Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...

Kelas Isolasi, Kiprahnya Sejauh Ini



Kelas Isolasi adalah proyek yang dibuat oleh Al Nino Utomo, mahasiswa semester tujuh di Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Parahyangan, dengan saya, yang diinisiasi di sebuah tempat di wilayah BKR, Bandung, pada 19 Maret 2020. Waktu itu idenya adalah kelas filsafat daring sebagai respons terhadap situasi pandemi yang mulai masuk ke Indonesia pada pertengahan bulan Maret 2020. Tidak banyak yang kami bicarakan saat itu, selain bahwa proyek ini harus segera dimulai, karena di tengah kepanikan orang di masa pandemi, kami harus membuat suatu kelas yang mungkin dapat mengalihkan orang dari kepanikan itu. 

Kebetulan, saya memang sudah lama berpikir tentang kelas filsafat daring. Bahkan sudah pernah dengan lengkap membuat skemanya, hingga terpikir dinamai dengan "kelas insom". Mengapa "kelas insom"? Karena waktu belajarnya yang di atas jam sembilan, yang sedemikian rupa sehingga mereka yang mahasiswa kemudian menjadi telat untuk bangun pagi dan masuk kuliah. Tapi mereka tidak ketinggalan pelajaran, mereka tidak menjadi bodoh, karena sebenarnya mereka telat bangun pagi karena belajar di "kelas insom" di malam sebelumnya.

Sehingga memang, ide untuk membuat kelas daring ini bukan ide baru, meski eksekusinya terkesan buru-buru. Namun karena pernah dipikirkan sebelumnya, Kelas Isolasi, bagi saya, berjalan cukup baik, setidaknya sampai waktu saya menulis tulisan ini, yang sedang akan memasuki edisi ke-74 dan masih bertahan dalam hampir empat bulan. Dalam catatan data kami, Kelas Isolasi bahkan punya data hingga hampir tiga ribu peserta (per Juni, sekitar 2800-an) dari seluruh propinsi di Indonesia dan belasan negara lainnya. Bagi saya, dan mungkin juga bagi kami, ini kurang lebih menunjukkan bahwa sistem pengajaran ini berjalan dan peminat filsafat di luar sana banyak sekali - membuat kami bertanya-tanya, bahwa jangan-jangan selama ini memang banyak, tapi mereka tidak punya akses saja -.

Hingga hari ini, Kelas Isolasi didominasi oleh kelas yang diampu oleh Nino dan saya, dari mulai filsafat Yunani, epistemologi, eksistensialisme, metafisika, etika, sampai psikoanalisis. Namun dalam perjalanannya, Kelas Isolasi juga berhasil mengundang pembicara luar, yang beberapa diantaranya sudah memiliki reputasi tinggi seperti Budiman Sudjatmiko, Martin Suryajaya, Reza A. Wattimena, Soe Tjen Marching, Bhima Yudhistira, Erie Setiawan dan teman-teman yang juga sudah malang melintang berkiprah di bidangnya, seperti Deni Rachman (perbukuan), Adrian Benn (teknologi), Maradita Sutantio (fesyen), Jasiaman Damanik (logika), dan banyak lagi.

Kelas Isolasi, sebagaimana terlihat dari awal pembentukannya, tidak didanai oleh siapapun di luar dan hanya mengandalkan pemasukan dari penjualan materi berupa artikel, power point, dan audio rekaman kelas, serta sertifikat elektronik. Semua itu dijual di kisaran 10 - 25 ribu saja per materi. Kelasnya sendiri gratis dan kelihatannya akan selalu begitu. Diantara materi tersebut, paling sulit tentu saja membuat artikel. Nino dan saya cukup disibukkan dengan penulisan artikel sekitar dua sampai tiga halaman yang walaupun sedikit, tapi kami lakukan hampir setiap hari. Memang kalaupun tanpa artikel, para peserta sudah diuntungkan dengan kelas gratis dan materi dalam bentuk power point serta audio. Tapi saya katakan pada Nino, kalau tanpa artikel, maka kelas ini akan jadi kelas "bicara bebas" dan "ngalor ngidul" yang tidak ada beda dengan kelas pada umumnya yang mengatasnamakan "bincang santai". Untuk pembicaraan filsafat begini, diharapkan ada pertanggungjawaban ilmiah dan referensialnya, meski kecil-kecilan.

Lantas, bagaimana Kelas Isolasi ini ke depannya? Dengan hampir 2500 followers di Instagram dalam waktu kurang dari empat bulan, kelihatannya animo terhadap kelas ini masih baik - meskipun di beberapa tempat, aktivitas sudah mulai berjalan normal dan maka demikian jumlah peserta tidak sebanyak dulu, saat masih serba dikarantina -.  Maka dari itu, kelihatannya kelas ini juga akan dilanjutkan sampai entah kapan, dengan frekuensi yang mungkin sedikit disesuaikan (jika pandemi sudah selesai, mungkin dua atau tiga kali seminggu saja cukup). Terpikir juga untuk melakukan lintas kanal seperti siaran di Youtube dan Podcast, tapi masih belum terealisasi karena sibuk menulis artikel :p.

Pandemi masih akan berlangsung lama di republik ini, dan maka itu kelihatannya Kelas Isolasi masih akan dilanjutkan. Menarik karena kami mengamati, bahwa kelas daring menciptakan kebebasan tertentu yang tidak ada di kelas filsafat luring. Misalnya, di kelas luring, ada semacam sikap malu, segan, khawatir pertanyaan kita konyol, pernyataan kita kurang berbobot, sementara itu, di kelas daring, hal-hal semacam itu luntur karena kita mengakses dari ruang masing-masing, bisa anonim, dan bisa melempar pertanyaan begitu saja tanpa khawatir (bisa saja pertanyaan tersebut konyol, tapi video bisa dimatikan, agar tidak malu). Dengan gerakan ini, semoga semakin banyak orang gemar berfilsafat, yang kemudian berdampak pada berkurangnya pernyataan konyol dan medioker di negeri ini. Amin. 

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...