Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...

Neraka itu Tentang Segala Sesuatu yang Memudar

Catatan tentang Pertunjukan Hades Fading, NuArt Sculpture Park, 30 Agustus 2019 





Sebelum membicarakan pertunjukan Hades Fading, saya merasa harus mengekspresikan kekaguman pada kebudayaan "Barat" - atau bahasa ilmiahnya, Indo-Arya -, oleh sebab mitologinya yang begitu rumit dan sistematis. Mitologi Yunani adalah salah satu contohnya, selain yang saya tahu, Skandinavia, yang memperlihatkan suatu tesis asal muasal mengapa "Barat" kemudian menjadi punya cara pikir yang menuntut bangunan argumentasi yang jernih sekaligus kokoh. 

 Mitologi Yunani dibangun oleh cerita yang banyak dan bertalian satu sama lain. Cerita yang umumnya sampai ke kita, misalnya tentang Zeus, Hades, dan Poseidon, adalah bagian kecil dari semesta mahabesar yang salah duanya tertuang dalam tulisan Homer yang berjudul Iliad dan Odyssey. Kita bisa menemukan cerita lain seperti kisah para manusia setengah dewa macam Hercules, Perseus, Theseus, atau Achilles. Serta para raksasa (titan) macam Cronus dan Atlas. 

Pertunjukan kemarin, Hades Fading atau "Hades Memudar", jelas merupakan potongan kisah dalam mitologi Yunani, yang garis besarnya adalah kisah cinta Orpheus dan Eurydice. Kisah cinta tersebut melibatkan Hades, raja dunia bawah tanah atau neraka atau Tartarus, dengan istrinya, Persephone. 

Tidak ada yang diubah oleh sutradara asal Australia, Sandra Fiona Long, tentang kisah tersebut. Demikian ia tetap mengisahkan sebagaimana ditulis dalam mitologi: Kisah ratapan Orpheus yang begitu pedih akibat ditinggal istrinya, Eurydice, yang mati digigit ular di hari pernikahannya. Begitu sedihnya Orpheus hingga nyanyiannya terdengar hingga dunia bawah, pada Hades dan Persephone. Hades dan Persephone kemudian mengajukan syarat agar Eurydice dapat bangkit kembali, dan sisanya silakan dibaca sendiri di literatur tentang mitologi Yunani. 

Bedanya adalah, tentu saja, pertunjukan kemarin disajikan secara kontemporer. Tata cahaya, tata panggung, tata suara, semuanya tampak "baru" bagi saya, terlebih lagi ketika dileburkan dengan aspek-aspek digital. Tapi tentu saja, bukan cuma kemasan saja yang membuat cerita mitologi tersebut menjadi menarik, melainkan juga kontekstualisasi dari kisah Hades tersebut pada situasi sekarang. Agaknya, dengan term-term digital yang juga dilibatkan dalam pertunjukan tersebut, Sandra selaku sutradara ingin membawa penonton untuk merenungkan: Jika neraka Hades sudah tidak lagi menakutkan bagi dunia posmodern sekarang ini, maka ada neraka lain yang menanti, yang berupa memudarnya memori, dan diganti oleh interpretasi-interpretasi baru yang diproduksi oleh kesadaran massal yang digital. 

Tokoh Hades, Persephone, Orpheus, dan Eurydice mungkin tidak lagi menarik di mata generasi masa kini, dan dalam pertunjukan tersebut tersirat suatu perasaan khawatir dari mereka-mereka, bahwa suatu saat dunia ke depan akan menafsir mereka secara sewenang-wenang. Inilah mungkin yang dimaksud dengan "memudar": berkurangnya pengaruh suatu literatur yang telah begitu agung menggerakkan peradaban selama ribuan tahun. Pada akhirnya tinggal kenangan, bagai kisah cinta Orpheus dan Eurydice itu sendiri. 

Secara keseluruhan, meski pertunjukan tersebut dapat dikatakan sangat filosofis (sehingga saya asumsikan tidak terlalu mudah dipahami, terutama bagi mereka yang belum membaca mitologi Yunani) namun agaknya penonton banyak terpukau oleh efek cahaya, musik, dan tentu saja akting dari para pemain teater kawakan seperti Godi Suwarna, Herliana Sinaga, Rinrin Candraresmi, dan Wawan Sofwan. 

Musik yang ditata oleh Ria Soemardjo juga menarik dan mengandalkan bebunyian, yang mendorong pemusik guzheng, Sisca Guzheng Harp, untuk bereksplorasi melampaui kebiasaan bermusik secara konvensional. Musik tersebut secara umum berhasil membuat 90 menit pertunjukan terasa singkat, karena begitu menghanyutkan penonton pada situasi "Tartarus" - saya belum pernah ke sana, tapi mungkin saja seperti itu-. 

Akhirul kata, sepertinya penting untuk menyajikan lebih banyak teater yang demikian ke hadapan khalayak kita, sebagai teater yang memprovokasi penonton untuk memikirkan sesuatu secara aktual, dengan menyuling cerita dari literatur yang sudah dikenal. 

Digitalisasi adalah isu kontemporer yang dibahas di setiap jengkal hidup kita. Seminar dan kuliah umum mungkin sudah terlalu banyak kita dengarkan sampai tidak ada lagi yang tersisa. Tapi teater adalah suguhan yang segar, yang menciptakan tegangan antara keharuan, kengerian, dan kekaguman dalam satu paket yang nyaris tidak berjarak, dan daripadanya kita merefleksikan kehidupan. 

Saya pulang dengan pertanyaan besar, pada Orpheus yang tidak sabaran, mengapa engkau terlalu cepat menoleh ke belakang?

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...