Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...

Manusia dalam Kapsul



Lelah karena sampai terminal bis Bandar Tasik Selatan pada jam enam pagi, sementara pesawat baru tinggal landas pukul enam maghrib, akhirnya kami memutuskan untuk mencari hotel transit. Katanya ada, hotel yang bayarnya jam-jaman.

Memang betul, ada yang namanya Rest & Go Motel. Bayarnya per jam lima belas Ringgit atau sekitar Rp. 55.000. Kami kira ini semacam kamar konvensional dengan kasur dan ruangan yang kita semua paham. Tapi kenyataannya, yang kami tempati adalah semacam kapsul, dengan panjang sekitar tiga meter, lebar satu meter, dan tinggi satu setengah meter (saya kurang baik soal geometri, ini perkiraan saja).

Di dalamnya sudah dilengkapi hal yang diperlukan manusia kontemporer yaitu sambungan listrik untuk menambah daya baterai ponsel atau laptop. Ukuran ranjang cukup untuk satu orang saja, dengan satu bantal dan satu selimut (konon kapsul besar bisa memuat dua orang).

Meski kebutuhan tidur lumayan tercukupi karena berhasil terlelap satu setengah jam dari total sewa dua jam, ada hal yang berulangkali mengganggu benak saya: Sudah sejauh inikah manusia, hingga sudah bisa menyediakan kapsul untuk tidur? Ini sudah menyerupai film-film distopia yang saya tonton sejak kecil, seperti Judge Dredd, 2001: A Space Odyssey, atau Blade Runner. Saya menyaksikan film-film tersebut tidak dalam semangat yang berapi-api menyaksikan masa depan peradaban, tapi dalam perasaan sepi yang mendalam (itu sebabnya disebut distopia dan bukan utopia).

Tapi apa arti yang lebih mendalam, dari keberadaan kapsul-kapsul itu? Bahwa dalam hidupnya yang kian pragmatis, tidur, bagi manusia, hanyalah kebutuhan fisiologis yang seyogianya bisa diatasi dengan singkat. Tidak ada yang serius tentang tidur kecuali sebuah aktivitas yang menjadi "rintangan" dari satu kegiatan ke kegiatan lain. Maka berdasarkan fenomena manusia kapsul itu, berbahagialah mereka yang masih menjadikan tidur sebagai "ritual suci", yang masih menjadikan tidur sebagai kegiatan yang lebih inti dari seluruh kesibukan.

Namun lebih daripada itu, ada semacam persekongkolan yang membuat kita harus menuju kapsul itu, dan ini saya perhatikan tidak hanya di Bandar Tasik Selatan, tapi juga di Kuala Lumpur International Airport (KLIA) alias bandara di Kuala Lumpur. Mereka juga punya hotel kapsul yang serupa dan kita, yang menunggu lama, nyaris tidak punya pilihan kecuali menyewa kapsul.

Sesekali perhatikan desain kursinya dan segala macam yang ada di bandara, yang seyogianya bisa digunakan untuk istirahat. Semua dibuat sedemikian rupa agar kita tidak nyaman terlelap. Duduk di sofa pijit tanpa membayar, akan ada alarm berbunyi; tiduran di kursi bandara adalah tidak mungkin nyaman karena antar kursi ada semacam lengan yang membuat kita kesakitan jika berbaring di atasnya; adapun duduk barang sejenak untuk istirahat di teras motel, kita dikenakan lima ringgit atau hampir dua puluh ribu Rupiah per jamnya.

Ini semua konspirasi mengerikan, yang mengarahkan kita menjadi si manusia dalam kapsul!



Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...