(Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”. Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan. Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...
(Ditulis sebagai suplemen diskusi Maca #9 tentang "Teater Naskah Adaptasi", Bandung Creative Hub, 6 Oktober 2019)
Sudah lama saya merasa bahwa literatur Jepang adalah "sesuatu". Selain mahakarya Musashi dan Taiko karya Eiji Yoshikawa, yang menyuguhkan romantisme historis, Jepang juga melahirkan tulisan-tulisan gelap, absurd, psikologis dan eksistensialistik. Para penulisnya, sebut saja, Yukio Mishima, Ryonusuke Akutagawa, dan yang paling baru, Haruki Murakami.
Mishima dan Murakami tentu saja menarik dan "aneh", tapi mari membahas lebih banyak tentang Akutagawa, sebagaimana topik tulisan ini yang akan membahas karyanya yang diadaptasi dengan unik oleh Zulfa Nasrulloh, seorang kawan penyair yang kemudian akan menjalani debutnya sebagai sutradara teater.
Selain terpesona oleh tulisan Akutagawa yang gelap dan dalam, saya menduga Zulfa juga terinspirasi oleh sutradara film Jepang, Akira Kurosawa. Kurosawa menyutradarai film Rashomon (1950) yang sebenarnya merupakan interpretasi dari cerpen Akutagawa dengan judul yang sama. Apa yang diberi judul Rashomon dalam versi Kurosawa, sebenarnya merupakan adaptasi gabungan dari dua cerpen Akutagawa, yaitu In The Grove (dalam hal konten ceritanya) dan Rashomon (dalam hal latar peristiwanya). Kreativitas Kurosawa itu memberi jalan masuk bagi Zulfa untuk juga menggabungkan dua cerpen Akutagawa, yaitu Kesa and Morito dan Rashomon terutama dalam hal penokohan.
Tentang Alih Wahana
Pada pementasan teater ini, Zulfa memberi istilah "alih wahana" untuk upayanya memvisualisasikan teks-teks dalam cerpen Akutagawa menjadi sebuah pertunjukan. Teks dalam cerpen sangat dimungkinkan untuk pertama-tama menjadi naskah, karena yang paling dasar, tentu karena ada kesamaan aspek alur cerita, adegan, latar, dan penokohan. Tinggal bagaimana menjadikan unsur-unsur dalam teks, yang terhubung dengan imajinasi kita yang nyaris tak terbatas (atau sekaligus juga terbatas pada pengalaman-pengalaman indrawi), menjadi terealisasi dalam hal teknis dan juga tetap mempertimbangkan kapasitas psikologis penonton pertunjukan.
Maksudnya, orang bisa menyelesaikan cerpen Rashomon dalam satu jam, tiga hari, atau satu bulan, dan tetap menangkap maknanya. Sementara pertunjukan teater harus bisa merangkum seluruhnya dalam maksimal tiga jam pertunjukan. Ini belum lagi mengatasi tantangan lain, yang itu tadi, terkait imajinasi penulis yang bebas dan bahkan merasa tidak punya kepentingan untuk "membumikan", menjadi sesuatu yang cukup bisa dipahami secara intelektual maupun empirik dalam sudut pandang apresiator pertunjukan.
Sebelum membahas lebih jauh tentang alih wahana dari sastra ke teater, sebenarnya menarik untuk dibahas terlebih dahulu hal ikhwal alih wahana dari sastra ke film. Padahal, usia sastra dan film, sebagai seni yang "paling muda", tentu sangat berjauhan - karena film sangat erat kaitannya dengan keberadaan teknologi media rekam -. Mengapa menarik? Kita bisa melihat bahwa pada dasarnya teknik-teknik dalam film, adalah juga meminjam sejumlah teknik dalam sastra. Misalnya, sebuah ungkapan dari tokoh utama bernama Pierre Bezukhov dalam novel War and Peace karya Leo Tolstoy kira-kira mengatakan begini (saya lupa persisnya), "Kaki-kaki ini sudah sangat lelah, tapi tubuh tetap memaksanya untuk terus diseret." Kita bisa membayangkan suatu adegan close-up dalam visualisasi benak kita, sebagaimana kita membaca tulisan, "Suatu pagi di Lembang, yang terlihat dari segala sudut, pemandangan Gunung Tangkuban Parahu," sebagai bayangan kita akan teknik extreme long shot.
