Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...

Tentang Toko Buku Bernama Akasa




Namanya Akasa. Toko buku ini milik kawan saya, Ucrit, Bonil, Alfi dan Widay. Hal yang menarik pertama adalah toko buku ini terletak di sebuah pasar tradisional. Memang konsep semacam ini tidak aneh-aneh amat. Di Pasar Palasari misalnya, ada blok yang khusus jual sayuran, daging, bumbu, sembako, dan semacamnya, tapi ada juga blok khusus yang menjual buku-buku saja. Tapi di Pasar Cihapit, tempat Akasa berada, sedikit berbeda. Tidak ada perbedaan blok antara buku dan non-buku. Mereka dilebur begitu saja, sehingga datang ke Akasa adalah sekaligus juga terjun ke tengah suasana pasar tradisional. 

Hal menarik lain, selain menjual buku, yang khas dari Akasa adalah teh. Ini adalah anomali di tengah tren minum kopi. Akasa tidak ada kopi, hanya teh, dan hanya teh panas. Harganya pun sangat aneh, yaitu lima ribu rupiah saja dengan jumlah isi ulang tidak terbatas. Suatu hari saya berkelakar tentang harga super murah ini, "Ini bagus, karena harga tinggi cenderung menuntut pelayanan yang baik. Akasa tidak menganggap perlu biaya pelayanan ini, sehingga keramahan apapun yang hadir dari penjaga Akasa, adalah ketulusan, bukan karena menerima service tax." 

Ucrit setuju, dan ini yang membuat Akasa menarik untuk didatangi, karena para pengunjung berjuang untuk mencari kenyamanannya sendiri. Tidak ada sofa yang empuk, tidak ada tempat yang luas, dan tidak ada suasana cozy dengan musik jazz yang membuat rileks. Maka itu pengunjung yang datang harus dengan sigap merespons ruang. Ini juga mengherankan, karena kenyataannya, Akasa cukup dominan dihadiri oleh mahasiswa yang datang untuk belajar, berdiskusi, dan tidak sedikit yang mengerjakan skripsi. 

Artinya, ada tesis baru yang bisa dikemukakan: bukan fasilitas yang membuat orang tinggal, melainkan tawaran untuk menciptakan kenyamanan sendiri. Dugaan lain adalah kemungkinan bahwa energi sebuah tempat tidak berdasarkan benda-benda yang diletakkan berdasarkan ilmu interior tertentu, melainkan pada ketulusan sang pengelola. Saya kenal Ucrit cukup lama, dan paham betul bahwa Akasa tidak dibangun dengan motif bisnis semata. Akasa dibuat atas kegelisahannya untuk terus bergerak dan berbuat, sebagai bagian dari kerja estetiknya yang mewujud menjadi sebuah kemaslahatan sosial. 

Meski cukup banyak dikunjungi orang-orang yang kritis dan senang diskusi, Ucrit bersikeras untuk tidak membuat Akasa menjadi tempat diskusi formal dengan tema yang spesifik dan pengumuman untuk publik. Biar saja obrolan-obrolan tumbuh secara organik dan massa yang berkumpul tidak dalam suatu rencana. Saya setuju dengan ini, meski sebuah putusan yang tidak populer di tengah semakin kuatnya keterkaitan antara kafe dan restoran dengan kumpul-kumpul komunitas. Sebenarnya komunitas mempunyai efek samping, yaitu berpotensi menciptakan zona nyaman kawanan yang kontraproduktif. Dari awalnya dipersatukan oleh hobi atau pemikiran, lama-lama menjadi persahabatan. Tentu bukan hal yang buruk, hanya saja hal yang menjadi niat awal, yaitu kesamaan hobi dan pemikiran, menjadi kurang diperhatikan lagi dan bertahan di suatu kenyamanan tertentu. 

Akasa ingin dinamis, dan ingin agar tidak ada semacam komunitas yang berkembang menjadi "geng" yang kadang membuat demarkasi antara "orang dalam" dan "orang luar". Cita-cita yang baik, untuk senantiasa menjaga kesan egaliter, walau mustahil seratus persen tercapai. 

Terakhir, soal buku. Bagaimanapun, lapak Akasa tidak terlalu luas jika tidak bisa dikatakan sempit. Namun sang pengelola tidak kehabisan akal, dibuatlah sejumlah rak tambahan dan beberapa diantaranya disimpan di gantungan-gantungan atau bahkan di bawah kursi. Soal buku mungkin variannya cukup luas, dari mulai buku Iqro dan panduan salat, majalah Mangle hingga filsafat ada di sini. Buku-buku di Akasa nampaknya tidak eksklusif untuk kalangan pembaca serius yang memang kutu buku saja, melainkan juga menyediakan bacaan yang praktis dan santai sehingga lebih aksesibel terhadap publik yang lebih luas. Namun apapun itu, sekali lagi, buku fisik belum tergantikan oleh buku elektronik, salah satunya karena itu: dapat menciptakan atmosfer intelektual. Jajaran buku di rak dapat menarik minat untuk orang berdiskusi di hadapannya, ketimbang bergiga-giga buku elektronik di dalam hard disk eksternal. 

Mari mengikuti kiprah Akasa lebih jauh, yang berpotensi menjadi suatu gerakan yang mampu mempersempit jurang antara eksklusivisme intelektualitas dengan publik secara luas. Hal yang mempersatukannya tidak lain oleh ruang apa adanya, teh isi ulang, buku Iqro dan ragamnya, serta sikap "anti komunitas" sebagai cara untuk mempertahankan dinamika dan dialektika.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...