Jalan beberapa hari jaga, saya mulai bosan. Rasanya berat sekali menunggui dagangan yang pembelinya terhitung sedikit. Lebih menderita lagi jika melihat barang dagangan sebelah lebih ramai dibeli. Hal yang menjadi hiburan adalah menulis terus menerus, supaya tidak terlihat bengong. Supaya tidak mati gaya. Beberapa hari yang lalu, pas hari awal-awal saya mulai jaga, tiba-tiba saya punya keberanian untuk posting foto di Instagram. Setelah itu mulai merambah ke Facebook, lalu mulai semangat untuk posting sejumlah story di Instagram, mulai dari tentang jalannya kasus sejauh ini sampai kegiatan sehari-hari. Entah keberanian dari mana, tiba-tiba saya mem-posting story tentang tulisan-tulisan yang diturunkan dari berbagai website. Saya menuliskan, "Siapa yang mau tulisan saya? Gratis, akan saya kirimkan via e-mail". Ternyata banyak juga yang menginginkan tulisan-tulisan itu, ada lebih dari 90 orang. Kemudian saya terpikir untuk membuat grup lagi, bersama orang-orang yang bisa di
Hampir setiap pagi, saya punya ritual yang sukar ditinggalkan, yaitu sarapan di warteg Pak Imron. Awalnya, hubungan kami ya transaksional saja. Saya pembeli dan beliau penjual. Namun lama kelamaan, sekitar di hari keempat, Pak Imron mulai bertanya-tanya kegiatan saya, dan saya pun bertanya seputar apa-apa yang dialaminya selama mengelola warteg. Lalu ia cerita, tentang orang-orang yang datang ke warungnya, dari mulai orang gila, gelandangan, mahasiswa belum dapat kiriman uang, orang dengan kemeja rapi tapi enggan bayar, dan ragam lainnya. Di sisi lain, Pak Imron juga berinisiatif, jika kebetulan melihat orang yang belum makan (karena tampak sedang mengais atau menggelandang, misalnya) untuk turun membungkuskan nasi beserta lauk pauk.
Ini saya tidak sedang mengumbar cerita kemanusiaan dalam rangka mempromosikan Pak Imron dan wartegnya. Hal yang lebih pokok adalah ini: tentang warteg sendiri, sebagai suatu tempat yang menjadi solusi paling mendasar bagi persoalan umat manusia yaitu perut. Demikian mengapa Pak Imron didatangi oleh banyak orang dengan beragam latar belakang, karena apapun latar belakangnya, perut, kata Nietzsche, adalah selalu ayah dari segala persoalan.
Tentu saja, bertebaran di hampir setiap jengkal kita melangkah, tempat makan dari mulai kaki lima hingga restoran mewah. Namun warteg menjajakan makanannya seolah telanjang bulat. Etalasenya tidak dihalangi moral yang ketat dan orang bisa begitu saja datang untuk minta makan tanpa bisa benar-benar dicegah kecuali sang pemilik benar-benar galak. Pemilik warteg bukan filantropis. Ia harus dengan jeli melihat mana yang patut diberi makan dan mana yang harus ketat ditagih bayaran.
Maka pada etalase yang telanjang bulat, seorang pemilik warteg adalah satu-satunya benteng terakhir dengan segala akal budi dan hati nuraninya. Pak Imron harus tahu kapan berbagi nasi, kapan memberi harga secara serampangan dan kapan memberi harga secara ketat. Ini adalah cara beliau menjaga harmoni, antara kelangsungan bisnis dan perut warga sekitar.
Pada warteg, masih tersisa semacam kepercayaan, bahwa memberi adalah berkah, bahwa mengampuni adalah perbuatan mulia. Keselamatan datang, dari seberapa banyak kita bisa membuat kenyang perut orang lain. Ini tidak ada urusan dengan kebudayaan, yang membuat kegiatan makan menjadi penuh ritual dan tetek bengek. Pak Imron masuk ke inti persoalan peradaban, melampaui filsafat, seni, agama, dan ilmu pengetahuan: seolah Sokrates, Descartes, Dawkins, hingga Modigliani, di masa-masa kantongnya sedang tidak cukup membeli makan, akan mendatangi warteg dengan memelas, untuk sekali ini saja, dipiringi nasi dengan usus, agar bisa berfilsafat dan berkesenian kembali.
Comments
Post a Comment