(Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”. Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan. Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...
(Ditulis sebagai suplemen diskusi "Flaneur #1 - Filsafat Ngopi", 16 September 2019 di Jali Book Cafe, Karawang)
“Ngopi”,
“Ngopi”, dalam kultur masyarakat kita, tidak selalu tentang minum kopi dalam artian sebenarnya. Istilah “Ngopi yuk” itu bisa saja ajakan untuk minum teh, merokok, atau bahkan makan gorengan! Tapi hal yang pasti, ngopi adalah ajakan untuk menghabiskan waktu luang, bersantai, dan keluar dari suasana formil.
Kata formil yang disebut terakhir tadi menarik untuk dibahas. Suasana formil adalah suasana yang serius dan baku.
Untuk apa manusia menciptakan suasana formil? Mungkin, dalam suasana formil, segala sesuatu menjadi lebih kredibel dan bermartabat.
Misalnya, seorang dokter, ketika menyampaikan diagnosa, tidak bisa sambil merokok dan makan gorengan. Selain kontradiktif dengan keilmuan medisnya, hal demikian juga akan menurunkan tingkat kepercayaan pasien terhadap ucapan si dokter. Atau, lainnya, seorang hakim, saat membacakan putusan, apakah etis jika ia melakukannya sambil minum kopi dan cekikikan?
Tapi manusia tidak bisa selalu dalam kondisi formil. Mungkin karena kenyataan bahwa kita tidak harus terus berusaha keras untuk menghayati profesi kita. Hakim adalah manusia, dokter adalah manusia, pebisnis juga manusia, dan seterusnya. Maka itu, manusia perlu untuk mencari momentum kapan ia melepaskan diri dari perannya yang formil, yang mana sesuai bahasan sekarang ini, adalah ketika ngopi.
Saat ngopi, orang melepaskan keformilannya. Ia menjadi manusia, dalam artian, menjadi dirinya sendiri, atau bahkan secara bebas melakukan eksplorasi untuk mencari dirinya sendiri. Pada saat-saat ngopi, orang tak perlu membicarakan sesuatu yang punya arah, tujuan, ataupun fungsi praktis. Orang melakukan sesuatu demi momentum itu sendiri.
Tapi tentu saja ada juga hal-hal serius yang dibicarakan sambil ngopi. Sambil ngopi, dua pebisnis bisa saja membicarakan perjanjian hingga ratusan milyar, atau sepuluh aktivis membicarakan bagaimana cara menyuarakan kemerdekaan suatu propinsi. Namun tetap, kopi, gorengan, teh, rokok, bir, atau apapun itu makanan dan minuman yang bisa dikonsumsi sambil bicara dan menyimak, akan membuat ruang dan waktu terasa lebih rileks (tentu saja, susah membicarakan topik serius jika sambil makan sate, misalnya). Artinya, ngopi adalah kegiatan menyantap seperangkat makanan yang kurang lebih memerlukan waktu untuk menghabiskannya dan bisa dilakukan sambil berpikir.
Selain itu, juga sudah teruji dari zaman ke zaman, bahwa apa yang disebut di atas, bagi banyak orang, adalah stimulan peningkat konsentrasi. Jadi ngopi adalah juga santai, tapi merupakan momen dimana konsentrasi justru menjadi lebih baik. Banyak putusan-putusan besar lahir dari kegiatan ngopi, seperti Revolusi Prancis yang dimulai dari salon, hingga ide-ide kebangsaan Soekarno yang muncul mula-mula dari ngopi di Algemene Study Club. Dalam kegiatan ngopi, ada rangsangan untuk sampai pada ide-ide yang abstrak dan reflektif, yang sukar diperoleh dalam waktu-waktu formil – oleh sebab ikatannya pada peran yang sudah baku -.
Ngopi adalah juga resolusi konflik. Mengapa bisa menjadi resolusi konflik? Karena mendudukkan pihak-pihak yang bertikai pada posisi yang lebih egaliter. Jika ada kelompok pemuda merampas buku berbau komunisme di sebuah toko buku, ajak mereka ngopi, dan beritahu secara baik-baik bahwa TAP MPRS Nomor XXV tahun 1966 sudah kurang relevan. Jika ada mikro-fasisme di dalam kelas, ketika dosen mengajar sesuai kehendaknya dan mahasiswa harus nurut saja, maka mahasiswa sudah seyogianya mengajak dosen tersebut ngopi, agar diskusi keilmuan bisa lebih setara, dan mungkin saja dapat ditemukan ada gejala insecurity dalam diri dosen tersebut sehingga dia harus galak.
Dalam ngopi, kita bisa menyinggung hal-hal personal secara lebih santai, dan menemukan bahwa pada dua pihak yang bertikai, bisa jadi ditemukan kesamaan yang indah, seperti misalnya anaknya sama-sama disekolahkan di SD yang sama.
Ngopi adalah perayaan terhadap kemanusiaan. Aktivitas yang masih memberikan penghargaan terhadap eksistensi melalui tatap muka. Belum ada pertemuan dunia maya dikatakan ngopi, karena ngopi masihlah terasosiasikan dengan duduk bersama secara nyata. Dalam ngopi, kita saling menatap wajah. Wajah yang, kata Emmanuel Levinas, menjadi dasar bagi segala tindak tanduk etis kita. Dalam ngopi, segala komunikasi mikro menyampaikan pesan, dari mulai cara memegang gelas sampai cara membayar kopi. Semua punya penilaian tersendiri, jadi ukuran-ukuran kemanusiaan yang lebih hakiki daripada saat kita di “panggung utama”.
Terakhir, ngopi juga ilahiah. Mungkin di alam sana, Tuhan tidak senantiasa memerhatikan hidup kita sambil melotot dan memegang kalkulator dosa – pahala. Tuhan mungkin santai saja memandangi manusia, sambil ngopi, lalu berkata sesekali, “Oh, dia dipecat dari pekerjaannya, sudah kuduga. Tenang, nanti ada kebaikan mengikutinya.” Tuhan suka ngopi, dan maka itu Dia selalu punya waktu untuk menyayangi kita semua.
Comments
Post a Comment