Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...

Surat dari Surakarta (Bagian Sembilan - Habis): Mencari Oleh-Oleh yang Tepat untuk Dibawa ke Bandung

12 Agustus 2018

Hari keempat di Surakarta, adalah artinya hari terakhir saya berada di sini. Festival masih akan berlangsung hingga tanggal 16 Agustus, tapi apa daya saya hanya ditugaskan hingga tanggal 12. Panitia sudah menyiapkan tiket pesawat kepulangan untuk jam 14.15 dan itu artinya saya punya cukup waktu dari pagi hingga siang hari untuk mencari oleh-oleh. 

Membawa pulang oleh-oleh memang seolah sudah menjadi budaya kita. Setiap kita akan pergi ke suatu tempat, kita sering diteriaki, "Jangan lupa oleh-olehnya, ya!" Padahal, kita semua juga tahu, tidak semua kepergian ke luar kota atau luar negeri, punya cukup waktu dan uang untuk membeli oleh-oleh. Namun demi keharmonisan dengan semesta, kadang kita harus memaksakan diri untuk mencari oleh-oleh, agar setidaknya tidak dicap sombong, mentang-mentang, dan sebagainya. 

Meski waktu sempit, saya menyempatkan diri untuk mampir di tempat menjual Serabi Notosuman yang terkenal itu. Saya membeli tiga dus untuk teman-teman di kostan dan dua instansi Perguruan Tinggi tempat saya bekerja. Setelah itu, saya mencari sosis Solo untuk beberapa kawan dan tidak menemukan dimana-mana (dalam perjalanan ke Bandara) kecuali di Bandara Adi Sumarmo itu sendiri. Walhasil, satu gulung sosis berukuran dua kali gigit itu harus ditebus dengan harga sepuluh ribu Rupiah. Ini tentu saja, kita tahu, akibat dari membeli di Bandara. 

Namun inti artikel ini ternyata bukan tentang oleh-oleh makanan yang saya tulis di atas. Oleh-oleh bisa saja bermakna luas, bisa berupa makanan dan cenderamata, bisa juga terkait pengetahuan dan pengalaman. Saya tidak mampu membawa pulang makanan dan cenderamata yang banyak oleh sebab keterbatasan waktu dan uang, tapi saya punya oleh-oleh lebih besar dalam seluruh tubuh saya, untuk diceritakan dan diaplikasikan di kota kelahiran saya, Bandung. 

International Gamelan Festival (IGF) 2018 adalah festival yang sangat luar biasa. Tentu saya melontarkan pujian ini bukan karena saya diundang oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan RI sebagai payung penyelenggara. Bukan. Kalaupun memang iya begitu, saya hadir sebagai blogger yang tidak menginduk pada media manapun. Saya hadir sebagai orang bebas, yang bisa berkomentar apapun karena saya hanya akan mengunggahnya di kanal milik pribadi. 

Ini alasan mengapa saya memuji IGF 2018 sebagai festival yang bagus: 

1. Festival ini dengan cantik melibatkan banyak pihak untuk berkolaborasi, dari mulai Kemendikbud, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Indonesiana (tentang ini, akan dijelaskan di poin berikutnya), Pemerintah Kota Surakarta, swasta, seniman, hingga ke pedagang kaki lima. Festival ini membuat segala sesuatunya menjadi milik bersama. 

2. Sistem informasi begitu rapi dan memadai. Meski festival berlangsung di banyak titik, tapi informasi tersedia secara komprehensif baik lewat situs, media sosial, hingga dibagi lewat selebaran, umbul-umbul dan terpampang di reklame. Sehingga para pengunjung tidak merasa tersesat untuk memilih mana kegiatan yang mereka sukai dari IGF 2018 ini. Sistem informasi yang bagus ini juga membuat IGF 2018 terasa mengubah atmosfer kota Solo. 

3. Keterlibatan para ahli di festival seperti Rahayu Supanggah dan Garin Nugroho, menambah bobot kegiatan ini. Tidak semua festival mempunyai aktor intelektual dan kultural di belakang penyelenggaraannya. Dengan keberadaan sosok-sosok itu, terasa sekali IGF 2018 tidak hanya festival hura-hura, tapi juga punya dasar filosofis yang kuat. 

4. Kelompok gamelan yang tampil sangat beragam, dari mulai para pemain mancanegara hingga siswa SD, dari pemain profesional hingga amatir. Kegiatan yang dimunculkan juga sangat bervariasi dari mulai panggung musik (tentunya), konferensi akademik, pameran hingga pasar makanan. Keterlibatan pedagang kaki lima di festival juga menjadi pertimbangan yang luar biasa. 

5. Ini saya baru ketahui. Di festival ini ada kepanitiaan yang unik bernama knowledge management. Bagian ini khusus mengurusi hal ikhwal pengetahuan dan sejarah tentang gamelan. Ini adalah ide luar biasa karena selama ini festival cenderung terjebak pada keriaan (saja) dan minim aspek edukasi. Ternyata hasilnya lain jika aspek edukasi ini memang diniatkan ada dan diurusi secara independen. 

6. Keberadaan Indonesiana selaku perpanjangan tangan Dirjen Kebudayaan dalam hal penyelenggaraan dan pendampingan, berfungsi sangat baik. Tugas Indonesiana secara umum adalah berkoordinasi dengan pihak panitia lokal dan terus memberi masukan serta mengawasi jalannya festival agar luarannya tetap berada dalam jalur UU no. 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Ada sembilan festival inti dan empat festival pendukung di Indonesia tahun ini dan Indonesiana berupaya menjadikan seluruh festival tersebut lebih terintegrasi sehingga dampaknya menjadi terasa bagi masyarakat secara luas. Indonesiana, sejauh ini, berhasil mengisi "jurang" yang selama ini menganga antara panitia lokal dengan pemerintah pusat. 

Kesan mendalam saya tentang IGF 2018 seyogianya menjadi oleh-oleh paling nikmat bagi warga Bandung yang tidak kunjung punya festival yang membanggakan. Saya tentu tidak berharap oleh-oleh ini tersimpan hanya sebagai pengetahuan dan pengalaman saja. Semoga suatu saat bisa teraplikasikan entah dengan cara bagaimana, bisa kecil maupun besar. 

Akhirul kata, pesawat pulang sudah menunggu. Bandung, kota tempat saya lahir dan besar, sudah menanti untuk dicumbui. Terima kasih, IGF 2018, Indonesiana, dan Dirjen Kebudayaan, sampai jumpa di lain kesempatan. Salam budaya!



Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...