Jika kita memerhatikan secara seksama, alih wahana dari sastra ke film ini bisa lebih banyak, hingga ke teknik slow motion sampai flashback. Mengapa hal ini bisa terjadi? Mungkin karena film lebih mampu mengakomodasi prinsip berimajinasi kita yang "melompat-lompat" dan "bergerak liar mencari sudut pandang sendiri", yang kemudian dilaksanakan secara mendekati oleh teknik khas film: montage dan mise en scene.
Apakah teater bisa melakukan hal yang sama? Bisa saja, tapi jelas ada perbedaan antara film dan teater. Mata penonton dalam konteks film (yang diwakili oleh kamera) dan teater adalah hal yang berbeda. Film menyuguhkan sajian visual yang melalui kamera, sudah dipilihkan untuk penonton, bahwa apa yang terlihat di layar, adalah memang yang harus dilihat. Sementara dalam teater, penonton bebas memilih melihat yang mana, meski kemudian ada "pengondisian" berupa fokus dan pembesaran, tapi jelas bahwa audiens teater diberi kebebasan lebih dalam melihat.
Namun artinya, memindahkan sastra ke film tampak lebih mudah, oleh sebab kesamaan aspek imajinatif yang diakomodir oleh teknologi, ketimbang teater yang hanya ditopang oleh mata penonton yang "telanjang". Dalam teater, aspek-aspek imajinatif mungkin lebih didukung oleh representasi-representasi yang mensyaratkan penonton untuk turut aktif melihat A tidak sekadar A, tapi juga A+ atau B atau bahkan X. Pada titik pembesaran imajinasi dan multi-interpretasi ini, penonton teater seringkali, secara stereotip, harus lebih terdidik daripada penonton film umumnya yang "tinggal duduk manis" (walau film pun banyak juga yang punya muatan intelektual tinggi).
Tentang Morito dan Dua Pelayan di Rashomon
Terkait karya Zulfa yang akan dipentaskan tanggal 19 Oktober ini, kelihatannya menjadi tantangan besar untuk menjodohkan sejumlah tokoh dari "alam yang berbeda". Namun hal yang sedikit menjadi keuntungan adalah cerpen Kesa and Morito, kelihatannya sudah dirancang oleh Akutagawa dengan latar yang sedemikian teatrikal, sehingga visual-visual khas teater langsung terbayang - dari baik monolog Morito maupun Kesa -.
Sementara cerpen satunya, Rashomon, mengisi nilai-nilai dalam naskah ini agar juga memuat tentang dilema moral dan psikologis yang begitu kuat sebagaimana termuat pada tema-tema sastra Jepang modern. Situasi pada Rashomon, yang diwakili oleh para pelayan dalam kondisi pasca bencana, adalah situasi yang pelik, yang mengandaikan perumusan nilai-nilai moral yang baru, setelah yang lama luluh lantak bersama seluruh bangunan yang didirikan atas nama kemanusiaan.
Namun asumsi saya, seorang Zulfa, agaknya tidak mungkin meminjam pikiran Akutagawa hanya untuk menumbuhkan romantisme ke-Jepang-an bagi penonton pertunjukannya kelak. Morito dan Dua Pelayan di Rashomon adalah juga tentang situasi kontemporer sebagaimana digambarkan dalam istilah yang diambil dari salah satu adegannya yaitu "Setiap Orang adalah Bencana".
Literatur modern sudah sejak lama menggaungkan hal ini, sebagaimana Jean Paul Sartre menegaskan filsafatnya sebagai prinsip atas "Orang Lain adalah Neraka", dalam konteks bahwa kita senantiasa diobjekkan oleh tatapan-tatapan orang lain. Cerpen Anton Chekhov, Ward No. 6 juga secara tidak langsung membicarakan hal serupa, lewat tokoh Ivan Dimitrich Gromov yang selalu curiga pada gerak-gerik orang lain, sehingga kemudian dirinya divonis gila.
Tentu ada semangat zaman yang mendasari kenapa timbul pemikiran-pemikiran semacam itu dari mulai abad ke-20 hingga era posmodern sebagaimana dialami oleh Zulfa saat ini. Kita adalah Morito sekaligus dua pelayan di Rashomon, yang mencurigai orang lain berdasarkan proyeksi-proyeksi pikiran kita sendiri. Dunia kontemporer adalah dunia yang lebih tenang jika orang lain adalah proyeksi, ketimbang kita menghadapinya sebagai subjek sebagai dirinya sendiri. Tidakkah ini merupakan dehumanisasi yang serius dan menyedihkan?
Comments
Post a Comment