Sejak saya kecil, di dekat rumah berdiri sebuah toko kelontong tanpa nama. Kami hanya menyebutnya: warung Bu Yana. Lalu di daerah tempat saya pernah tinggal, juga ada toko kelontong tanpa nama, yang masyhur orang menyebutnya dengan warung Bu Agus. Keberadaan mereka jauh lebih awal daripada mulai datangnya gerai swalayan kecil macam Indomaret, Alfamart, dan –mart –mart lainnya.
Saya tidak tahu bagaimana pengaruh keberadaan gerai swalayan kecil terhadap toko-toko kelontong tanpa nama seperti warung Bu Yana dan Bu Agus. Hal yang pasti adalah belasan bahkan puluhan tahun, kedua toko kelontong tanpa nama yang saya tahu itu, tetap berjalan – Bu Yana malah sudah bercucu, dan masih juga jaga toko kelontong -.
Indomaret atau Alfamart memang menawarkan kemudahan. Tanpa berbasa-basi, kita masuk gerai, memilih sendiri apa yang mau kita beli, lalu dengan cepat membayarnya di kasir. Memang ada interaksi, tapi hanya sebentuk SOP yang kaku, yang bisa diabaikan dengan menjawab super cepat: “Nggak”, “Nggak”, dan “Nggak”, atas pertanyaan yang kira-kira seputar: “Pulsanya sekalian?”, “Beli apa lagi?”, “Ada membernya?”, “Pakai kantong plastik?” dan lain-lain yang bagi kita, yang sudah rajin berbelanja di Indomaret atau Alfamart, sudah tahu bahwa itu pasti akan ditanyakan.
Berbelanja di Bu Yana atau Bu Agus pastilah sangat melelahkan bagi mereka yang malas berinteraksi. Pertama, karena posisi mereka sebagai penjaga toko ada di balik etalase, maka otomatis kita sebagai pembeli tidak bisa melakukan segala sesuatunya secara swalayan. Kita harus terlebih dahulu bertanya pada mereka: “Ada sabun?”, “Ada obat nyamuk bakar?”, “Ada kerupuk?” untuk kemudian dicarikan, dan tentu saja makan waktu. Kedua, model pembayarannya tidak sepraktis Indomaret atau Alfamart. Kadang susah untuk cari kembalian jika uangnya besar dan yang hampir pasti: Tidak ada mesin debit atau kredit bagi kita penganut cashless society.
Namun mari kita melihat secara genealogis kenapa warga sekitar mengingat nama mereka: Bu Yana dan Bu Agus. Sementara itu, siapakah gerangan diantara kita yang mengingat nama kasir Indomaret atau Alfamart? Ini jelas, karena interaksi itulah. Pada Bu Yana dan Bu Agus, posisi mereka sebagai manusia masih hadir dan menjadi suatu sentral bagi transaksi ekonomi yang oleh Indomaret dan Alfamart justru dipinggirkan. Itu sebabnya nama Bu Yana dan Bu Agus diingat, karena selain berdagang, ada juga sisipan-sisipan gosip aktual terkait warga, yang dalam konteks itu menciptakan semacam “dialektika masyarakat” yang konkrit.
Secara ekonomi, kita juga bisa menduga bahwa ketahanan Bu Yana dan Bu Agus di tengah mengguritanya gerai swalayan kecil, disebabkan oleh sosok mereka sebagai “sisa-sisa kemanusiaan” dalam transaksi ekonomi. Pada dasarnya, masih ada, dan akan selalu ada, orang-orang yang merindukan tempo hidup yang lambat, yang dipenuhi interupsi berupa nongkrong sambil bergosip, serta menjadikan hal-hal berbau ekonomi, tidak lebih tinggi dari kemanusiaan itu sendiri.
Mungkin saja: hanya jika Indomaret, Alfamart, dan rupa-rupa –mart itu sudah terlampau merajalela hingga toko kelontong tak bernama tak lagi bersisa, maka kita bisa menduga bahwa kemanusiaan tengah di ambang binasa.
Comments
Post a Comment