(Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”. Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan. Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...
Tawaran untuk menjadi pimpinan produksi Harpa Nusantara itu saya ingat sekali, tanggal 1 Maret 2019. Waktu itu Sisca dan suami datang ke restoran Truno 58, karena saya sedang ada tampil di sana. Sisca bertanya apakah kira-kira yang bisa dilakukan untuk konsernya? Karena dia kurang sreg dengan konsep konser yang megah dan melibatkan banyak artis (komersil) - seperti yang katanya sudah dibicarakan dengan beberapa temannya -.
Inilah yang membuat saya senang mendengarnya. Sisca, si pemain guzheng dan harpa yang nyaris lekat dengan dunia "weddingan" tersebut, ternyata sedang mencari bentuk pertunjukan yang kiranya lebih relevan dengan renungan dan pencariannya. Saya bisa membayangkan apa yang ada di benaknya: Tidakkah harus ada hal yang lebih agung, yang mesti dicapai lewat seni, yang tentunya sekaligus lebih ugahari daripada panggung nikahan ke nikahan? Tanpa bermaksud mengurangi rasa hormat pada panggung nikahan, tapi seni, bagaimanapun, punya fungsi-fungsi lain yang tak kalah sakral, spiritual, dan bersifat katarsis.
Sebenarnya Sisca, dan suaminya, Pak Sugih, adalah duet yang sangat rinci dalam mengurusi banyak hal. Artinya, saya tidak bisa dikatakan mengorganisasi seluruh produksi karena mereka pun begitu aktif dalam bergerak mengatasi satu demi satu persoalan (yang sangat banyak). Namun persiapan hampir enam bulan ini - mungkin bagi Sisca satu tahun karena juga terkait pembuatan empat harpanya yang lumayan rumit - adalah persiapan yang lebih dari sekadar produksi. Obrolan kami nyaris tiap hari via WA, adalah juga tentang bagaimana membuat kami sendiri yakin, bahwa Harpa Nusantara adalah konser yang penting, brilian, dan punya nilai lebih di kemudian hari. Jadi obrolan kami tidak seperti dua orang yang berbisnis: hanya tegur sapa bicara pembayaran dan ceklis persiapan, tapi juga masuk pada wilayah kultural dan filosofis. Mungkin saja, tanpa bermaksud ge-er, dan tentu saja tanpa mengabaikan keajaiban musik Iman Ulle dan tata artistik dahsyat dari Aji Sangiaji, konser Harpa Nusantara tadi malam begitu terasa sekali sebagaimana pepatah bersahaja mengatakan: "Apa yang dari hati, akan sampai juga ke hati".
Konser Harpa Nusantara berakhir. Kelihatannya apa yang kami cita-citakan sejak semula, tidak jauh berbeda dengan kenyataannya. Tentu saja, ada kekurangan sana sini, itu pasti, karena harus jujur dikata, persiapan Harpa Nusantara secara teknis begitu rumit dan berdarah. Namun setelah tirai pertunjukan ditutup dan penonton melakukan "standing applause", kami sadari sesuatu, tentang bagaimana seni dapat mengubah hidup manusia: rasa haru yang timbul dari merasakan suatu keindahan, akan berdenyut senantiasa, dan memanggil-manggil, ketika kita, siapapun itu, berhadapan dengan hal-hal yang bertentangan dengan rasa kemanusiaan. Di situlah letak seni yang menyucikan.
Selamat untuk Sisca Guzheng Harp, jangan kapok!
Kredit foto: Agus Bebeng
Comments
Post a Comment