Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...

Surat dari Surakarta (Bagian Tiga): Komposisi Kontemporer, Gerai Jajanan, dan Leburnya yang Sakral dan yang Profan

9 Agustus 2018 

Dengan soft opening yang begitu menjanjikan, saya yakin banyak orang tidak sabar untuk menantikan bagaimana gerangan pembukaan akbar (grand opening) yang dilakukan malam harinya di Benteng Vastenburg. Gembar-gembornya, ada permainan gamelan yang dikomposisi oleh para maestro. 

Setelah makan malam di sebuah food court bernama Galabo, saya, bersama peliput lainnya, berjalan kaki memasuki Benteng Vastenburg yang dibangun pada tahun 1745 tersebut. Panitia International Gamelan Festival (IGF) 2018 sungguh punya perhatian khusus terhadap edukasi. Di pintu masuk, kami sudah disambut oleh infografis yang berisi tentang tokoh-tokoh gamelan seperti Ki Nartasabda, Ki Sunardi, Lili Suparli, Mang Koko, hingga Rahayu Supanggah beserta lukisan wajah dan profil singkatnya.

Di balik infografis yang berukuran cukup besar itu, terbujur panggung megah yang digunakan untuk pembukaan akbar dan sejumlah penampilan di hari-hari berikutnya. Kursi-kursi yang berjumlah mungkin sekitar seribu, disiapkan bagi para audiens yang ingin menyaksikan grand opening.

Foto: Ismet Ruchimat
Pembukaan, ya, sesuai ekspektasi, berjalan dengan epik. Setelah sambutan dari Direktur Festival, Rahayu Supanggah dan pembukaan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, karya-karya gamelan bernuansa kontemporer pun ditampilkan. Komposisi-komposisi dari Rahayu Supanggah, I Wayan Gde Yudane, dan Taufik Adam, tampil mengalir dengan matang sekaligus berani, memaksa para penonton untuk tetap bertahan menikmati suasana yang intens. 

Foto: Ismet Ruchimat
Namun nyaris sepanjang acara pembukaan, saya tidak duduk di kursi yang disediakan panitia di area depan panggung. Saya memilih untuk duduk di area lain bersama Kang Ismet Ruchimat, musisi sekaligus pendiri kelompok fusion - etnik Sambasunda. Di mana saya duduk? Tentu saja, di tempat yang masih bisa mendengarkan musik sekaligus melihat jalannya acara, meski dari kejauhan. 

Ternyata, panitia menyediakan stand makanan, lengkap beserta kursi dan meja untuk bersantai. Kita bisa sambil merokok, minum kopi, makan malam, yang mana beberapa stand diantaranya menyediakan lesehan

Foto: Ismet Ruchimat

Pembagian area ini agak sedikit berbeda dengan kegiatan bazaar, misalnya. Di bazaar, biasanya memang ada unsur musik dan stand makanan, tapi para pengunjung biasanya menganggap musik sebagai periuh suasana saja untuk menemani kerumunan. Di grand opening kemarin sedikit berbeda. Suasana panggung dan sekitarnya tampak begitu sakral, sementara stand makanan di sekeliling tampak seperti acara yang begitu “duniawi”, profan, dan terpisah dari kekhusyuan di area stage

Namun saya menduga, penempatan ini bukannya tanpa pertimbangan. Panitia ingin menjadikan suasana pagelaran lebih seperti menonton wayang, yang mana penonton tidak harus secara fokus berada di area panggung. Sarah Andrieu, antropolog Prancis yang meneliti wayang golek selama belasan tahun mengatakan, “Wayang bukanlah semata-mata boneka yang dimainkan oleh dalang, melainkan seluruh kegiatan berkumpulnya. Menonton wayang tidak harus fokus pada apa yang ada di panggung, melainkan bisa juga sambil mengobrol dan bercanda, sambil sesekali menoleh untuk menyaksikan adegan yang penting.” 

Pertimbangan ini sungguh menarik. Sungguh sudah biasa, jika ada gerai makanan di dekat panggung, namun yang disuguhkannya notabene adalah musik hiburan. Namun pada grand opening IGF kemarin, di atas panggung adalah “seni tinggi” dengan segala keseriusan apresiasinya. Seolah paradoks, di sekeliling terdapat gerai jajanan yang membuat orang berkumpul membicarakan hal yang mungkin remeh temeh. 

Kita bisa katakan bahwa secara umum, beginilah kita seyogianya memperlakukan kesenian: Seharusnya tidak ada beda, antara seni yang bernilai tinggi, dengan derap ekonomi kerakyatan yang bertalian dengan kegiatan sosial yang teramat mundan. Pada jalinan kehidupan, semuanya saling terikat dan tak bisa dipisahkan. 

Foto: Ismet Ruchimat

Lalu saya pulang, dengan memori akan bebunyian yang muncul dari karya Rahayu Supanggah, yang begitu mistis, yang siap terus bergaung hingga saya ke peraduan.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...