bisa di

Tentang Diharamkannya Ilmu Filsafat dan Hal-Hal yang Mesti Diingat

 

Hampir sebulan yang lalu, seorang kawan tiba-tiba nyolek saya di Instagram, dan menunjukkan konten di atas. Saya tertawa geli saja, karena pemikiran semacam ini tentu saja sudah lumrah. Namun lama kelamaan, tergelitik juga, dan merasa penting untuk menuliskan tentang bagaimana posisi filsafat di abad pertengahan untuk sekadar mengimbangi pendapat tersebut. 

Filsafat di abad pertengahan yang dimaksud, bukanlah di Eropa (karena di Eropa masa itu, beberapa aliran filsafat juga "diharamkan", atau lebih halusnya diistilahkan dengan "philosophia ancilla theologiae" atau "filsafat adalah hamba bagi teologi"). Filsafat di abad pertengahan yang dimaksud, adalah filsafat di abad pertengahan dalam konteksnya dengan dunia Islam, yang terbentang dari sekitar abad ke-8 hingga abad ke-14 masehi. 

Imam Al-Ghazali pernah menulis buku berjudul Tahafut al-Falasifah atau diartikan sebagai Kerancuan Para Filosof, yang ia tujukan bagi para filsuf sebelumnya seperti Ibn Sina dan Al-Farabi. Sekilas, memang tampak Al-Ghazali sedang berusaha "mengharamkan" filsafat lewat bukunya tersebut, sehingga ini kerap dijadikan justifikasi posisi filsafat yang terpinggirkan dalam dunia Islam. Sebelum mengamini pendapat tersebut, mari mengingat hal-hal berikut ini:

1. Imam Al-Ghazali menunjuk "para filosof" dan bukan "ilmu filsafat" sebagai sasaran kritik, yang bisa diartikan bahwa yang bermasalah bisa jadi adalah pandangan orang per orang dan bukan konsep filsafat itu sendiri. Bedakan dengan konten di atas yang langsung mengharamkan ilmu filsafat. 

2. Sebelum menuliskan Tahafut Al-Falasifah, Al-Ghazali menulis karya lainnya yang berjudul Maqasid Al-Falasifah atau diartikan sebagai Maksud Para Filosof. Pada Maqasid, Al-Ghazali mengelompokkan fisika, logika, matematika, dan astronomi, juga sebagai bagian dari ilmu filsafat, dan tidak menemukan masalah sama sekali di dalamnya. Hal yang menurutnya bermasalah hanya bagian metafisika-nya saja, dan itu yang kemudian menjadi sasaran kritiknya di Tahafut. Namun intinya, di Maqasid, Al-Ghazali hendak menunjukkan bahwa sebelum memberikan kritik, seyogianya kita memahami dulu dengan sungguh-sungguh tentang maksud para filosof. 

3. Pada Tahafut, Al-Ghazali mengritik para filosof dalam beberapa poin. Namun ada tiga poin yang dititikberatkan karena menurut Al-Ghazali, poin-poin tersebut dapat membawa para filosof pada kekufuran. Poin yang dimaksud adalah terkait hal-hal berikut:

a. Tentang hubungan Tuhan dan alam semesta. Para filosof (yang dimaksud Al-Ghazali) memandang bahwa alam semesta ini qadim (tidak diciptakan) dan keberadaannya ada bersama Tuhan. Alasannya, jika Tuhan ada duluan lalu menciptakan alam semesta, berarti ada jarak antara pra-penciptaan dan penciptaan (vacuum), yang menurut para filosof, tidak mungkin. Karena kemudian kemungkinannya menjadi dua: Tuhan menciptakan alam semesta dengan suatu maksud (ini bermasalah, karena artinya Tuhan tunduk pada suatu kehendak) atau Tuhan menciptakan alam semesta tanpa maksud (ini juga bermasalah, karena artinya Tuhan menciptakan sesuatu atas dasar "keisengan"). Al-Ghazali menganggap argumentasi tersebut dapat membawa filosof pada kekufuran. Dalam pandangan Al-Ghazali, hanya Tuhan lah yang bersifat qadim dan Ia menciptakan alam semesta dan sekaligus mengakhirinya. Sementara Tuhan sendiri selalu abadi.

b. Tentang Tuhan yang hanya mengurusi hal-hal yang universal saja. Para filosof menganggap bahwa Tuhan hanya mengurusi hal-hal yang universal saja dan tidak sampai pada hal-hal yang partikular. Argumennya, jika Tuhan mengurusi hal-hal partikular, maka Tuhan tunduk pada ruang dan waktu yang diciptakan-Nya sendiri. Tuhan menciptakan dunia dengan hukum-hukumnya, lalu Ia tidak lagi terlibat di dalamnya, begitu menurut para filosof. Al-Ghazali tidak sepakat, dan menganggap bahwa Tuhan mengetahui dan terlibat dalam segala sesuatu, sampai hal terkecil sekalipun.  

c. Tentang jasad dan ruh yang dibangkitkan di hari kiamat. Menurut para filosof, yang dibangkitkan di hari kiamat hanya ruh saja karena jasad sudah rusak. Al-Ghazali tidak setuju dan berpendapat bahwa yang dibangkitkan adalah keseluruhan wujud kita sekarang, termasuk jasad dan ruhnya. 

Kritik Al-Ghazali tersebut ternyata cukup fatal dan mempengaruhi pandangan dunia Islam terhadap filsafat. Meski dikritik balik oleh Ibn Rusyd sesudahnya, namun karya Al-Ghazali lebih dikenal secara luas ketimbang sanggahan Ibn Rusyd. Sering disinggung, bahwa Al-Ghazali dianggap "bertanggungjawab" terhadap kemandegan ilmu filsafat di dunia Islam, yang sangat mungkin menjadi landasan bagi konten di atas (meski tidak menyebut Al-Ghazali). Namun kembali pada poin-poin di atas, penting untuk mengingat hal-hal berikut: Pertama, Al-Ghazali mengritik filosof dan bukan ilmu filsafat. Kedua, Al-Ghazali menunjuk sisi baik filsafat dan mencoba menelusuri maksudnya, sebelum mencari celah yang dianggap bermasalah. Ketiga, dalam Tahafut, Al-Ghazali terlihat mengritik filsafat dengan filsafat. Keempat, meski ini berbau ad hominem, tapi bisa juga dijadikan acuan: Al-Ghazali menuliskan Tahafut pada usia yang relatif muda, dengan semangat yang menggebu-gebu untuk mengritik. Pada perkembangannya, Al-Ghazali tidak lagi terlalu "keras" terhadap filsafat dan malah menjadikannya penting sebagai jalan untuk mencapai makrifat. 

Sebelum mengharamkan filsafat dan menyetujui bahwa filsafat itu haram, ada baiknya mengingat bahwa dunia Islam pernah begitu dekat dengan filsafat dan para filosof itu berdialektika dengan indah.        

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k